LURAH SEMAR DIGUGAT (?)
Siapa yang tidak kenal wayang Semar yang populer itu? Lengkapnya Lurah Semar Badranaya. Tokoh wayang yang sampai bisa menginspirasi para tokoh Nusantara sejak jaman kerajaan Nusantara untuk menjadi figur yang mumpuni, berilmu tinggi, berkemampuan, bijaksana, merakyat dan dihormati.
Bahkan tidak mustahil, sebutan lurah bagi para kepala desa dan kepala kelurahan di kota-kota sekarang ini pun terinspirasi oleh kehadiran Lurah Semar yang selalu menjadi daya tarik, apalagi sering hadir dalam bahasa rakyat di tengah acara goro-goro. Goro-goro kita kenal sebagai suatu sesi humor sarat kritik sosial dalam setiap pertunjukkan wayang. Sudah otomatis menyentuh persoalan-persoalan kekinian yang sedang dihadapi pemerintah dan masyarakat.
Lurah Semar yang disebut jelmaan dewa itu adalah figur sakti berwujud manusia biasa dengan penampilan biasa-biasa saja. Tetapi perutnya yang digambarkan sangat gendut itu menunjukkan bahwa dia pernah menelan gunung dengan ilmunya. Berbeda dengan kondisi perut anak-anaknya yang perutnya lebih langsing.
Sebagai tokoh baik tentu dia tidak pernah dikabarkan kenyang korupsi. Dia punya kekayaan yang wajar. Yang bernilai tinggi karena keutamaan manfaatnya. Selain kepemilikan pribadi, dia selaku lurah juga memiliki kekayaan kelurahan yang harus dijaganya. Selain itu ia juga hadir dari langit sebagai pihak yang secara spiritual menguasai seluruh kekayaan bumi. Bahkan para ksatria kerajaan bumi mengakui itu.
Itulah Semar. Sang pencerah. Tokoh yang bisa dengan leluasa bisa bicara soal alat kontrasepsi kalau muncul dalam acara semisal Ria Jenaka TVRI di era Orde Baru dulu. Sesuatu yang akan ditertawakan banyak kalangan kalau yang bicara kondom dll adalah Sri Kresna atau Raden Gatotkaca.
Bahkan Bima yang Kuku Bimanya juga sekaligus menggambarkan kekuatan birahi cinta itu, tetap tidak leluasa bicara alat kontrasepsi itu atau bicara soal nimbang bayi ke Posyandu.
Saya mau bicara juga soal fenomena tokoh Semar dalam pertunjukan seni rakyat secara khas. Pertama saya mulai dengan nakalnya sejumlah Dalang. Yaitu ketika mereka dengan sengaja menanjang-manjangkan adegan bercanda dan sindir-menyindir Semar dan anak-anaknya. Atau munculnya wayang keliling kampung yang dipikul, yang juga lebih banyak mempertontonkan adegan lucu Punakawan ini. Munculnya tokoh lain, termasuk para ksatria Pandawa Lima cuma selintas-selintas saja. Apalagi sekali mangkal pertunjukkannya juga cuma sebentar.
Kedua, tidak cuma dalam Wayang Orang (Wayang Wong) saja tokoh-tokoh Punakawan, Semar, Petruk, Bagong dan Gareng hadir dalam wujud manusia. Hadir lebih natural, terutama di mata remaja dan anak-anak. Tidak terlalu absurd. Tetapi para tokoh yang identik dengan sindiran dan kelucuan ini juga sering tampil di panggung terpisah sebagai pertunjukkan Punakawan semata. Bahkan terputus dari tema-tema besar pertunjukan wayang. Yang tinggal cuma eksotisitas penampilan fisik, pencitraan, dan gaya tampil tiap karakter. Sebut saja satu contohnya adalah, acara rutin Ria Jenaka di TVRI dulu. Selebihnya dapat kita jumpai di panggung-panggung penyuluhan apapun yang disajikan pemerintah. Pemainnya bisa siapa saja di mana saja. Diikuti para pelawak komersil yang juga suka mempertontonkan tokoh-tokoh ini.
Begitulah tokoh Semar dan anak-anaknya. Dan fenomena pertunjukkan Punakawan dalam panggung kesenian rakyat.
Perlu ditambahkan juga, sesuatu yang iseng-iseng suka saya buat di depan anak-anak kalau sedang mengajari menggambar. Yaitu membuat kartun Gareng-Petruk. Ini sempat populer di tahun 80-90an. Komik model begini terinspirasi oleh pertunjukan sesi goro-goro, pertunjukan Wayang Wong sesi Punakawan, dan panggung-panggung penyulan dan lawakan itu. Semacam proses membukukan kelucuan berbentuk komik. Meskipun yang lebih sering muncul adalah sosok Petruk-Gareng, atau Cepot-Dawala, tetapi dalam komik itu sesekali muncul tokoh lain juga. Bahkan seorang ibu-ibu biasa yang umum di masyarakat dan cewek-cewek cantik pun muncul dalam komik ini. Apa bedanya dengan suatu peristiwa dipanggung hiburan, ketika ada tim Punakawan sedang beraksi di panggung lalu ditengahnya muncul artis semisal Happy Salma atau Zaskia Gotik? Itu sudah biasa.
Tetapi ada pertanyaan menggelitik, dalam panggung campursari mutahir kok Nolo Gareng suka ngemsi atau jadi bintang tamu tanpa saudaranya yang lain? Sambil ketawa kita jawab, dia gak mau bagi-bagi honor. Kebutuhan dapur buanyak. Haha. Tetapi secara serius kita jawab, itu namanya representasi. Kehadiran yang sudah mewakili Punakawan. Pertanyaan lain pun menyusul, kok di panggung hiburan musik dan tari di Tatar Pasundan tokoh Cepot jarang muncul? Sambil ketawa kita jawab, gak mudah memunculkan MC atau bintang tamu dengan wajah merah. Haha. Tetapi dalam jawaban budaya yang serius, di Jawa Barat sudah ada tokoh beken, Kabayan. Si Kabayan ini juga bisa disebut sebentuk Cepot versi lain. Maka MC atau bintang tamu biasa muncul sebagai sosok ini. Perbedaan pada keduanya, kalau Cepot gaya bicaranya bisa cepat dan lantang, sedangkan Si Kabayan cenderung lamban. Tapi ketika muncul kepandaiannya, atau muncul sebagai karakter pandai, ia seperti Abu Nawas. Raja pun dibuat kalah cerdas.
Kalau pengen tahu soal Nolo Gareng Ngemsi, baca tulisan saya soal itu.
Paparan saya tersebut senantiasa menunjukkan kondisi Semar dan anak-anaknya yang baik-baik saja dan biasa-biasa saja. Kalaupun ada masalah atau rembug (perbincangan), yang dipermasalahkan atau di-rembug-kan itu hal biasa saja. Lalu bagaimana kalau ada soal yang sangat serius? Ini masalah. Masalah lurah Semar digugat.
Pada suatu waktu ada mosi tidak percaya dari sebagian warga kelurahan. Tidak sedikit masyarakat dari lingkungan RW dan RT melakukan demo hampir setiap hari. Masalahnya, pak lurahnya, Kyai Semar, diberitakan banyak pihak terindikasi korupsi. Korupsi gotong royong dengan para pejabat di atasnya. Bahkan melibatkan sejumlah Ksatria.
Bahkan salahsatu bunyi spanduk yang diarak warga berbunyi, JANGAN SEBUT DIA KYAI. Ada juga yang bertuliskan, HAPUSKAN KELURAHAN. KEBIJAKAN PUSAT LANGSUNG KE RT-RW.
Kita masih ingat pada tulisan saya sebelum ini, Lurah Penyair. Dalam tulisan tersebut saya uraikan bahwa pada jaman dulu, sejak Indonesia merdeka dengan sistem kekuasaan terkecil di tingkat desa, maka sebutan lurah menjadi populer. Itu menunjukkan, dalam proses pembangunan itu yang paling utama adalah kepala tombak yang paling menghujam tajam. Kena di sasaran. Strukturnya paling bawah hingga menyentuh lapisan masyarakat terbawah, bahkan mengenali tiap pribadi anggota masyarakatnya. Ya siapa lagi. Pak lurah.
Saking populernya nama lurah, terlebih-lebih karena popularitas Lurah Semar, maka apa-apa serba dipanggil lurah. Presiden dipanggil lurah. Para Mentri dan gubernur juga begitu. Semua pemimpin organisasi besar-kecil lurah semua. Bahkan kepala rumah tangga itu lurahnya keluarga.
Sampai-sampai tokoh-tokoh spiritual yang merasa mengantarkan kesadaran banyak orang juga lurah sebutannya.
Tetapi sudah lama sebutan lurah itu disaingi oleh sebutan RT. Maksudnya supaya ujung tombak pembangunan, kepanjangan tangan pemerintah pusat, kekuasaan paling memahami tiap kondisi pribadi masyarakat adalah Pak RT. Maka apa-apa pun disebut RT. Mulai dari presiden, lurah, sampai pemimpin komunitas dan tokoh spiritual. Pimpinan pangkalan ojek juga RT namanya. Begitupun para pemimpin komunitas penyair atau komunitas pencinta sastra.
Kita lanjutkan cerita demo di kelurahan Semar. Hal lain yang didemo adalah kebiasaan anak-anak Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong yang selalu terjebak kegiatan penyakit masyarakat. Tetapi dalam keadaan begitu, anak-anak Semar itu masih saja tebar pesona sebagai anak Kyai yang soleh tidak pernah salah, berlagak anak lurah yang sok berkuasa.
Hal lain lagi yang juga digugat masyarakat. Pembangunan di kelurahan nyaris tidak ada. Hanya di beberapa titik dan sektor saja, itupun hanya kelihatan di beberapa lingkungan RW. Tidak ada pemerataan. Baik pembangunan sarana fisik maupun kesejahteraan masyarakat lainnya.
Padahal dulu lurah Semar sempat demo bareng masyarakat dari kelurahan-kelurahan yang terpinggirkan, supaya tidak ada desa terbelakang. Tapi setelah kelurahan mendapat perhatian dari pemerintah atas, sekarang permasalahannya justru pemerataan di tingkat kelurahan yang jadi masalah. Kemajuan pembangunan yang disebut meningkat itu hanya di beberapa titik saja. Dst.
Demi mendengar cerita itu, Petruk, Bagong dan Gareng saling memandang satu sama lain. Lalu setelah batuk-batuk dan minum air teh, Lurah Semar melanjutkan ceritanya, "Peristiwa tragis itu bisa membuat Semar binasa. Apa kalian mau binasa bersama-sama dengan Semar yang digugat itu?"
Kompak anak-anak itu menjawab, "Tidak".
"Apa kalian juga menginginkan agar para ketua RW dan ketua RT menjadi kepanjangan tangan terdepan dari pemerintah yang memajukan kesejahteraan warganya? Yang artinya sukses pembangunan itu harus meliputi pemerataan kemajuan pembangunan di seluruh lingkungan RT dan RW?"
Kontan mereka menjawab, "Ya!"
Bahkan sambil ketawa nyekikik Gareng menimpali, "Biar kalo ada warga yang bisulan, Lurah Semar dan raja di pusat tahu dimana posisi bisulnya, dan seperti apa bentuk bisulnya itu, karena ada Pak RT yang serba tahu bisul-bisul di dalam setiap kamar".
"Oalah Reng. Pembangunan sama bisul kamu hubung-hubungkan. Okelah kalau begitu. Walaupun itu cuma cerita, itu kewaspadaan kita", Jawab Lurah Semar sambil berdiri dari duduknya. Lalu mengajak anak-anaknya, dan beberapa orang yang ada di ruang tamunya, "Siapa yang mau ikut aku ke PAUD RW-007? Kita jalan kaki ramai-ramai. Lokasinya gak jauh. Cuma sekelebat dalang ngambil wayang. Di sana hari ini dikabarkan akan ada pengenalan wayang Punakawan dalam prakter bercerita pada anak-anak dengan menggunakan boneka pipih atau boneka tipis dan wayang golek. Siapa mau ikut?"
Tanpa basa-basi rombongan pun keluar dari rumah Lurah Semar, termasuk anak-anaknya, berangkat dengan Misi 007.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar