PENYAIR PEROKOK?

"Penyair itu idealnya ngerokok", begitu status yang ditulis RgBagus Warsono 7 jam lalu hari ini, Sabtu, 11112017. Dilengkapi foto diri dan foto beberapa penyair yang sedang merokok, termasuk Chairil dan Rendra.

Saya coba pandangi sejenak status dan foto-foto itu. Lalu saya bayangkan, bagaimana kalau yang mengucapkan kalimat pada kolom status penggagas Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia itu, Rendra, Chairil atau Mustofa Bisri.

Chairil berkata, "Penyair itu idealnya ngerokok?" Mungkin gak ya dia ngucapin itu? Atau Mustofa Bisri? Atau saya?

Bagaimana kalau yang baca status semodel itu para penyair remaja, sebagian tentu calon penyair serius.

Jujur. Di awal usia kerja saya mulai merokok aktif. Karena prinsip saya, boleh merokok kalau sudah bisa nyari duit. Bukan saran orang tua. Meskipun ketika itu saya merasa beda dari banyak orang. Di depan mesin tik (saat itu belum era komputer atau laptop), saya malah tidak bisa merokok. Itu sangat mengganggu. Karena itu biasanya saya merokok justru sebelum menulis atau sesudahnya.

Tetapi kemudian seiring berjalannya waktu, saya mengurangi merokok, sampai menjadi perokok pasif, dan sudah dua tahun ini berhenti sama sekali.

Pengalaman berhenti total tidak merokok pernah juga saya lakukan hampir 2 tahunan sebelum tahun 2000. Waktu itu saya berpegang pada kalimat keramat, "Berhenti itu ya berhenti, tidak berhenti itu ya tidak berhenti". Kalau kita mau berhenti merokok cuma satu jawabannya, tak ada lain, yaitu, BERHENTI. Kalau berhasil, berarti kita tahu apa arti kata berhenti, kalau tidak berhasil berarti kita pembohong.

Memahami prinsip kata berhenti, bisa mengantarkan kita untuk memahami prinsip kata tidak atau menolak. Bagi yang ngajil ilmu tinggi, ini penting. Karena kejatuhan ilmu itu pada saat tidak ada yang menyaksikan, hanya Allah saja. Saya ambil contoh. Jika pria wanita yang bukan suami istri, bukan muhrim, berdua di tempat sepi, katanya pihak ketiganya syetan. Tentu saja. Karena manusia itu cenderung khilaf dan berdosa. Ia bisa terjebak mendekati zina bahkan berzina. Mendekati zina adalah, melakukan hal-hal yang tidak sampai berzina tetapi berpeluang mengarah ke sana. Walaupun cuma sebatas memakai pandangan mata. Sedangkan berzina adalah berhubungan badan bukan sebagai suami istri. Tetapi pada orang sakti, dia bisa menggunakan kata TIDAK! Atau, MENOLAK! Sebab kalaupun harus menunjuk pihak ketiga, ia akan menyebut Allah atau malaikat Allah. Jangankan lagi sampai zina, mendekati pun mustahil terjadi. Kecuali ilmu dan kesaktiannya jatuh.

Tapi masuk tahun 2000-an saya merokok lagi meskipun terkesan mulai tidak seaktif dulu. Hanya pada waktu-waktu tertentu. Dengan alasan sederhana, "Saya butuh teman saat berfikir sendiri di tengah kerja yang padat. Ibaratnya, beberapa batang rokok di tangan seseorang bisa menemani menuntaskan proyek jalan tol". Saya tidak merasa gagal berhenti merokok, tetapi saya telah berkata saya mau merokok. 

Sampai saya punya jurus jitu ketika dalam posisi tidak merokok, sebagai Programmer Radio harus menemani marketing jualan program radio. Meskipun tidak merokok saya harus mengaku merokok. Pendek kata, sebagai orang radio, sebagai seniman, saya merokok. Apa sebab? Sebab saya masih butuh iklan rokok untuk disiarkan di radio, atau sponsor program off air. Artinya yang merokok itu radio yang saya pimpin.

Kalau diilustrasikan begini. Suatu hari saya berhadapan dengan seseorang dari sponsor rokok di ruang kerja saya. Kebetulan ada pembicaraan seputar spot iklan radio dan rencana mengadakan panggung musik besar. Lalu di tengah bicara-bicara dia bilang, "Boleh sambil merokok?" Saya jawab, "Silahkan Pak. Bahkan saya selalu menyiapkan asbaknya". Lalu dia mengeluarkan sebungkus rokok sambil menawari saya. Nah nah nah. Waktu itu saya jawab, "Saya merokok tapi rokoknya lain. Rokok saya iklan rokok. Ini bahasa biasa. 

Di kalangan manager Radio saya suka disindir, "Bang Gilang masih merokok ya?" Maksudnya Radio saya tidak menolak iklan rokok. Karena ada juga Radio tertentu yang sama sekali menolak iklan rokok. Maka sebagai narasumber acara Apresiasi Seni sekaligus penyair, di radio saya pernah "merokok tapi tidak merokok".

Alhamdulillah sudah dua tahun belakangan ini saya sama sekali tidak merokok. Apalagi sudah menyatakan pensiun dari radio. Sebab kalau saya mau maju lagi ke radio, meskipun mesti bersedia pindah-pindah kota, peluang itu masih terbuka 300%.

Ah, akhirnya argumentasi saya itu sampai juga ke posisi presiden. Saya pernah jelaskan di radio dan di grup Orang Radio Indonesia yang materinya bisa dibaca di cannadrama.blogspot.com. Bahwa seorang presiden pun sesungguhnya seorang penari jaipong dan chearleader. Mengapa? Sebab undang-undang di tangannya memberi ruang dua seni itu berkembang. Begitupun selama pabrik rokok masih dilindungi, presiden kita itu masih perokok. Meskipun tidak pernah dia menghisap sebatang rokokpun.

Secara tradisional masyarakat melihat, merokok tidak bisa disamakan dengan kecanduan narkoba, atau mabuk-mabukan. Bukan pula tindak kejahatan. Itu sebabnya petani cengkeh dan tembakau masuk katagori petani biasa. Tidak bisa disamakan dengan menanam ganja. Bahkan bapak saya, Soetoyo Madyo Saputro, sebagai pimpinan (Sinder) perkebunan cengkeh dan kopi, merasa sebagai petani atau orang hutan biasa. Jauh dari fikiran ingin meracuni masyarakat atau  mengajak jahat orang banyak. Karena itu berkah Allah. Apalagi manfaat cengkeh itu banyak, tidak cuma untuk rokok.

Tetapi masyarakat harus menyadari kondisinya. Ada yang kondisinya sehat selama merokok. Ada yang sensitif, rentan, mudah terganggu kesehatannya kalau merokok. Dan ketiga, ada yang 'berparadigma sehat' dengan memilih tidak merokok karena melihat sekecil apapun ada efek negatifnya. Dalam paham agama katagorinya makruh. Lebih baik tidak. Meskipun ada pihak yang menyebut haram, tetapi tentu saja bagi yang jalan tarekatnya demikian.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG