RAHASIA SALAH CETAK DAN PERMAKLUMANNYA
sebentar aku datang
ke kampungmu
kita pacaran tentu saja
tapi kamu jangan di situ
di hatiku saja
sebab jarak kampungmu dan aku
adalah rindu
Kemayoran, 23102017
#puisipendekindonesia
-----
Bahkan sebuah desa, sebuah kampung, adalah destinasi yang eksotik bagi hidup. Hangat dan sedap. Sejuk yang nikmat. Kopi dan jalan-jalan tanah. Rumput dan ketawa. Saya ingin bicara banyak lewat puisi, RIINDU KAMPUNG itu. Supaya semua balik ke desa, setidaknya hatinya.
Semoga puisi itu bekerja dengan cara yang paling sederhana dan mustajab.
Pagi ini penyair Soni Farid Maulana saya temui tulisan di akun facebooknya. Sesuatu yang pasti menarik. Sebab pertama, dia biasa hidup di dunia cetak, surat kabar Pikiran Rakyat. Kedua, bukunya sudah banyak yang terbit. Ketiga, dia penyair, dengan memiliki peluang puisinya bernasib seperti pada komentarnya.
Dia menulis, "Kamu kira menyusun antologi puisi itu; gampang. Ada salah sedikit saja cacat hingga akhir zaman. Apalagi antologi puisi bersama".
Soni benar. Ketika menghadiri undangan bedah buku, saya pun biasa dengar kalimat penulis sebagai pembicara atau dari perwakipan penerbit, "Insya Allah, akan ada revisi pada penerbitan berikutnya". Revisi di situ bisa berarti ada bagian yang salah cetak, kurang lengkap, dll.
Tapi tetap saja saya tergelitik untuk mengomentari. Sangat. Biarpun komentar pendek saja. Karena ada teori di balik itu. Dan pembaca pun akan tertarik memasuki rahasia kalimat Soni dan uraian singkat saya. Atau setidaknya bisa jadi penanda, pengingat, atau refrensi diskusi buku dan karya sastra.
Saya berkomentar di akun itu, "Tapi memang. Ada penerbit yang siap pada tiga-empat tahun yang akan datang menerbitkan ulang, suatu yang pernah diterbitkannya. Biasanya dilabeli, edisi revisi.
Tapi ada penerbit yang entah karena pertimbangan pasar atau gulung tikar, tidak menerbitkan lagi antologi yang sama. Sebut saja, sekadar perumpamaan, biarpun dalam antologi itu ada satu-dua karya Rendra dan Sutarji. Misalnya.
Itu ketidak pastian.
Yang paling pasti adalah, masa penerbitan awal, yang bisa jadi penerbitan terakhir itu, selama 5-10 tahun akan dibaca masyarakat apa adanya. Plus segala kesalahan cetaknya. Termasuk salah cetak itu akan nyangkut di rak perpustakaan.
Disengaja atau tidak, yang dicetak dengan kadar kesalahan cetak signifikan akan sangat buruk rupa dan tidak dibaca. Meskipun kalau dirasa-rasa, bisa ditafsirkan ke arah mana maksud karya itu. Tetapi jika itu puisi atau cerpen, menjadi tidak bisa dibaca normal, apalagi dimimbarkan atau dilombakan. Termasuk untuk diambil masuk buku pelajaran sastra sekolah.
Satu-satunya cara harus ada media penyeimbang yang meluruskan karya itu. Kalau di internet ya melalui website.
Cetak ulang dengan edisi revisi, itu sebuah harapan. Tapi daya tawar butuh kesegeraan. Angin bertiup mendesak. Puisi harus bekerja".
Demi membaca komentar saya itu, Soni menjawab, "Ya".
Di akhir tulisan ini saya mau mengangkat suatu pengalaman ketika di radio membawakan acara Apresiasi Seni.
Ketika saya baca koran di suatu hari. Beritanya tentang pelacur atau waria mati ngambang di kali karena pembunuhan. Saya menitikkan air mata. Imaji saya liar. Padahal di usia 17 tahun saya sebagai tokoh pemuda (Remaja Mesjid dan Karang Taruna) pernah bersama RT-RW dan tokoh masyarakat berdiskusi dengan pemilik beberapa rumah yang dilaporkan warga sudah lama jadi lokalisasi pelacuran. Tujuannya agar praktek itu tidak dilanjutkan. Itu amanat warga. Tetapi melihat pelacur atau waria dibunuh dalam suatu tindak kekerasan, kemanusiaan saya tetap tidak tega. Bahkan di depan pelacur yang menjadi teman ngobrol saya ketika ketemu di manapun, saya tidak suka perbuatannya ---harus segera diakhiri---, tapi saya dukung hidupnya, jangan sampai dibunuh. Saya seperti melindungi nyawanya. Maka ketika siangnya saya baca koran itu, malamnya saya baca puisi di radio tentang harga sebuah nyawa. Saya berfikir sederhana, puisi saya harus segera bekerja. Masuk ke telinga dan jantung siapa saja. Tidak perlu menunggu besok. Kesadaran harus dibangkitkan. Kesaksian harus dikabarkan. Meskipun semua tahu, memasuki multi tafsir, ambiguitasnya, puisi itu tak lekang oleh waktu. Selalu bekerja kapan saja.
Puisi dan cerpen yang pernah saya kirim ke koran, meskipun tidak banyak, pun harus segera bekerja sejak muncul di koran. Antologi puisi tentang lingkungan hidup, dan antologi puisi anti narkoba, pun pernah saya sikapi sama. Harus segera terbit dan bekerja. Menjadi pengaruh.
Sungguh repot kalau ada cerpen atau puisi tidak bisa bekerja karena salah cetak yang signifikan. Sekali lagi, menjadi tidak bisa dibaca normal, tidak bisa dimimbarkan, tidak bisa dilombakan, tidak bisa diambil masuk buku pelajaran sastra, atau tidak bisa diambil guru sastra sebagai contoh puisi dari suatu buku. Padahal itu semua ruang kerja puisi.
Belakangan ini marak gagasan penyair atau seniman masuk sekolah. Bagus untuk membagi pengalaman, menjawab pertanyaan, dan menjelaskan banyak hal. Tetapi bagaimana kalau suatu puisi atau cerpen penyair yang salah cetak itu sudah masuk ke perpustakaan sekolah, sementara penyairnya tidak pernah masuk ke sekolah itu. Sementara guru dan murid di situ tidak pernah mendengar komentar atau penjelasan penyairnya?
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar