GUSJUR DAN KECELAKAAN INI BUDI
DALAM KURIKULUM BARU
pandaikah kau mengajariku
untuk memaklumi
pembangunan yang gagal?
Kemayoran, 2011-2018
------
Membaca Gusjur, membaca INI BUDI. Begitulah kesan pertama ketika saya membaca puisi pada kolom status Gusjur Mahesa di media sosial facebook.
Secara pribadi, puisinya ini juga mengingatkan saya pada dua kenangan. Pertama waktu saya pernah dapat honor sebagai Guru Sukwan sebesar 20.000 perbulan plus bonus sebagai pembina pramuka. Kedua, saat ingat masa kecil, senyam-senyum depan kalimat yang tidak pernah berubah meskipun dibaca siang atau malam, "Wati sedang menyapu halaman".
Tapi yang mengenaskan, puisi Gusjur kali ini bicara tragedi di dalam suasana jaman now di tanah air yang arif dan tenang. Tak ada gejolak politik dan kekacauan ekonomi yang parah. Tak ada ketegangan dan persekongkolan dunia hitam yang pasang bendera perang. Tapi, seakan arif dan tentram itu terasa hilang, ketika satu saja nyawa guru mati dihantam muridnya.
Memang, yang mati satu. Tetapi yang ribut dengan guru berapa? Padahal lingkungan pendidikan itu mestinya nyaman tentram.
Atau perlu kita balik juga? Bagaimana dengan guru yang ribut mulu dengan muridnya secara otoriter? Apa ada? Banyak? Kalau ada, apa kita nunggu sampai ada murid yang ditimpuk gurumya sampai meninggal? Ya, ini cara berfikir standar. Membaca lingkaran. Mesti begitu. Meskipun yang faktual, apalagi viral, itulah yang butuh disikapi segera. Mendesak. Apalagi sudah terang-benderang kasus dan korbannya.
Sebagai inspirasi, puisi Gusjur memang mengisyaratkan banyak hal. Sehingga penyadaran di situ tidak melulu karena satu pemberitaan yang muncul ke permukaan.
Peristiwa-peristiwa menghentak, yang selalu lahir dari sisi gelap kecelakaan sosial tentu banyak. Tidak cuma di dunia pendidikan. Ini yang membuat manusia selalu geram terhadap para pengingkar kemanusiaan.
Dalam teori selalu anti kegelapan, maka cara baca yang baik adalah, musuh manusia itu selalu siap menyerang setiap saat. Dan ini selalu mengerikan untuk dikabarkan. Sebab artinya, arif-tenang, aman-tentram itu tidak pernah ada.
Ini puisinya yang saya copy-paste dari akun facebook penyairnya:
MEMBACA : INI BUDI
.
Ini Budi
Ini ibu Budi
Ini bapak Budi
Ini kakak Budi
.
Kini Budi sudah besar
cita-citanya jadi guru besar
awali dulu jadi guru honor
walau gajinya cukup horor
400 rebu per bulan pasti tekor
tetapi ikhlas ngajar sampai lohor
.
Bapak Budi lupa belajar silat
ketika terjadi adu silat lidah
muridnya ngajak pencak silat
Bapak Budi pun tersungkur ke tanah
sampai kemudian masuk liang lahat
.
Kini
Bapak Budi
tidak bisa lagi
mengajarkan belajar membaca :
Ini Budi
Ini Bapak Budi
Ini Ibu Budi
Kini
Bapak Budi
tidak bisa lagi
mengajarkan : Ini Budi
Sebab murid kini tak punya budi lagi
karna budi sudah mati
Bandung. 4.2.18
------
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar