KOMPRES DAN DANAU IBU
IBU 1
maaf
------
IBU 2
selalu histeris berucap,
"Anakku"
------
IBU 3
petunjuk minum obat
pada botol dekat
lampu meja
------
DARI BACAANMU
bukankah kau pernah dengar
anak laki-laki yang dibunuh
kecuali yang mau diperempuankan?
Kemayoran, 2011-2017
#puisipendekindonesia
------
Seorang ibu yang menempelkan daun kompres di kening anaknya yang panas, berkali-kali, adalah kabut cinta saat mendung yang menyampaikan berita matahari. Tentang kehangatan. Berjalan di ladang jagung pukul sepuluh pagi. Ketika dingin sudah diganti angin kemenamgan dan nyanyian burung di pohon-pohon yang dekat.
Seorang ibu yang menelpon anaknya yang sedang pergi jauh atau hidup di rantau. Suaranya menemui pembaringan sebelum anaknya tidur. Menemui warung makan terdekat. Menjadi petunjuk minum obat pada botol dekat lampu meja. Dan menambahkan gambar bunga pada SMS anaknya yang berkirim berita kepada kekasihnya.
Seharian balon-balon dilarang pecah di telinga anak balitanya. Boleh naik turun trotoar tetapi dituntun. Menjaga jaraknya dari roda motor, bahkan roda sepeda. Memberinya minum sebelum anaknya meminta. Bersenang-senang bersama dengan mahkota di kepala. Tetapi membatasi permintaan jajan. Sebab karnaval anak-anak kenangan untuk pesta panen di masa dewasa, bukan parade kekalahan. Tetapi karena itu pula tiupan terompet seorang ibu yang sempurna di waktu pertama, selanjutnya dibenci anak-anak, karena tak mendatangkan permen atau es krim sekali lagi.
Kepada seorang anak gadis dia gambarkan, perumpamaan bunga dan gunting. Pertanyaannya, seperti batu kepada air kali. Apakah gunting yang menjadikan bunga, atau bunga yang ingin digunting-gunting? Sebab ketajaman bukan cuma milik laki-laki, katanya. Tetapi bunga juga tak butuh ada yang merusaknya. Jika ia kertas, tentu disiram dengan cinta bukan dengan air. Jika ia rasa maka ia butuh perasaan bukan kekerasan. Jika ia jam berjalan, ia butuh perjanjian, bukan penghianatan. Jika ia rindu, ia butuh persetubuhan bukan permusuhan.
Ibu menunggui pintu ketika lelaki bengalnya pulang kelewat malam dengan tubuh kacau, dan suara awut-awutan. Seperti pada drama satu babak, ia tunjukkan kerasnya daya tahan kemenangan, sambil lebih dulu menyiapkan makan malam, selimut dan bantal. Di fikirannya, anaknya akan setia bersama membangun mimpi-mimpi lagi. Ia peras seribu cerita dalam satu dua kalimat cinta saja, menghindari perasan santan dosa, yang ditutup dengan petir terakhir, "Berdoa dan tidur!"
Ibu bahkan kadang mengantarkan anaknya ke kantor pertama dia mengirim lamaran kerja, atau ke redaksi mana untuk pertama kali remajanya itu mengambil honor cerpen dan puisi. Atau menjemput ke terminal pakai motor metik di akhir pekan ketika anaknya libur kerja Sabtu-Mingu. Padahal itu sebuah logika sederhana. Setidaknya tidak mengganggu kalimat di dalam hatinya, "Selalu berjuang Nak, jaga diri baik-baik. Buat ibu yang penting, setiap habis nyuci pakaian, beres-beres rumah, ibu bisa nyetrika sambil nonton sinetron atau kuis atau panggung musik di TV. Atau denger penyiar pujaan di radio". Tetapi karena anaknya tidak pernah tahu, survey membuktikan, anaknya selalu meyakini, "Ibu sering saya lihat berlama-lama berdoa di atas sajadah". Ya, sebab ibu adalah peta dunia. Setiap hari menunjukkan arah panah, dan menambahi petunjuk baru.
Pada sepiring sup, tumis kangkung, atau wangi semur ayam, anak-anak sepakat dengan malaikat, selalu rindu pulang untuk ketemu ibu.
Maka ibu-ibu selalu menangis dalam hati, depan anak-anaknya yang masih Sekolah Dasar, ketika sup, tumis kangkung, dan semur ayamnya diambil cobaan. Apalagi sampai nasi dan masa depan anaknya. Maka di bawah hujan ia bisa berubah menjadi sebatang pohon rimbun yang tak bergeming menahan segala angin dan banjir, selalu mematangkan buahnya. Sampai longsor dan hanyut sekalipun. Di musim keramarau yang terik, ia seperti danau yang payah memanggil-manggil anak manusia. Sampai kering sekalipun. Sampai mereka berkata, "Selalu ibu. Selalu ibu".
Selamat hari ibu, 22 Desember ini.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar