SAYAP PATAH DAN PUISI ITU

SELAMAT TINGGAL

langit luka-luka
menumpahkan tanda
di bumi

wangsit daun
prasasti bukit 

isi surat pada

kisah api yang membakarnya

Kemayoran, 04112017
---------

Kalau kita ngaji hikmah tentu menemui kebetulan sebagai bukan kebetulan. Seperti saya menyebut, puisi saya telah dikirim kepada saya. Selasa pula.

Selasa menurut seorang orang tua di pinggir jalan Sukabumi dulu, adalah hari saya, hari Isa katanya, hari api. Disebut hari saya karena seingat bapak, saya lahir Selasa. Hari Isa menurut orang tua itu. Hari api, karena selain punya semangat perjuangan membara, itu ketetapan yang kuat.

Mungkin sepintas mirip ramalan bintang yang dulu populer di majalah dan koran. Padahal lebih tepat disebut, mirip 'kalimat' motivasi. Ramalan bintang yang baik juga bersifat motivasi. Semisal ketika saya meramal, gangguanmu sikap ragu-ragu. Justru di situ ragu-ragu menjadi modal hidup, bekal sukses, untuk dilawan, dan terus maju!

Atau ketika saya menyebut, kamu punya kepribadian guru. Artinya, tidak harus ngajar di kelas atau jadi PNS. Semestinya, jiwa mendidik itu membawa diri ke suatu wilayah proporsional, sampai dipantaskan oleh masyarakat karena selalu hadir terdidik, baik dan mencerahkan.

Ya. Puisi saya dikirim Selasa, 25 Oktober 2017 ke Jakarta. Dan saya menerjemahkan, seperti kesepakatan dengan Allah, 'aku yang menyampaikan puisi itu, dan Allah yang mengirimnya'. Dikirim dari doa, kesadaran, dan kewajiban hidup saya. Sebab Allah maha menentukan sejak awal. Seperti kalimat umumnya yang populer, telah dtitipkan setiap amanah itu pada tempatnya.

Sebuah romantisme bisa saya ilustrasikan di sini. Mengapa saya bisa menikah dengan Yayuk Puji Rahayu, yang lahir di Jakarta keturunan Wonogiri-Pekalongan itu? Pertama, dulu waktu umur SMP-SMA memang pernah ketemu di Jakarta. Kedua, setelah dewasa ketemu lagi. Kami saling mencintai. Tetapi ketika dia menyatakan lebih dulu sangat ingin menikah dengan saya, saya telah mempertimbangkan kemungkinannya. Dan ketika waktunya tiba, saya katakan padanya, "Saya yang meminta kepada Allah seorang istri yang baik, karena itu saya mencintai dan hari ini menikahi. Sudah lama saya menginginkan ini". Begitulah. Dan kalau teman saya bertanya, "Siapa yang menginginkan menikah?" ---padahal dia tahu cerita kami sebelum nikah---. Saya jawab, "Saya!" Sebab Allah sudah menentukan sejak awal. Dan saya mustahil menolaknya.

Kesadaran saya ini sekaligus oto-kritik terhadap perjodohan yang ada dalam masyarakat Islam. Banyak yang di belakang hari menyebut, "Aku tidak mencintainya, aku dijodohkan!" Padahal semestinya ia berkata, "Aku telah menimbang di depan Allah, bersyukur atas ketetapannya, dan telah meminta dijodohkan, karena cinta yang agung, hingga akhirnya menikah". Itulah peristiwa dijodohkan yang Islami.

Tentu. 'Aku lahir laki-laki dan jantan karena aku memintanya. Dan aku seperti itu karena Allah menginginkannya sejak semula'. Sebagai perintah sekaligus ketetapan.

Itu sebabnya saya tidak setuju kalau ada pendapat umum, bahkan mungkin diamini pemerintah, bahwa keluarga yang sakinah mawadah warohmah itu pasti yang tidak pernah bercerai. Seseorang yang pernah bercerai, tidak layak disebut memahami sistem keluarga harmonis. Padahal ulama juga ada yang cerai. Padahal pendapat umum ini bisa ingkar sunah. Keji. Sebab pernikahan itu komitmen suci. Jika suami istri telah selesai dengan keterikatannya, sepakat bercerai, maka masing-masing bisa membangun keterikatan baru yang lain. Dan masing-masing sebisa mungkin harus membangun keharmonisan. Sebagai persembahan suci untuk Allah. Bahkan seorang hamba mesti berkata, "Aku menerima segala rencana Allah, sebab aku telah meminta semuanya yang ia berikan, yaitu kemuliaan dan kemenangan".

Kembali fokus ke puisi saya.

Puisi saya berjudul Menulis Apa Kita. Ada dalam buku antologi bersama, Kita Dijajah Lagi. Diterbitkan oleh Penebar Media Pustaka, Yogyakarta.

Seperti yang pernah saya uraikan di cannadrama.blogspot.com , keikutsertaan dalam antologi puisi bersama adalah suatu kehormatan buat penyair siapa saja. Ada spirit saling menemani. Bersastra bersama. Sehingga misinya jelas. Saya bangga menjadi teman bagi semua. Itu saja.

Bahkan pernah saya jelaskan, bagi penyair yang baru memiliki satu-dua puisi pada antologi bersama, termasuk jika tetap begitu sampai akhir hayatnya, bersyukur dan berbahagialah dengan itu. Berjayalah. Tak akan ada pencabutan status kepenyairan oleh malaikat karena kita hanya punya satu dua puisi di buku. Jika puisi itu benar-benar bisa menjadi wajah dan telapak tangan penyairnya. Meskipun selebihnya si penyair lebih sibuk dengan berbagai kegiatan panggung sastra. Terkecuali ketika kita merasa batal sebagai penyair jadi.

Bersyukurlah tentu saja, jika kita punya banyak puisi yang diterbitkan dan tersosialisasikan dengan baik. Sebab puisi itu akan bekerja jika dibaca orang dan berpengaruh. Selain puisi itu akan bekerja melalui prinsip-prinsip yang dilakukan oleh penyairnya dalam realitas hidup sehari-hari. Kepribadian penyair menjadi titik sebab sebuah puisi punya harga.

Dalam puisi ini, saya mengunakan idiom, 'ditulis anakku'. Tulisan anak adalah masa depan. Maksudnya, kejujuran itu milik generasi yang berderap menagih peradaban. Juga mengisyaratkan ini kesepahaman generasi tua dan generasi muda. Generasi yang awal dengan generasi yang baru. Mengapa di negri sendiri kita seperti dijajah bangsa sendiri?

Mengapa kesejahteraan Mohammad Toha yang selalu siap 'meledakkan' rumah makan harus dihancurkan oleh sistem ekonomi yang buruk? Rumah makan adalah simbul usaha. Dari sini kita bisa menakar daya kita mulai dari pedagang kaki lima sampai para pengusaha yang mau maju. Mengapa kesejahteraan hanya milik segelintir orang, siapa dan apa yang salah? Mengapa orang-orang terhormat di negri ini, yang juga punya kekuasaan untuk menyejahterakan masyarakat malah jadi koruptor?

Di lain pihak, ketika kesejahteraan lahir batin, jiwa raga, itu yang kita inginkan,  mengapa terlalu banyak pihak-pihak yang malah menjual racun pada generasi sendiri? Menikam hari ini dan membunuh masa depannya dengan miras dan narkoba. Jaringannya kuat. Bahkan kadang melibatkan juga orang-orang penting. Mengapa kita mesti tertekan dan melawan monster di tubuh bangsa sendiri?

Apa benar kita belum merdeka?

Begini selengkapnya puisi,

MENULIS APA KITA

Mohammad Toha ditulis anakku
Depan rumah makan Sunda
Sebagai perlawanan yang siap meledak
Dengan bom di tangan

Menjadi kesejahteraan

Aku menulis apa dalam kesaksian yang tua?

Pintu-pintu kesejahteraan itu ditutup kembali
Lalu di ruang dalam
Kesejahteraan adalah tempat tidur
Bagi segelintir keras kepala dan hati api
Yang menimang serba  keuntungan sendiri
Dan sebagian pesta korupsi

Muntah daging ditulis anakku
Karena tragedi anak negri yang tidak bisa menelan tubuhnya sendiri 
Dengan ziarah kesalehan
Karena selalu berdarah kecelakaan sosial yang parah 
Tetapi engkau malah tokoh pribumi yang menjual narkoba kepada anak kandung sendiri

Aku harus menulis apa
Melawan bangsa sendiri?

Kemayoran,  01082017
-----

Puisi ini dimuat di halaman 12. Sudah sejak lema angka 12 dikaitkan dengan jumlah murid dan jumlah imam. Setidaknya simbul yang selalu kuat. Cahaya bulan. 12 menjadi angka terakhir pada deret angka di situ. Menunjukan berkhidmad pada akhir. Segala akhir. Orientasi akhir. Termasuk cinta Nabi akhir zaman.

Pada antologi bersama penyair Indonesia kali ini saya berada pada urutan penyair ke tujuh. Tujuh adalah puncak ketercapaian segala tujuan dan kejayaan.

Tetapi berbeda dari antologi sebelumnya yang mencantumkan Jakarta sebagai tempat domisili saya, kali ini saya disebut Penyair Kendal, sesuai dengan tempat dan tanggal lahir. Dan saya juga mengakui sebagai anak orang hutan, karena alm. bapak kerja di Perkebunan, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Barat. Untung di antologi Syair Wangi dll (Cannadrama), data saya menunjukkan Purwakarta (Jawa Barat).

Semua serba kebetulan. Serba pas. Sebuah karunia. Apakah saya juga mesti membahas keberuntungan puisi dan penyair lain dalam suatu penerbitan buku? Setidaknya supaya mencairkan tuduhan ujub, ria, takabur kepada saya. Boleh juga. Kapan kita bisa ngopi bersama seperti Rumi?

Tapi pernahkah anda melihat sayap burung di semak-semak dan rerimbunan daun kering? Kalau sayap itu menjuntai indah pasti anda akan terpana, sangat menyukainya, dan penasaran ingin tahu seperti apa burung di balik semak itu. Lalu, bisa jadi anda segera memgendap-endap agar lebih dekat, agar kebih jelas melhat indah burungnya. Di tangan disiapkan kamera siap jepret.

Tapi bagaimana jika akhirnya anda tahu, ternyata keindahan itu hanya milik sayap yang tanggal atau bahkan patah? Tak ada burungnya. Pasti super kecewa bukan?

Kita bayangkan jika anda membaca koran Republika yang memuat puisi Rendra, atau Majalah Horizon yang memuat puisi Chairil Anwar. Anda terpesona. Lalu mulai membacanya. 3-4 kalimat awal sangat menggoda. Tetapi ternyata, memasuki kalimat ke 5 dst anda menemui akrobat huruf, kata dan kalimat yang gak nyambung. Jelas-jelas, tanpa ragu, anda menyebut telah terjadi salah cetak. Bagaimana kalau demikian? Bahkan untuk melanjutkan baca pun anda jadi malas karena jadi gak jelas arahnya.

Begitulah yang terjadi pada pemuatan puisi saya di antologi kali ini. Tidak bisa dinikmati sepenuhnya, bahkan bikin bingung, karena terjadi salah cetak yang super serius. Untung tidak sampai mendatangkan tafsir negatif. Cuma sebatas tidak bisa dibaca sama sekali.

Benar-benar, menulis apa kita? Sayap patah itu tak memperlihatkan keutuhan burung indahnya. Tapi untung, anda masih bisa melihat burungnya di tempat lain. Termasuk di rumah hati saya.

Terimakasih kepada koordinator penyair, penggagas antologi bersama, editor, dan pihak penerbit. Meskipun salah cetak, semangatnya telah diterima masyarakat Indonesia. Biarpun tak perlu ada yang baca puisi saya di situ. Sebab itu pasti menyiksanya.

Ini soal membaca kesempurnaan. Subhanallah.

Inilah puisi saya yang telah terbit itu, dan sebelumnya pun telah dipublikasikan di AyoKesekolah.Com :

MENULIS APA KITA?

Muhammad Toha
ditulis anakku
Depan rumah makan Sunda
Sebagai perlawanan yang siap meledak
Dengan bom di tangan
Menjadi kesejahteraan
Aku menulis apa dalam kesaksian yang tua?
Pintui ruang dalam
Kesejahteraan adalah tempat tidur
Bagi segelintir keras kepala dan hati api
Yang menimang serba keuntungan sendiri
Dan sebagian pesta korupsi
Muntah daging ditulis anakku
Karena t-pintu kesejahteraan itu ditutup kembali
Lalu d ragedi anak negri yang tidak bisa menelan tubuhnya sendiri
Dengan ziarah kesalehan
Karena selalu berdarah kecelakaan sosial yang parah
Tetapi engkau malah tokoh pribumi yang menjual narkoba kepada anak kandung sendiri
Aku harus menulis apa
Melawan bangsa sendiri?
-----

Bandingkan dengan puisi saya yang sebenarnya di awal. 

Adapun puisi Selamat Tinggal di awal tulisan ini sudah saya tulis sebelum saya menerima kiriman paket buku antologi bersama, Kita Dijajah Lagi dari penerbit.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG