TIMNAS, TRUMP DAN JERUSALEM

SUDAH

jatuhnya

yang disebut tinggi 

yang disebut mulia 

ketika rasa teh dan kopi
tidak dikenali dirinya
di sebuah cangkir yang hangat
sehingga Tuhan berucap,
sudah kau ambil semua

Kemayoran, 2011-2017
#puisipendekindonesia 
-----
Kalau Timnas Sepakbola Indonesia setelah menang melawan Brunai Darussalam dan Timnas Mongolia akhirnya kalah di partai terakhir, partai penentuan Aceh World Solidarity Cup, melawan Kirgiztan, itu wajar. Sangat wajar. Meskipun sangat mengecewakan. Tapi kalah dan menang di dunia sepakbola itu wajar. Karena itu permainan sehat, fairplay, permainan yang menghibur, dan sarat pesan perdamaian antar bangsa. Bahkan sepakbola adalah arena yang mengisyaratkan pertemuan antar manusia siapa saja. Sekampung, sekota, se-kabupaten, sepropinsi, se-Indonesia. Se-Asia, dan sedunia.

Perseteruan antar klub sepakbola, pertempuran antar negara itu, biarpun sengit dan seru, tetapi sesugguhnya hanya ajang senang-senang belaka. Atau lebih tinggi secara kesadaran spiritual kemanusiaan, habluminanas, bisa disebut sebagai ajang bersyukur, karena bangsa-bangsa bisa berkumpul.

Kalah dibawa pulang dengan menang. Menang dibawa pulang dengan lapang.

Maka Spaso dkk tidak boleh "menunduk di Stadiun Harapan Bangsa". Apalagi dalam semangat 312 yang sempat viral, demi 'kedigjayaan' NKRI, kemenangan Pancasila dan bhineka tunggal Ika, kok lemes? Harus selalu tegak berdiri. Pun suporternya di stadiun, di depan layar tv, dan di manapun.

Dari kacamata eksistensi, keikutsertaan Timnas Indonesia di ajang bola antar bangsa, ajang internasional apapun, yang penting adalah Indonesia hadir sebagai tim kebanggaan yang selalu menginspirasi. Dan pada waktunya punya prestasi, kemenangan yang dirindukan itu.

Tapi kalau Donald Trump berhasil dengan misinya mengadu-domba antar manusia, antar kelompok, antar kubu, antar bangsa di muka bumi dengan kasus kesukacitaannya mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel, itu tidak wajar. Maka analisa dunia hari ini menyebut, niat Trump semoga gagal. Atau dukungannya ditarik kembali. Sebab penduduk dunia boleh saja anti Trump tetapi tetap cinta Amerika Serikat. Pada waktunya, Trump dan AS bisa menjadi dua hal yang berbeda.

Di sebuah negara demokrasi saja, di dalam negrinya, sebagian besar rakyat bisa tidak suka presidennya tetapi 100% suka negaranya. Meskipun bukan kelompok oposisi. Lebih tepat disebut, kelompok yang menginginkan presiden baru untuk tanah air tercintanya. Tetapi gejolak ini akan terjadi pada kondisi tertentu yang tidak normal. Kalau dalam kondisi normal yang terjadi cuma sebatas Pesta Rakyat, Pemilu Presiden untuk memilih yang terbaik dari semua calon presiden yang dianggap baik.

Ya, kalau anti-presiden di dalam negri saja wajar, apalagi dunia anti-Trump.

Atau anda masih berfikir. Trump menginspirasi apa? Bagi perdamaian dunia? Bagi kemanusiaan berketuhanan? Tetapi kenapa anda tidak segera memahami maksud baiknya? Kenapa tidak terbuka sebagai kabar gembira? Atau, Anda mulai mencium bola dunia yang ditendang Trump?

Ah, permainan Trump jauh dari menyenangkan (atau tidak menyenangkan), kata dunia. Sepihak. Masyarakat internasional (maksudnya di mana-mana) jadi teringat nostalgia bersama temannya ketika berkata, "Wahai Amerika, bukankah kita pernah sepakat kenapa harus Trump?" Dan ini butuh jawaban segera. Meskipun jawabannya bisa tidak menghibur Trump, meskipun tetap Amerika.

Apa ini bisa disebut, masa-masa tidak percaya Trump? Bisa jadi awalnya memang begitu.

Bagi dunia tidak ada urusan mencampuri dalam negri AS. Ini semata karena sikap internasional Amerika oleh Trump.

Bagi Indonesia, nasionalisme adalah inspirasi untuk dunia. Indonesia tidak pernah diam kepada dunia, dengan membangun dalam negerinya. Ini lebih nyata dan mudah dipahami secara sederhana.

Ketika ada warga bangsa yang ditentramkan, disejahterakan lahir batin, maka memang begitulah pesan Allah untuk menunjukkan cinta manusia di muka bumi. Kalimat Indonesia untuk perikemanusiaan dunia.

Sampai sepakbolanyapun berpusar di situ. Meskipun Timnas kalah dalam suatu kompetisi Asia atau dunia, mereka tidak sedang berhadapan dengan mosi tidak percaya masyarakat. Mereka justru sedang berada di ubun-ubun saling percaya.

Pendeknya, bola mereka bola yang benar. Untuk olahraga, untuk hobi, untuk profesional, untuk prestasi, dan untuk persaudaraan.

Kenyataan Indonesia yang humanis-universal, juga nasionalis relijius ini, tentu akan selalu mengambil sikap pada setiap peristiwa dunia. Termasuk soal pengakuan sepihak dan kontroversial Donald Trump atas Jerusalem sebagai ibukota Israel.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG