VIRAL GREBEK

"jangan kau korbankan
keringat kemanusiaan
berteriak-teriak beban
menangis-nangis harapan
sementara kecelakaan
kau sebut pembangunan"

Kemayoran, 2017
Judul Puisi: Pembangunan
#puisipendekindonesia
-----

Viralkan. Soalnya saya ngomong dari lebih sepuluh tahun lalu soal hal ini gak viral-viral juga. Tapi viralkan wacananya, jangan viralkan video yang tidak bertanggungjawab itu. Yang berisi perbuatan mempermalukan orang supaya ditonton orang banyak. Padahal video itu lebih tepat jadi barang bukti di tangan pihak yang berwajib, daripada dikonsumsi umum.

Sudah dari dulu saya sudah dengar. Di rumah ini terjadi penggrebekan karena ada praktek mesum. Di rumah itu ada penggrebekan katanya ada jablay (wanita nakal atau wanita panggilan/ pelacur). Di sana juga terjadi penggrebekan katanya kasus prostitusi terselubung. Begitu dan begitu. Sudah lama. Di banyak tempat.

Padahal saya ini aktivis mesjid. Dulu saya ketua dan pembina Remaja Mesjid, dan ketua Karang Taruna Kelurahan. Tetapi tetap saja setiap kali mendengar penggrebekan model begitu selalu yang terpikirkan adalah, itu upaya main hakim sendiri.

Pernah dulu di jaman Orde Baru,  saya bersama ketua RT-RW dan tokoh masyarakat mendatangi beberapa rumah yang menurut data masyarakat sudah lama dipakai transaksi seks. Itupun kami lakukan dengan sangat manusiawi. Kami datang baik-baik. Bicara baik-baik. Minta, jika diakui benar pernah ada praktek prostitusi di situ masyarakat meminta untuk disudahi. Jangan diteruskan. Itu saja. Selesai.

Tetapi yang saya maksud dalam tulisan ini adalah penggrebekan secara tiba-tiba atas dasar dugaan mesum, disertai tindakan berlebihan. Tindak mempermalukan. Tidak manusiawi. Bahkan disertai kekerasan fisik.

Padahal untuk yang nyata-nyata praktek pelacuran pun, yang diketahui orang banyak, pendekatannya bisa lebih manusiawi. Sampai terjadi kesepahaman. Sampai selesai dengan rapih persoalannya.

Yang bahaya adalah sikap terburu-buru, main hakim sendiri itu. Apalagi kalau didukung aparat setempat. Waduh-waduh!

Di radio dari lebih 10 tahun lalu saya sudah bicara, apa itu budaya grebek? Kita harus hati-hati. Bahkan interupsi saya mengenai hal ini bisa juga dibaca di tulisan lain di cannadrama.blogspot.com ini.

Kalau aparat dengan dalil yang benar menggerebek bekas lokalisasi pelacuran yang sudah ditutup, atau hotel yang disalahgunakan untuk transaksi prostitusi, gudang penimbunan barang-barang ilegal, tempat kerja yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur, tenaga asing yang tidak resmi, tempat transaksi narkoba dll, kita bisa mafhum. Itu masuk katagori tidak main hakim sendiri. Ada prosedurnya.

Tapi bagaimana dengan penggrebekan yang sembarangan itu?

Padahal kalau ada tempat kost atau kamar kontrakan diduga dipakai mesum (berzina). Pemilik tempat kost atau kamar kontrakan itu, atau penghuninya, bisa dipanggil aparat setempat baik-baik, untuk dimintai keterangan. Setidaknya untuk mengingatkan. Tidak perlu digrebek menunggu ketika ada seorang tamu laki-laki mendatangi kamar penghuni perempuan. Tidak perlu itu. Apa itu model ajaran agama? Bahkan dalam Agama hal begitu bisa masuk katagori fitnah. Fitnah itu bisa lebih kejam dari pembunuhan.

Untuk sebuah kepastian tindakan zina, dalam agama dibutuhkan saksi-saksi yang meyakinkan. Tidak ceroboh. Ada prosedur sampai titik puncak keputusan dan kepatutan hukum. Bahkan untuk sampai ke hukum cambuk sekalipun ada urutannya, tidak dipermalukan. Sehingga cambuk yang dilecutkan pada suatu hari keputusan, itu hikmah yang tenang, harga diri, dan kemuliaan. Bahkan sesungguhnya titik balik kemenangan bagi pelaku zina yang bertobat.

Tapi memang, di tengah emosi masyarakat, jika ada sementara pihak yang menuding perbuatan zina, lalu ditidakkan oleh si tertuding, biasanya yang nuding jadi naik pitam. Maunya yang dituding bilang, "Ya!". Di situlah bisa terjadi main hakim sendiri.

Konon bahkan ada yang lebih gila lagi. Katanya sepasang muda-mudi tertangkap sedang berzina di obyek wisata. Tetapi  sambil dimaki-maki dan diperlakukan kasar, keduanya malah disuruh mengulangi perbuatannya sambil disorot kamera. Apa buat bukti mereka benar-benar bersetubuh? Lalu ditelanjangi dan diarak juga. Itu gaya hidup masyarakat model apa?

Dalam kasus lain, konon yang digrebek justru Ketua RT/RW-nya yang dituding berbuat mesum. Dikerasi juga sampai diadakan pergantian ketua RT/RW.

Agama dan negara yang berkeadilan tentu tidak mengajari kekerasan dan kejahatan kepada warganya. Tidak ada istilah, kejahatan berdasarkan hukum.

Apalagi di Indonesia. Pertemuan muda-mudi atau pria dan wanita dari jaman dulu sudah menjadi fenomena keakraban sosial yang normal. Ini khas Indonesia. Terkecuali kalau berlaku dari dulu, perempuan tinggal di rumah-rumah orang tua atau suaminya, lalu setiap tamu laki-laki harus diketahui orang tua atau suaminya.

Bagaimana mungkin kita menuding setiap ada tamu laki-laki yang datang ke kontrakan seorang wanita, atau sebaliknya, sudah pasti berzina. Berhubungan di luar nikah. Atau mendekati zina. Melakukan hal-hal yang mengarah, yang memungkinkan sampai terjadi perzinahan. Apa bisa dipastikan? Apa alat deteksinya.

Menurut saya agama itu cerdas. Agama itu mencerahkan. Agama itu menyelamatkan. Agama itu keadilan. Tegas bukan keras. Agama itu cinta. Maka dengan beragama manusia akan menjadi dewasa dalam segala sikap.

Kalau masyarakat di suatu kampung nampak dewasa, berarti spiritualitas atau paham agama di situ sangat berhasil. Paling tidak, tidak ada sekelompok pihak yang suka berlebih-lebihan.

Dengan mencermati kasus penggrebekan itu, semestinya sesuai ajaran agama, yang digrebek itu berposisi sebagai orang-orang terhormat yang terjaga amanahnya, begitupun yang menggrebek. Artinya, tidak perlu terjadi penggrebekan yang salah kaprah itu.

Masyarakat pembangunan kita di lingkup kecil ketatanegaraan memanglah lingkungan RT-RW. Maka pembangunan spiritual, paham agama, sekaligus paham hukum yang dilindungi oleh negara, harus berhasil di tingkat ini.

Bahkan saya berfikir. Peran polisi, juga tentara, sangatlah besar sampai ke tingkat ini. Terutama dalam membangun wacana. Menjadikan masyarakat hidup dewasa dan terbuka. Jangan ada taklid buta (keyakinan yang gelap mata) dalam agama, meskipun agama punya sisi fanatis (cinta yang besar).

Ke depan, semakin maju Indonesia, ketika kecamatan identik dengan kota-kota (seumpama kabupaten kecil), desa/kelurahan akan membutuhkan koordinasi yang lebih rumit dalam seluruh hal. Lingkungan RT-RW akan menjadi BASIS PENDEWASAAN masyarakat. Tingkat kematangan spiritual masyatakat di situ mesti mampu mengurai sisi rumit itu. Tidak dengan kekerasan dan kebodohan.

Tentu tidak juga memberi jalan untuk kebebasan yang sebebas-bebasnya, apalagi kebebasan yang brutal atas dasar kemajuan jaman. Sebab kebebasan juga harus mulia. Kita mesti menolak setiap peristiwa, seperti yang pernah dialami oleh negara-negara yang terjebak kecelakaan sosial yang parah.

Saya setuju kalau di tingkat RT/RW ada kegiatan keagamaan rutin dan kegiatan positif lain yang mencerahkan. Untuk kalangan ibu-ibu, bapak-bapak, dan remaja. Bahkan anak-anak. Istri saya pernah jadi Kepala PAUD RW, saya sendiri pernah jadi pembina sanggar gambar anak-anak di lingkungan seperti ini. Semoga bermanfaat untuk berbagi. Tetapi tetap saja, acara atau kegiatan rutin apapun harus dilingkupi cinta dan kedewasaan sosial. Sebab kegiatan apapun bisa jadi hanya sebatas seremoni. Rutinitas belaka. 

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrana.blogspot.com
Cannaframa@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG