PUISI, SENI, INTERUPSI, DAN KONGGRES
dalam bahasa
bahkan nun mati
artinya hidup
Kemayoran, 2011-2017
Judul Puisi: Nun Mati
#puisipendekindonesia
------
Masih ada yang ingat tulisan saya ini di akun Facebook dua tahun lalu, tepatnya 4 Desember 2015?
Pasti waktu itu ada yang tidak suka. Bahkan bisa digoreng hangus dengan bumbu paten, "Gilang Teguh Pambudi itu manusia apaan sih? Seniman apa? Kontribusinya apa? Sok populer!"
Tapi waktu itu juga ramai yang belain saya. Terutama terkait prinsip politik kesenian, bukan politik kepentingan. Dan terkait transparansi keterwakilan dalam program apapun.
Ada juga yang berposisi di tengah-tengah. Yang tugasnya seperti mengelus-elus dengan kalimatnya, "Tenang aja Kang, ntar juga terasa". Maksudnya program apapun itu bakal menyentuh semua kegiatan kesenian. Padahal dari tahun 1992 saya punya sanggar swadaya-swadana, mandiri aja. Ada sih peran pemerintah yang sangat besar, yaitu membiarkan. Tidak membubarkan.
Inilah tulisan nostalgia itu. Berangkat dari sebuah konggres, tetapi sesungguhnya bsa mengritisi program apapun:
INTERUPSI POLITIK KEBUDAYAAN
Ok.
Tapi tetap saja jika presiden menyebut sebuah lukisan wanita telanjang boleh dipamerkan di suatu galeri khusus, maka itu politik kebudayaan. Universal di negri ini. Meskipun boleh ada yg anti.
Sebuah konggres atau apapun adalah kode politik bagi semua gerakan sejenis. Serupa tapi tak sama. Hasil-hasil pertemuannnya adalah sikap politik kebudayaan. Strategi. Suatu sistem nilai dan sistem sosial. Tanggungjawab warga bangsa.
Penyikapan pemerintah dan masyarakat adalah kesadaran politik kebudayaan itu. Terlepas dari cerdas atau tidak. Mungkin ada sebutan suatu ketika, politik dungu, misalnya.
Tapi aku boleh ingatkan kalimat di warung kopi. "Kami sebagai pelaku sejarah konggres kesenian Indonesia adalah ... Bla bla bla". Wajar. Karena itu momen. Momen untuk sejarah dan jihad, tentu, bukan momen untuk menyebut, "Ente gak ada di dalam gerakan itu!"
Soal kesenian yang begitu-begitu aja, daun kering dan bulan merah sudah mafhum.
Di situlah kalimat dengan atas nama 'kami' juga yang menakutkan. Apalagi ketika dilanjutkan dengan kalimat, "Ente siapa bagi catatan sejarawan?". Seumpama menjadi, " Yang dari Indonesia timur, dari sebelah manapun, ente siapa, gak ada dalam pertemuan menanam pohon kehidupan kemarin?"
Yang mengerikan, kasihan, kalau kluruk tegas itu ternyata menanam 'ganja', atau sejenisnya.
Okelah pakai bahasa yang lembut. Eufis. Biar teduh. Atau, husnuzon. Semoga sampai. Kedua, tentu dengan 'kami' yang berkonotasi baik.
Tetapi idiom baru bisa lahir, seniman-seniman konggres yang bisa disebut hebat, dan seniman-seniman non-konggres yang tidak hebat. Setidaknya, janganlah berandai-andai dengan sejarah nasional.
Sejarah suatu kota di ujung Kalimantan atau Sumatra akan berkata pada seseorang, tidak pada yang lain yang sekalimantan atau yang sesumatra yang diundang, "Ihlaskanlah tidak berada di dalam konggres".
Terkecuali kalau ada keterwakilan yang masuk akal, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan. Kalaupun bukan keterwakilan berdasarkan kota/kabupaten, tetapi berdasarkam pada potensi seni, inipun bisa meliputi semua kabupaten/kota. Atau berdasarkan potensi seniman yang ada di tiap propinsi. Termasuk mengakui eksistensi kesenimanan tokoh seni dan pengamat seni yang menonjol dan berpengaruh. Tapi ukurannya apa dan 'siapa' untuk potensi-potensi itu.
------
TRADITIONAL DANCE
bahkan daun gugur
menari angin
Kemayoran, 2011-2017
------
Saya pribadi termasuk dari sekian banyak seniman sekaligus pengamat senibudaya yang jangankan diundang, bahkan tahu ada konggres kesenianpun dari media sosial Facebook. Untuk menyebut saya sudah diwakili, begitu juga dirasakan seniman lain, rasanya tidak saya temui rujukannya.
Kalaupun saya bangga secara pribadi, karena Konggres Kesenian 2015 diselenggarakan di Kota Bandung, kota saya tercinta. Tetapi perasaan yang ini kan gak boleh diumbar-umbar. Terlalu sombong dan kedaerahan.
Menjawab kepatutan saya pun saya sudah malu. Bagaimana mungkin orang yang tidak dikenali merasa dikenali?
Saya merasa puluhan tahun di dunia promosi dan pemberitaan, di radio. Bikin banyak ruang atau acara senibudaya untuk minimal menginformasikan kegiatan senibudaya dari sanggar dan panggung manapun.
Selain orang Radio Indonesia, broadcaster, penyiar, jurnalis Radio, secara khusus saya penyair yang memanfaatkan media radio untuk membawa masyarakat memahami sastra. Bahkan sebagai narasumber acara Apresiasi Senibudaya, saya membuat yayasan Cannadrama, langkah lanjut dari semua komunitas-komunitas saya, supaya lebih lantang teriak, baik selama masih aktif di radio-radio maupun setelah off dari radio, biar umur panjang, dengan misi, "Menuju masyarakat seni Indonesia apresiatif".
Ya itu masalahnya. Saya dan teman-teman senasib lainnya, kadang tidak dikenali karena tidak ada dalam 'data tertentu'. Padahal permakluman kadang kita lempar, sebagai milik masa-masa pergerakan, pra kemerdekaan atau pasca kemerdekaan, ketika sistem koordinasi dan keterwakilan begitu rumit. Tetapi sekarang ini era modern. Era sistem koordinasi dan pendataan sangat canggih.
Kadang saya mesti bersyukur, untung Chairil Anwar tidak tamat SMA, dan cuma punya beberapa buku. Saya pun cuma sederhana, punya jam siar Apresiasi Sastra dan Apresiasi Seni Budaya di radio-radio dan punya kegiatan senibudaya. Kalau di organisasi dan kepanitiaan selain sebagai ketua atau koordinator, posisi saya menangani INFOKOM, pasti ruang kerja saya ya tetap utuh begitu seumur hidup.
Tapi saya bersyukur. Ibarat di tepi kali atau di tepi danau, masih bersastra. Masih berkesenian. Dengan kontribusi kepada air yang merasakan sedih dan bahagia untuknya. Ini rasanya cukup lumayan bermanfaat. Adapun soal konggres dan agenda-agenda lain itu, saya cuma menimbang-nimbang manfaatnya. Silahkan siapapun di dalamnya.
Atau ada yang sudah ihlas mengucapkan selamat tinggal pada kalimat-kalimat saya? Atau membuat idiom lama, barisan sakit hati?
-----
FREKUENSI
radio memutar lagu
aku memutar rindu
kau pasti menunggu
Kemayoran, 2011-2017
-----
RIMBUN DAUN
AKAR KUAT
BUAH KAU YANG PETIK
cukup
dengan
satu
kartu
Kemayoran, 2011-2017
-----
LELAKI BERJILBAB
hadir wajah diri
dan telapak perbuatan
Kemayoran, 2011-2017
-----
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar