NGOMENTAR KEPAHLAWANAN

telah ku masuki lukisanmu 
kakiku menginjak jalan tanah
matahari cahaya dari kanan
aku terperangkap gila 
tak bisa keluar

Kemayoran, 07112017
Judul: Tak Ada Jalan Keluar 
#puisipendekindonesia
------

10 November 2017, hari ini, penyair Soni Farid Maulana menulis status di akun facebooknya:
"Kenapa Kartini lebih dikenal dari pada Raden Ajoe Lasminingrat? Ia adalah tokoh nyata dalam gerakan pendidikan dan bukan sekedar ide yang dituangkan dalam surat menyurat dengan orang Belanda".

Saya komentari sesuai logika umum yang ada pada fikiran saya, tidak khusus menyoroti satu dua nama:
"Biasanya jika ada lebih dari satu figur yang layak dipahlawankan pada bidang yang sama, pada suatu periode perjuangan yang sama, atau dipertimbangkan pada era penentuan yang sama, maka selalu akan muncul satu figur yang dianggap paling menonjol dari suatu sisi utama, ini berlaku di negara manapun, meskipun kadang-kadang penentuan sisi utama itu menjadi subyektifitas penguasa saat itu. Ada bahasa politisnya. Apalagi era pasca-kemerdekaan, adalah masa-masa menolak kehadiran dan penjajahan Belanda dan Jepang, tetapi menerima kerjasama di bidang apapun. Jepang dan Belanda memasuki era balas budi, bahkan masa meminta maaf. Di sisi lain pemerintah yang berkuasa pada kali pertama, Soekarno-Hatta tidak boleh tutup mata pada sisi baik warga Jepang dan warga Belanda yang pro kemerdekaan Indonesia.

Sementara figur lain bisa dimunculkan belakangan sebagai pahlawan kemerdekaan, pahlawan Nasional, atau muncul sebagai nama jalan, gedung, museum, lapangan, taman kota, dll".

Lalu dia menimpali dengan kalimat tanya sederhana. Namanya juga ngobrol via status:
"Begitu ya?"

Saya pun menambahi komentar itu. Setidaknya untuk semua figur kepahlawanan, termasuk yang datang dari generasi sekarang:
"Siap 86. Dua pertimbangan khusus lain adalah soal penerimaan secara sosial politis dan kelengkapan data. Ada satu-dua figur, contohnya Gus Dur dan Pak Harto di era sekarang. Untuk dipahlawankan dalam waktu segera, butuh kondisi penerimaan secara sosial pilitis itu. Tidak boleh menimbulkan gejolak. Bahkan harus menjawab pertanyaan, berguna untuk apa dipahlawankan? Atau ada juga pertimbangan pada sisi kelengkapan data kepahlawanannya. Karena pahlawan dan kepahlawanan  tidak boleh ditolak oleh waktu. Data dan faktanya harus meyakinkan"

Saya sendiri di hari H wafatnya Pak Harto, di radio bilang, "Kita kehilangan sosok pahlawan". Di masa Gus Dur wafat saya menerbitkan buku antologi puisi.

Memang, saya sudah dengar dan baca. Tidak sedikit tokoh masyarakat yang berpendapat pejuang yang mengangkat citra wanita di bumi Nusantara ini sudah ada dari masa sebelum Kartini, bahkan tokoh-tokoh wanita yang menonjol itu sudah muncul sejak jaman Kerajaan Nusantara.  Sehingga ini dianggap kontra-teori. Tidak benar wanita Indonesia itu terbelakang dan 'nrimo kalah' dari jaman dulunya.

Tetapi memang benar, era masuknya bangsa-bangsa Asing yang merugikan dan menjajah Indonesia, dalam kurun berabad-abad telah mengecilkan arti dan eksistensi wanita Indonesia. Tidak cuma wanita, bahkan kaum pria sebagai pribumi dikondisikan sebagai manusia kedua atau ketiga, bahkan sebagai mahluk tertindas dan tak berdaya. Di situ dunia pendidikan sirna. 

RA Kartini termasuk yang membuka ruang pendidikan untuk kaumnya itu. Bahkan upayanya itu dijelaskan kepada warga Belanda yang mencintainya. RA Kartini tidak suka penjajahan Belanda, tetapi mencintai orang Belanda. RA Kartini tidak suka tradisi yang mengekang, tapi ia cinta tradisi Indonesia yang terbuka dan mencerahkan.

Kalau Dinas Sosial, intansi pemerintah lain, kaum cendekia dan siapapun pingin berkomentar soal hal ini tentu boleh-boleh saja. Kita merdeka kan?

Selamat hari Pahlawan!

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG