DARI CANGKIR PENYAIR KE MEJA PENGUASA

TAKUTILAH PEMBANGUNAN

jangan takut 
banjir puisi tentang banjir

jangan takut 
longsor puisi tentang longsor

takutilah pembangunan
yang tidak anti banjir dan longsor

takutilah pembangunan
yang makin banjir korupsi

takutilah anggaran
yang longsor 
membunuh kesejahteraan

Kemayoran,  06022018
------

Kita hidup harus ramah tanah, peduli air,  menjaga nyawa, menghidupkan cinta,  dan tumbuh-kembang bersama pepohonan.

Kalau air terus banjir,  mestinya dari cangkir penyair kabarnya sampai ke meja penguasa. Sebab banjir harus diatasi.  Karena tak ada satu anak manusia pun yang menunggunya. Sebab itu sengsara.  Bahkan celaka.

Kalau di jalan-jalan raya, tempat lalu-lalang manusia,  daerah pertanian, dan pemukiman penduduk longsor, semestinya teriakan aktivis lingkungan sudah lama dihafal kata-katanya, diubah jadi kebijakan oleh penguasa sehingga tak ada warga bangsa yang dirugikan. Begitupun kalau pantai-pantai parah.

Oleh karena itu, di mana puncak prioritas pembangunan,  kalau bukan di kesejahteraan rakyat? Kesejahteraan yang haram dimatikan, cuma urusan makan minum. Tetapi wajib dihidupi pendidikan dan pembangunan segala bidangnya yang tepat sasaran.

Kita tidak bisa cuma ribut ekonomi dan daya beli.  Ributlah yang wajarj soal seluruh tanah,  seluruh air,  semua hutan, dan segala fasilitas kesejahteraan. Sebab apa artinya bisa beli beras sekarung,  tetapi terus murung.  Sebab semestinya,  terpenuhi kebutuhan pokok keluarga, sehat badannya, aman nyaman lingkungannya, dan bahagia lahir batin hidupnya.

Buat apa juga fasilitas unggul di setiap ibukota kabupaten dan pusat kecamatan, jadi simbul kemajuan, tetapi longsor di mana-mana.  Bahkan menghancurkan lahan pertanian,  jalan-jalan raya,  rel kereta api,  dan lain-lain. Banjir merendam rumah-rumah,  tempat ibadah dan sekolah-sekolah.

Demikian pula,  buat apa punya kesadaran membuat sebanyak mungkin rumah ibadah,  tetapi jembatan-jembatan hancur karena umur,  atau mudah rusak karena dibuat sekadarnya dari bahan yang murah. Bendungan mudah jebol. Fasilitas umum lain mudah runtuh.

Buat apa pula dalam PEMILU diteriakkan ini itu,  tetapi edukasinya malah pencitraan berupa pemenuhan kesukaan masyarakat yang tidak menyelamatkan.

Buat apa kita diberi sehat kalau tidak menghargai sehat dan hidup serba menyehatkan? Kampung kita,  manusia dan lingkungannya dijamin sehat wal afiat. Apalagi kalau sehat saja susah didapat.

Buat apa kita dikasih selamat,  kalau tidak mempertahankan keselamatan itu,  dan mendatangkan keselamatan untuk siapa saja, dan apa saja. Selamat di kota selamat di desa.  Selamat di gunung selamat di pantai. Selamat di darat selamat di laut.  Selamat di dalam rumah dan selamat di tengah masyarakat. Apalagi kalau di sana sini malah serba penyakit masyarakat.

Buat apa kita dikasih bahagia kalau tidak bersyukur dan berbagi kebahagiaan? Merasa senasib sepenanggungan.  Sedih gembira bersama-sama. Apa kita lebih mau merusak peluang bahagia?

Buat apa hidup dalam kubangan inspirasi dan motivasi kalau tidak sudi meginspirasi dan memotivasi? Apalagi kalau malah kehilangan inspirasi dan motivasi.

Buat apa kita teriak-teriak pembangunan,  tetapi tidak peduli,  bahkan tidak tahu pembangunan itu yang bagaimana? Apalagi cuma berjubel memadati jalan-jalan raya,  membawa tuntutan,  mengeruk perhatian,  tetapi bukan untuk inti kemajuan.

Dan yang paling menakutkan, kalau pemerintahnya gelap,  lebih gelap lagi rakyatnya.

Menyedihlan sekali,  ketika masyarakat sibuk buang sampah di kali,  pemerintah tidak cepat bereaksi ketika pabrik-pabrik dan tempat usaha lainnya buang limbah dan sampah ke sungai. Akibatnya sungai adalah neraka,  penyiksa berdarah dingin.  Mampat,  keruh dan sumber penyakit.  Banjir membawa petaka ke mana-mana.

Memang sudah ada yang serius bikin program resik-resik kali (sungai),  tapi seberapa tertinggal jauh ketika hari gini baru memulai?  Seharusnya sudah tidak lagi berurusan dengan keruh,  sampah dan banjir.  Seharusnya sudah naik kelas,  mempercantik sungai dengan lebih dulu menciptakan bantaran kali yang indah dan terawat.  Bahkan ini pun mestinya sudah dimulai dari jaman old.

Bayangkan kalau kearifan lokal,  cerita-cerita rakyat seputar sungai,  bergeser sedikit kepada cerita modern,  sambil tetap mentradisikin minat baca pada naskah-naskah lama. Dari cerita selendang hanyut menjadi pertemuan cinta di atas perahu. Apalagi ada tarian dan musik perahu di situ. Dari cerita janda seksi mencuci di atas batu,  menjadi pertunjukan seni tradisi dan modern yang eksotik di tepi sungai. Dari kisah petualang perahu menjadi lomba tahunan di atas sungai. Dari kisah semedi Jaga Kali menjadi menikmati keindahan sepenggal sungai yang tenang dengan pemandangan kanan kirinya yang menarik,  serta menikmati kuliner tradisi yang khas. Apalagi kalau di situ ada mushola yang representatif untuk merenung. Memang tidak harus mesjid,  yang peruntukannya untuk kegiatan sosial keagamaan banyak orang,  yang tidak perlu terlalu membaur dengan seni dan pariwisata yang terbuka. Sebab mesjid dan wisata sudah ada judulnya,  wisata reliji. Yaitu mesjid yang bersejarah atau mesjid baru untuk singgah sholat, yang indah juga untuk berfoto keluarga. Di halaman parkirnya berderet kuliner juga. 

Tapi tidak salah juga,  bahkan ideal,  kalau di satu ruas sungai yang representatif,  ada mesjid yang memikat wisata reliji. Istilah Mesjid Sungai,  sungguh eksotis.
----

APA SEBAIKNYA BAGAIMANA

Atau sebaiknya kita berfikir soal kuliner di atas banjir ketika beberapa rumah rubuh terbawa arus? 
Lalu beberapa tarian dengan musik berdentam-dentam terhidang di atas genteng rumah yang terendam tiga perempat bangunan? 
Besoknya sebuah dram dan piano menjadi rongsokan di tengah tanah longsor? 
Dan merah putih berkibar di tiang listrik yang miring membentuk sudut lancip?  
------

Ini adalah catatan panjang kita dalam berbangsa dan bernegara.  Sejak Indonesia merdeka. Yang tidak boleh ditolak kebenarannya. Keberhasilannya sambung menyambung,  kegagalannya bertumpuk-tumpuk.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG