GILANG, KEHARUAN DAN SUKACITA NATAL

TIGA

aku
airmata
bunga                                           

Kemayoran, 042017
-----

DIA

teman paling teman
mengerti paling tahu
rasa paling jadi

Kemayoran, 21122017 
#puisipendekindonesia
-------

Tentu. Kalau hampir di semua tulisan saya mengandung bahasa relijus, Islam yang kuat, selain karena totalitas kejujuran, juga karena menjaga perasaan diri dan lingkungan negara rempat saya hidup. Saya pribadi muslim, tinggal pada sebuah bangsa yang mayoritas muslim. Jangankan pada kenyataan saya, seorang penulis Kristen di Indonesia, yang jumlahnya disebut minoritas, ketika menulis pun perlu hati-hati, pun menjaga rasa ummat Kristen di Indonesia.

Menjaga rasa seperti itu bukan fanatisme sempit. Bagi setiap muslim yang mustahil tidak fanatik, justru yang terpenting bisa terhindar dari taklid buta itu. Sebab Islam itu humanis-universal. Rahmatan lil alamin. Bahwa kemudian ada yang mereduksi, mengaburkan makna humanis-universal itu di muka bumi ini, untuk kepentingan sesaat dan sesat, biarlah Allah menegakkan kalimat sucinya.

Hidup adalah kejujuran suci. Pengingkaran adalah kelakuan manusia yang berdosa kepada Allahnya. Dan bagi saya, awal tulisan seperti ini, tersirat ataupun tersurat, sudah menjadi kalimat, bismillah. Tentu, tulisan yang selalu saya hadirkan bersifat terbuka di sidang bangsa dan para manusia.

Sebagai pemyair dan penulis ---yang belakangan aktif di cannadrama.blogspot.com---, saya memang menjadi seperti muazin. Memanggil. Mengajak. Menyampaikan. Apapun. Terutama melalui pintu khas saya, senibudaya secara umum dan sastra secara khusus.

Maka saya heran kalau ada penulis yang secara wajar tidak bisa lepas dari relijiusitasnya, tetapi tulisannya malah nyata-nyata merusak relijiusitasnya itu. Spiritualitasnya. Mengapa? Pragmatis dan tidak mencerahkan.

Jujur sejak kecil saya yang sudah rindu kehangatan imaji padang pasir, pohon korma dan onta, berada tidak jauh dari apresiasi atas suasana natal atau hari-harinya orang Kristen. Kelas 3-4 Sekolah Dasar, di depan TVRI hitam putih, sekali melihat kisah Islami dengan visualisasi padang pasir, pohon korma dan onta, saya merasa telah diberi seluruh imaji di muka bumi. Bisa dibawa menghayal kemana-mana. Masabodoh tema ceritanya apapun, tidak penting, sampai tidak ada satupun yang saya ingat. Tetapi tiga ikon itu benar-benar enerji positif buat saya. Sugesti keindahan anak-anak yang rindu Rosul dan cinta Allah. Dan di belakang hari saya menemui itu sebagai hikmah (filsafat) dan hidayah. Imaji, rasa manusia, logika, rahasia firman langit, dan sikap yang berprinsip. Sebuah karakter.

Di sebuah mesjid, ketika menggelosor di ubin yang dingin-segar dan berkilau, sebagai kanak-kanak saya senang pada burung gereja. Kicauannya khas. Suara hati banget. Dan pertanyaan yang muncul ketika itu, mengapa namamu burung gereja? Ada hubungan apa dengan gereja? Lalu saya menduga-duga, semua rumah tembok yang tinggi bisa disukai burung gereja, dan rumah tembok yang paling tinggi seperti nampak dalam film anak-anak di layar TV adalah gereja. Dan burung gereja memang populer di Eropa dan Asia, sebagai burung yang paling dekat dengan hunian manusia.

Maka hati kecil saya memunculkan rasa, tak akan terbunuh sukacita pada burung gereja, meskipun ada cerita dan kata gereja di situ. Sampai terbawa jauh, bertahun-tahun siaran Apresiasi Senibudaya di radio (era 2000-an), lagu Burung Gereja dari Nugie menjadi favorit saya. Bahkan fantasi jujur saya ketika kecil, gereja adalah tempat menemui Tuhan dan berdoa. Dan itu mulia. Apalagi saya punya teman sekelas, Dina, satu-satunya teman yang Kristen. Kami mesra dan biasa saja.

Tetap saya punya perasaan terbuka yang kritis, terutama pada usia kelas dua SMA-SPG. Kalau ada orang Islam masuk Kristen, atau rumah seorang muslim tiba-tiba bertanda salib, saya bertanya heran, "Terlepas apa alasanmu pindah agama, itu hakmu dalam kesaksian Allah, tetapi tidakkah kau temui kebenaran dan kemuliaan Islam yang agung, yang membuatmu teguh?" Saya bisa menitikkan airmata.

Saya semakin menyadari hakekat Islam bukan semata kelompok. Sebab kalau semata kelompok, Allah akan ketakutan ketika menjelaskan melalui dalil dan hadis, jika waktunya tiba jadilah ummat yang sedikit. Maksudnya, jangan pernah takut jadi pembela kebenaran dan kemuliaan meskipum pada saat itu hanya sedikit orang. Sebab Allah menguasai waktu dan kehidupan tanpa batas. Setidaknya tetap berstrategilah yang sedikit itu dalam kuasa Allah untuk menemui kemenangan sepanjamg zaman. Sebab hakekat hidup adalah segenap upaya mulia. Maka kemuliaan siapa lagikah yang bisa ditahan? Maka nikmat apa lagi yang akan tertolak?

Saya rasa kalimat saya akan terdengar mesra oleh siapa saja. Insya Allah. Bahkan oleh orang Kristen. Semesra ketika pada tahun 1990 di pinggir jalan ada yang bilang, "Anda Selasa api, persis seperti Isa Almasih".

Kalau ada teman muslim berada di tengah tetangga atau saudaranya yang Kristen, yang sedang Natalan, saya sukacita. Sebab saya juga mengalaminya. Tetapi kadang saya-SMA tak habis fikir, kenapa ada yang meninggalkan Islam? Mungkin ada dua hal, pertama, seseorang itu meninggalkan Islam karena dia belum tahu apa-apa tentang Islam dan berharap tahu sesuatu di sana. Dan kedua, seseorang meninggalkan Islam selayaknya berada pada dua pilhan saja. Tetapi meskipun begitu, saya selalu berusaha memulai lagi dari dasar manusia, mereka para pencari Tuhan. Itu bisa lebih menenangkan hati saya, untuk lalu bersikap biasa-biasa saja.

teman paling teman
mengerti paling tahu
rasa paling jadi

Saya sendiri pertama kali masuk gereja di kelas tiga SMA-SPG. Ketika itu ada teman dari SMA lain yang wisuda kelulusan di satu gereja Kota Sulabumi. Keluarga dan saudaranya di Jogja tidak bisa hadir. Dia meminta saya menjadi walinya. Maka saya ihlas hadir ke gereja. Lagi-lagi dalam persepsi saya, gereja adalah tempat berdoa. Seperti yang juga diamanatkan Al-Qur'an, jangan sampai mesjid, gereja (tempat-tempat ibadah) kehilangan doa-doa karena kesesatan manusia.

Ketika seorang wanita pencinta siaran saya di radio yang kemudian menjadi istri saya, menceritakan bahwa sebagai Kristen ia pernah sukacita, ketika mimpi diajari wudu. Lalu suka terenyuh dengar azan. Apalagi pernah sekolah di SMP NU Bandung. Itu poin. Ia berada dalam kehidupan orang baik, di tengah famili yang baik-baik, tetapi merasakan kemuliaan yang tidak bisa ditolak. Dan saya hanya menjadi tangan kanan Allah yang rido.

Meskipun sebagai manusia biasa dia merasa dalam serba kekurangan pengetahuan, ia berani bismillah, ihtiar menemui kemuliaan iitu. Dengan tetap berada di tengah keluarga besarnya. Begitupun beberapa keponakannya yang menyusul setelah diskusi yang mesra di rumah saya.

Saya ingat, saat itu tanpa sekalipun keluar kata kafir dari mulut saya. Malah mendatangkan empati. Sebab saya sangat keras kalau sudah bicara kafir dan kekafiran. Dan itu hanya ditujukan kepada sasaran yang tepat. Bukan tembakan membabibuta. Seperti saya katakan kafir kepada seluruh pihak yang merendahkan dan menghina Islam. Termasuk kepada yang menjatuhkan nama baik Rosulullah SAW tapa mengenali rahasia-rahasia suci yang pasti membeli hatinya.

Saya dan Natal menjadi dekat. Kalau awalnya sebagai pribadi muslim yang melihat budaya baik, selanjutnya bersama keluarga besar istri memang selalu berada di tengah suasana itu. Bahkan ketika atas kuasa Allah, saya dan istri berpisah, anak-anak saya masih menikmati suasana kehidupan famili yang demikian itu.

Bagi saya, pohon Natal, dekorasi salju, boneka salju, sinterklas, dll adalah keindahan yang menentramkan. Fantasi yang membeli hati anak-anak dan dewasa. Di depan itu semua, saya terpana dan ingin menengok kembali film kanak-kanak di TV hitam putih dulu, yang memvisualisasikan padang pasir, pohon korma, onta dan persegi mesjid.

Oma saya yang tercinta, kalau datang dari Manado ke Bandung selalu kasih wasiat, "Jangan lupa pohon terang". Lalu saya menghubungkannya dengan kisah syiar Islam di tanah Kendal, tempat kelahiran saya. Khusus mengenai kisah pohon terang yang bikin orang memahami ajaran para Wali.

Di depan patung penyaliban Isa, saya teringat Rosulullah SAW dan berucap, "Ya Rosul salam alaika".

Di perpustakaan atau toko buku saya buka satu-satu buku-buku di rak bertuliskan Buku Kristen. Membaca  halaman-halaman tertentu. Lalu kembali ke rak lain, mengambil buku dan membaca atau membeli buku-buku kajian Islam.

Tetapi ya, sekali waktu saya beli Al-Kitab. Saya bawa ke rumah dan menyimpannya dengan tenang. Lalu saya tamat membacanya. Tentu itu peristiwa  setelah berkali-kali saya tamat baca tafsir Al-Qur'an. Perkara ada kritik, hati-hati dengan bahasa tafsir, saya sudah membekali diri, memasuki 7000 pintunya dengan tenang dan nyaman. Mengenali kalam yang dikenali malaikat. Pun metode yang sama terpakai ketika menamatkan Injil.

Ini tulisan romantis saya yang bicara keharuan dan sukacita Natal. Bahkan ketika ada debat kusir kapan Isa Almasih lahir dan wafat, untuk menemui ketepatan Natal, saya berkata, menemui kekahiran Isa adalah ke arah inti lahirnya.

Saya jadi terkenang, kapan sesungguhnya Nuzulul Qur'an? Apakah bersamaan dengan Nur Muhammad? Apakah 12 Rabiul Awal bersamaan dengan kelahiran Nabi SAW. Apakah di bulan suci Romadon? Dst? Yang jika diputar rotasinya, yang mana sesungguhnya ketepatan kelahiran Nabi SAW dengan cahaya Al-Qur'an itu? Maka di bulan Maulid Nabi saya senantiasa menitikkan airmata. Ya Rosul salam alaika. Saya menerima sukacita.

Perkara ucapan selamat, selamat apapun, kita bisa mulai dengan sapaan nasional yang familiar, "Selamat pagi". Tafsir frase ini adalah, semoga pagi yang selamat karena Allah ini mendatangkan pula berkah selamat kepada yang menjalani hidup mulai pagi ini". Atau, "Semoga Allah yang maha pemberi keselamatan, memberi keselamatan kepada pagi anda dan seterusnya". Artinya Si Fulan adalah bagian dari pagi yang selamat. Atau, " Selamat, anda berada atau sampai pada pagi selamatnya".

Pun, ucapan selamat Natal itu. Yang tidak boleh itu tentu saja, memberi ucapan selamat kepada yang tidak selamat. Seumpama memberi ucapan selamat natal kepada pelaku tindak kejahatan, apalagi kejahatan yang keji. Sejak kapan dia sampai kepada keselamatan pagi dan keselamatan natal? Bukankah dia brutal pada kemanusiaan? Kecuali bagi yang telah bertobat dengan sesungguh-sungguhnya.

Maka jika seseorang telah mengangkat senjata dengan keji, telah terputuslah ucapan selamat natal kepadanya. Tak ada ucapan selamat.

Dan hari ini saya masih bersama keluarga besar anak saya, Anak JAMAN (Jawa Manado), yang menyambut natal. Meskipun dua anak saya muslim. Bahkan anak pertama saya sudah tamat dari SMK Muhamadiyah Jakarta.

Kemayoran, 21-12-2017
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG