KATEMPUHAN SISIBAIK CHAIRIL
PUISI MERDEKA
dengan ini menyatakan
kemerdekaan
puisi pendek indonesia
Kemayoran, 2011-2017
#puisipendekindonesia
-----
Katempuhan, kalau kata orang Sunda.
Maksudnya, secara gak disengaja saya jadi 'ketiban waktu' untuk menjelaskan bagian tulisan saya di blog cannadrama.blogspot.com yang sukacita menyebut Chairil tidak tamat SMA. Bahkan ada yang menyebut, SMP pun tidak tamat.
Jangan sampai tulisan dan sikap saya kontra produktif terhadap semangat belajar. Itu kan buruk. Meskipun kita juga sudah biasa kritis, sebenarnya program pendidikan, terutama pasca pendidikan dasar, masih tak ubahnya jualan kursi pendidikan. Lulusannya di tempat kerja biasa-biasa saja. Malah banyak yang serba 'kurang'. Untung tertolong oleh sindikasi, utamakan yang kuliahan. Atau ditolong persyaratan tanpa judul, minimal D-3. Termasuk kalau mau nyalon DPR-D, syaratnya tamat kuliah, kata sementara pihak. Dari dulu begitu kan? Padahal itu cuma pertolongan pragmatis untuk kursi pendidikan formal itu. Di menit yang sama, membunuh peluang orang banyak.
Tapi okelah, kita kan tetap husnuzon pada kualitas lulusan yang prima. Karena itu kita pro-pembangunan pendidikan nasional.
Kembali ke soal Kang Chairil dari Medan yang ngindonesia itu. Yang ngenusantara itu. Sudut pandang yang proporsional secara garis besar sukses pendidikan adalah: tempatkan Chairil sebagai jenius di bidang kepenyairannya. Itu. Begitu. Selesai persoalan! Resikonya, dalam buku besar pendidikan di Indonesia bisa sedikit jumlah orangnya. Tetapi yang sedikit pada perkumpulan sebuah bangsa, itu banyak.
Kalau yang S-1 anggota DPRD berjumlah 40 orang di sebuah Kabupaten, yang lebih pantas dari yang 40 orang itu termasuk yang tidak S-1 ternyata bisa lebih dari 200 orang. Nah lho.
Artinya, jenjang pendidikan formal, baik yang bersifat dasar atau lanjutan. Dalam hal ini saya artikan, pendidikan lanjutan itu justru pasca dikdas 12 tahun. Tentu tetap utama, tetap prioritas, berkesinambungan. Tetapi jangan sampai membunuh keunggulan atau jenius yang khas itu.
Sekali lagi, keunggulan-keunggulan atau jenius yang khas itu, sesungguhnya satu garis dengan program pendidikan formal. Menyelamatkan muka pendidikan.
Tetapi tentu saja, pembelaan atas Chairil ini bukan taklid buta. Kita selama ini menempatkan Chairil sebagai puisi yang terbuka. Sehingga tafsir puisinya lebih mengemuka secara tekstual daripada sisi kehidupan pribadi dan sosialnya. Padahal ke depan sisi itu pasti banyak dibicarakan orang. Meskipun tetap dengan permakluman pada kecerdasan puisinya. Apalagi secara politis, nama Chairil mulai muncul di era Bung Karno, ketika Chairil termasuk pemuda pro-presiden. Atau lebih tepat pro-proklamator, Soekarno-Hatta.
Pro-proklamator, memang menjadi sentrum ideal ketika itu. Telah pula membebaskan posisi Chairil dari tuduhan sekadar mahluk yang mengembik, kadal yang membebek, tidak bisa kritis, cuma sembunyi di ketiak penguasa, atau apapun julukan sejenis lainnya.
Coba perhatikan puisi pendek Chairil ini. Nampak sekali dia sangat sederhana, biasa-biasa saja, bahkan cukup pasrah dan menikmati bahasa lugas dan gaul yang berlaku di masyarakat. Tetapi di situlah letak keunggulan dan kemenangannya. Bukankah saya pernah cerita juga soal pelukis yang konon gambarnya 'jelek', kalah bagus dari lukisan anak-anak SMA, tetapi terpakai oleh intansi pemerintah untuk membuat ilustrasi pada penerbitan suatu buku propaganda pembangunan? Ya, masalahnya, baik buruk sebuah lukisan itu, di luar kekejian dan kebiadaban kemanusiaan, itu apa ukurannya?
MALAM DI PEGUNUNGAN
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
-----
Saya pun di depan media sosial Facebook sering menemukan puisi-puisi yang lugas, sederhana, tetapi benar-benar puisi. Tema dan kadar puitisnya sungguh bisa bekerja apa saja. Persoalannya, setelah puisi itu apa? Di balik puisi itu, siapa mau kemana? Memberi pengaruh bagus seberapa? Atau, mau dimanfaatkan untuk kemuliaan siapa? Dst.
Memang, takdir baik selalu menyebut, terima ukurannya. Sebab kalimat Allah tidak pernah kecil dan tidak bisa dikerdilkan.
Dalam puisi-puisi Chairil yang lain sangat-sangat menonjol khas bahasanya. Yang puitik, pembaharu pakem, enerjik, merdeka, dan intelektual. Bahkan kadang, beberapa puisinya lumayan rumit untuk dipahami awam. Meskipun sisi rumit ini bukan ukuran standar umum kepenyairan. Lebih tepat disebut khas Chairil. Termasuk di belakang hari ketika kita membaca Tarji.
Jelas to, soal pendidikan Chairil yang konon tidak tamat SMP tapi hebat? Cuma modal beberapa buku, buku yang serius tentu saja, teriak mendukung proklamator, disebut-sebut orang, lalu selebihnya modal keberuntungan. Tetap saja itu hebat. Sebagai keunggulan, dia bisa disebut sama dengan lulusan S-1 atau S-7.
Justru posisi seperti ini lumayan menguntungkan untuk melakukan oto-kritik, kenapa bisa kalah dari Chairil? Tetapi kaum intelektual yang mau ngalahin Chairil dan manusia-manusia semisal Chairil jangan menebar racun dengan menyebut, tamatan SMP itu rendahan, padahal banyak yang direktur, manajer, dan aktif di berbagai komunitas penting, serta punya potensi dan pengaruh besar. Atau jangan bikin aturan yang dipaksakan, untuk menutup peluang sukses mereka yang tamatan SMP. Terutama tamatan SMP yang berkeunggulan dan janius itu.
Apalagi untuk golongan pendidik, ini pantangan. Di mana-mana, seorang pendidik yang mulia akan merasa 'kalah' oleh murid-muridnya yang menang. Yang berkeunggulan dan memiliki kepribadian yang memukau. Malah akan berbalik hormat. Meskipun sang murid yang baik malah semakin hormat pada guru baiknya itu. Tentu saja pantangan, seorang dosen kesenian, misalnya, menyebut, "Ah Si Udin (semisal Chairil) cuma tamatan SMP, cuma segitu umurnya, cuma aktivis gang sempit".
Sementara di pintu yang lain seorang peserta Konggres Kesenian atau Kebudayaan dengan bangga berteriak lantang di depan seniman tamatan SMP yang dianggap sukses, "Inilah Sang Inspirator, persis seperti yang kami bicarakan dalam konggres".
Entahlah. Dia bangga pada KONGGRES dan keikutsertaannya, atau jujur sedang menghargai senimannya itu.
---
BUKAN
jaran goyang bukan jarang goyang
Kemayoran, 06122017
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar