PRESIDEN MENIKAHKAN
Tak ada yang percuma dari senyum dan gerakan jemari orang baik. Apalagi berderajat Kyai. Ulama. Sebab dia sudah menghitung persegi Ka'bah nya. Bahkan istigfarnya pun selalu terdengar tulus dan menguatkan pendiriannya yang tinggi.
Tak ada yang sia-sia juga apapun yang dipersiapkann oleh presiden Joko Widodo untuk menikahkan anaknya. Apalagi itu acara besar. Tidak sekadar menebar senyum dan menggerakkan jari.
Menikah dan menikahkan adalah dua istilah peradaban yang agung. Tidak hanya milik presiden. Tentu semua orang tua bisa memahaminya. Apalagi untuk tokoh sekelas presiden.
Menikah dan menikahkan adalah ritual halal menggapai halal. Menikah, artinya membangun rumah tangga yang sakinah mawadah warohmah. Menikahkan, berarti memberi contoh membangun rumah tangga yang sakinah mawadah warohmah itu. Maka siapa-siapa yang menikah, terhukum bakal menikahkan. itu lingkaran besar yang bercahaya.
Maka menikah tidak boleh sepele, sesederhana apapun acaranya. Sebab itu menjadi dakwah pada diri dan dakwah kepada anak-cucu yang tersaksikan ilmu langit.
Menikah juga syiar hidup. Bernilai sosial. Lintas suku, bahkan lintas negara. Parfum abadi yang ditebarkan tujuh penjuru angin. Harus ada kekhusyukan dalam memahami maksud, berniat, dan menjalani prosesnya.
Manusia sering lupa, bahkan nabi Adam pun menikah dengan Siti Hawa sebagai manusia pertama di bumi. Dan anak keturunannya diketahui dan terjaga dengan jelas. Sampai kelak anak-anaknya itu, antara yang satu dengan yang lain, antara pria dan wanita, menikah.
Ini ilmu hikmah. Di depan yang menikah, pihak yang belum menikah pun akan berkata, 'aku menikah'. Sebab kalau dia mati muda sebelum menikah, dia takut ditagih ilmunya oleh generasi mendatang: Bahwa si Fulan tidak menikah, buktinya masuk sorga. Padahal si Fulan terbukti mendukung pernikahan, dan merasa-rasa setiap pernikahan yang mulia adalah pernikahannya. Sebab hamba Allah itu satu jiwa belaka. Begitupun Isa AS. Ia mengatakan kepada semua yang menikah, "Aku padamu menikah juga. Sebagai pria dan wanita yang saling mencinta. Sebagai perjanjian suci untuk memberi suritauladan generasi bumi".
Ya, ini hikmah. Bahkan seorang tua, atau yang karena kondisi fisik dan kesehatannya tidak memungkinkannya menikah, mereka tetap akan berkata di depan yang menikah, "Allah memberi berkah yang besar kepada kalian. Berkah itu berkah untukku. Karena pernikahan yang mulia itu. Karena akan segera lahir anak cucu yang menyelamatkan bumi dengan cinta'.
Kita tentu masih ingat atau setidaknya bisa dengar lagi lagu Iwan Fals, Suara Hati. Kalau disimpulkan lagu itu berpesan, jika wakil rakyat di gedung DPR itu mau amanah, maka dia SUARA HATI. Tapi kalau wakil rakyat itu hianat, Iwan bertanya, kemanakah suara hati? Pun dalam pernikahan. Semua yang menikah mesti menjadi suara hati, setidaknya berusaha hidup istikomah dalam amanah Allah. Agar semua manusia yang berkhidmad kepada pernikahan mengamini.
Maka tak ada satu nabipun yang tidak menikah. Tidak ada! Maka tak ada satu pun sosok kharismatik yang tidak mengajari cinta, kasih sayang rindu di antara pria dan wanita.
Bahkan kita patut yakinkan, raksasa yang paling raksasa, yang jauh lebih besar dari persekutuan para monster dunia yang jahat, adalah 'super raksasa pria muslim' menikahi 'super raksasa wanita muslim'. Artinya, kaum pria dan kaum wanita yang bertemu, hidup bagaikan satu tubuh. Diangkat nilainya dalam pernikahan pria wanita yang tinggi, mulia dan sakral.
Saya pernah cerita di radio beberapa kali tema tradisi pernikahan ini. Jika seorang artis Indonesia menikah dengan 'bule', warga negara asing, semua mata pasti akan fokus kepadanya. Mengapa mesti dengan warga negara Asing? Ada misi apa? Sebesar apa misinya? Memberi syiar apa? Kode apa? Dst.
Sebagai anak dari keluarga Jawa Tengah, bahkan saya pernah ingin menikah dengan orang Sunda. Coba tebak apa maunya? Tetapi Allah punya rencana, tidak pernah tidak sempurna. Saya akhirnya menikah dengan orang Manado, warga Bandung. Dilaksanakan di KUA Bandung pula. Tetapi kalau ada yang di belakang hari bertanya, "Mengapa menikah dengan orang Manado?" Pasti saya jawab, "Wujud cinta yang besar kepada Manado. Ini pernikahan manusia Nusantara".
Ketika saya berpisah dengan istri saya itu, saya tetap teguh dalam cinta yang besar kepada Manado dan dua anak jaman (Jawa Manado) yang segera menjadi dewasa. Pasti kedua anak saya itu akan bersaksi banyak sampai tujuh turunan tentang Jawa-Manado, tentang Indonesia. Semuanya sudah saya pikirkan jauh-jauh hari. Maka hari ini saya masih menyebut ibunya dengan panggilan, "Ibunya anak-anak. Suatu panggilan yang bernilai tinggi".
Dan ketika saya menikah dengan wanita Jakarta, keturunan Wonogiri-Pekalongan, saya melakukan ijab kabul di Purwakarta. Tentu saya tahu mengapa begitu. Semua kesempurnaan Allah semata.
Dengan pengalaman saya, seperti juga anda menggunakan pengalaman anda, sekarang kita bisa melihat hajat Presiden itu dari pintu-pintunya.
Betapa presiden telah menggunakan persiapan matang, adat Jawa dan adat Batak. Tentu melambangkan ke-Nusantara-an. Sesuatu yang fantastik. Meskipun pembelaan ini juga tetap berlaku bagi teman saya warga Jampang yang menikahi tetangga depan rumahnya, orang Jampang juga. Karena girah Nusantara atau ke Indonesiaan itu tidak selalu harus lintas suku, lintas pulau. Itu kedewasaan sosial namanya.
Dari kacamata lagu dangdut yang berjudul, pacar lima langkah. Kedua mempelai, Jawa dan Batak itu, pun representasi lima langkah. Cuma lima langkah. Karena bangsa Indonesia itu memang dekat. Akrab. Bertetangga semua.
Maka saya senang, sangat bahagia, mendengar presiden menikahkan anaknya. Saya sangat bersyukur. Berdoa, semoga keluarga besar presiden dan yang dinikahkannya bahagia lahir batin, senantiasa dalam indungan Allah SWT.
Secara syiar nikah. Ketika 1000 warga telah menikah biasa-biasa saja, tentu baik dan mulia jika ada 1 warga yang menikah secara istimewa, agar dakwah nikah terdengar kemana-mana, seperti 'kentongan muazin'. Bunyi yang memanggil-manggil dan memberi tahu siapa saja, tanpa kecuali.
Apalagi putra-putri presiden yang menikah, tidak cuma berada di depan 1000 warga, tetapi seluruh bangsa Indonesia.
Meskipun tentu saja, segala istimewa itu ada rujukan pakemnya, bukan hura-hura. Dan presiden sudah sangat memahami itu. Bahkan pesta rakyatnya disebut-sebut oleh berbagai media sangat merakyat. Sangat relijus. Sangat menghargai keramat tradisi.
Setelah peristiwa sakral itu, semoga banyak yang tercerahkan oleh simbol-simbol, kode-kode etik, dan terinspirasi oleh keindahan cinta. Selalu sebagai novel di atas pelaminan.
Selamat. Selamat. Selamat.
Kalau wong cilik seperti saya saja demikian jauh berfikirnya, bagaimana dengan para tokoh yang punya posisi dan pengaruh besar?
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar