PRESIDEN SAYA 2019
Belakangan ini ada yang mulai membaca saya. Siapa gubernur Jawa Barat dalam Pilgub 2018 versi Gilang Teguh Pambudi? Bahkan sudah sejak 2015 lalu. Padahal saya mah apa atuh. Cuma Wong cilik. Ndeso. Anak Orang Hutan. Tapi saya malah enak menjawab untuk tahun 2019.
Saya Indonesia, saya Pancasila. Saya Indonesia, saya konstitusional. Tentu, sebagai muslim, saya muslim, saya Indonesia, saya Pancasila, dan saya konstitusional.
Presiden saya menurut amanah undang-undang, bisa bahkan harus memimpin 10 tahun. Dua periode. Bisa 10 ahun berturut-turut jika, memenangkan pemilihan presiden untuk kedua kalinya. Bahkan presiden saya wajib memimpin 10 tahun jika nyata-nyata terpilih lagi untuk memimpin Indonesia 5 tahun lagi setelah memimpin pada 5 tahun pertama.
Bagaimana? Apakah presiden saya presiden Anda juga? Apa kata undang-undang yang dirahmati Allah itu?
Dengan jalan fikiran demikian otomatis halal sesuai prosedur hukum jika saya berfikir, kondisi di setiap daerah harus mendukung prinsip presiden 10 tahun itu. Dua periode. Sekali lagi, dengan catatan memenangkannya untuk periode 5 tahun berikutnya setelah memimpin pada 5 tahun sebelumnya.
Sikap saya bukan sok pro pemerintah atau penguasa. Bukan. Bukan tidak berani kritis seperti para penyair yang dibilang kritis. Itu sudah ada pada relnya. Sudah didikte langit. Sikap saya justru bagian dari paradigma hukum berkeadilan.
Memang. Era Presiden Habibie tidak mengalami periodisasi 10 tahun. Itu masih pada garisnya era Presiden Soeharto. Mestinya dia bisa 1000 tahun jadi presiden. Tapi kan sosial politik kita bergejolak tidak menginginkan itu. Dan Alhamdulillah, gejolak itu mengikuti prosedur hukum. Panglima TNI saat itu, Wiranto, termasuk pihak yang membuat suasana bergejolak itu aman terkendali sampai muncul presiden baru, Gus Dur.
Gus Dur pun bisa jadi presiden 1000 tahun. Tetapi lagi-lagi kondisi saat itu tidak memungkinkan untuk itu. Dan dia pun mengakhiri tugas di tengah jalan, tetapi tetap dalam hamparan cinta bangsa Indonesia. Termasuk dari hati saya.
Era Presiden Mega agak lain. Grafik kepemimpinannya terus menciptakan kondisi era reformasi aman nyaman. Semestinya dia bisa terpilih lagi di periode selanjutnya. Ini menurut saya. Sampai-sampai kalau saya jalan ada yang bisik-bisik, "Awas ada Mega", atau, "Kasih Mega lewat". Padahal sejak awal reformasi di panggung kampanye saya teriak, Amin Rais for President. Upahnya pun sudah saya terima, satu kali pernah pelukan dengan Amin Rais di Cimahi, karena waktu itu saya ber-KTP Cimahi-Bandung..
Ya. Presiden Megawati layak maju lagi sebagai pemenang ketika itu. Meskipun kalah pun dia pemenang, menjadi presiden pertama wanita Indonesia. Padahal Amerika dan tidak sedikit negara lain belum punya presiden pertama wanita. Saya sempat mengira Amerika bakal punya Hilary Clinton.
Tapi akhirnya Mega kalah dari SBY, dalam perhelatan demokrasi yang dari sejak awal terasa cantik. Di mata saya, menjelang pilpres itu, kubu Megawati sebagai penguasa (petahana) tidak menunjukkan hal-hal aneh. Tidak menunjukkan manuver buruk. Baik-baik saja. Malah terkesan ingin menunjukkan kepada dunia, di eranya itulah pemilu terbaik sepanjang sejarah Indonesia.
Di era ini pula di radio saya termasuk jurnalis peliput pemilu, tentu posisi saya Programmer/ koordinator. Bahkan mengikuti program khusus, persiapan jurnalis Radio se Jawa Barat menyambut Pilpres.
Saya termasuk yang menyesali Mega tidak berlanjut. Sampai berfikir, pada masanya mesti menang lagi, atau ada yang berasal dari pihaknya yang menang. Dan di belakang hari terjawab sudah, yang disebut pihaknya itu adalah era Presiden Joko Widodo. Dari sisi rasa sosial politik masyarakat, bukan dari sisi konstitusi, era Mega bisa disebut berlanjut ke era Jokowi. Meskipun tidak boleh ditafsirkan Jokowi harus segera menutup era Mega pada pemilu 2019. Artinya bukan berarti dia tidak usah berlanjut. Bukan demian. Karena masih ada bahasa konstitusi.
Menurut bahasa konstitusi saya mengamati, era Presiden SBY cukup mulus melenggang 10 tahun. Aman. Mendatangkan kewibawaan pemerintah yang cukup besar dan penerimaan masyarakat yang cukup besar pula. Bahkan naiknya Jokowi jadi presiden 100% tidak dibebani perselisihan dengan SBY. Bersih karena amanat konstitusi. Kemenangan undang-undang dan demokrasi. Itu sebabnya membaca Jokowi harus memakai amanat konstitusi.
Masuk akal kan?
Bagi saya, presiden saya itu diamanati undang-undang untuk memimpin negri ini 10 tahun. Jadi tahun 2019 harus menang pemilu. Karena logika konstitusinya, itu modal untuk menggenapi 10 tahunnya itu.
Dalam amatan saya. Paradigma saya. Pilpres 2019 gak patut pake perselisihan-perselisihan. Cukup menang pakai undang-undang saja. Biar undang-undang saja yang menang. Sistem kenegaraan kita yang menang. Ihlas. Biar masyarakat aman, tentram, damai, menikmati keadilan, sejahtera lahir batin.
Saya melihat pada perjalanan tahun-tahun yang akan datang, bangsa Indonesia akan bersikap nyaman dengan era Presiden 10 tahun ini. Meskipun ada pesta demokrasi, Pilpres, di setiap masa 5 tahun. Kecuali jika ada hal-hal yang mempengaruhi kenyamanan itu.
Salam demokrasi Pancasila.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar