KORUPSI DOSA KITA?
AYO ANTI KORUPSI
ayo anti korupsi!
katanya,
sambil merasa sudah berhenti,
capek korupsi
Kemayoran, 13022018
------
DIMAS KINJENG MERAH
kinjeng
itu
kyai kanjeng
ngapung wangi
bunga-bunga
berjalan di atas air
mempesona
Kemayoran, 2010-2017
#puisipendekindonesia
-------
Sudah dari jaman dahulu kala orang melihat kelayakan figur pemimpin itu dari sedikit banyaknya kekayaan, bukan dari mampu tidaknya seseorang jadi pemimpin. Dilihat besar uangnya. Dilihat pabrik, tempat usaha dan rumahnya. Dilihat merk mobil dan motornya.
Samapai saya nyindir melalui tulisan status di media sosial facebook begini:
//GAK NGERTI LOGIKA
tapi benar. Kalau kita punya sekian puluh sekian ratus milyar. Dari rakyat nafsu kita ke bupati. Atau ke DPR dulu. Trus ke gubernur. Trus nafsu lagi jadi mentri atau presiden. Banyak proposal yang bisa disumpal dengan makanan tikus sedikit-sedikit. Bisa juga membeli kode fasilitas sosial, investasi nama baik di balik uang korupsi. Meskipun saya gak ngerti, itu logikanya di mana? Sebab jadi bupati itu kan syarat utamanya soleh, bisa mimpin, dan bajunya gak sobek.//
Seolah-olah kelak kalau mimpin, dia yang disaluti karena kaya itu punya uang buat ngasih-ngasih. Omong kosong. Itu cara berfikir orang-orang yang gak ngenal bangku pendidikan. Melarat teori. Padahal kenyataannya, kelak kalau yang dipilih itu mimpin, dia biasa memakai anggaran yang ada sambil ngambilin 'sedikit-sedikit buat dimasukin kantongnya. Biar uang pribadinya nambah, gak cuma ngandelin gaji. Apa sedikit-sedikit itu perlu diukur?
Saya jadi inget cara masyarakat milih pimpinan organisasi. Kalau perlu lebih milih yang bermobil daripada yang bermotor. Alasannya biar kalau anggota ada urusan ada pertolongannya. Gak tahunya, cuma sekali dua kali doang mobilnya dipake nolong. Pencitraan sebelum terpilih dan di awal kepemimpinan. Setelah itu boro-boro dipinjam mobilnya, dipinjam sepedanya aja belum tentu ngasih. Yang ada malah dia lagi mikir, ada peluang ganti mobil gak dari posisinya yang berpengaruh. Atau, dia bikin semacam syarat tidak tersurat, tidak terucap, boleh minjem tapi ada sesuatu apa?
Akibatnya banyak calon pemimpin yang muncul dari kelompok ini. Hartanya dianggap berpengaruh. Bisa menghipnotis. Bahkan bisa menguasai sebelum terpilih. Padahal yang dipengaruhinya menurut pendapat umum, kaum intelektual. Meskipun di dalam kelompok pendukung yang antusias itu seringkali mereka ngakunya kalah mayoritas dari orang-orang yang bodoh dan miskin.
Para intelektual itu juga kalah oleh sekelompok orang di belakang calon pemimpin itu, yang sudah siap-siap ngeruk untung, kalau perlu korupsi berjamaah untuk mengganti uang yang sudah hilang, dan menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya yang dinilainya sebagai hal yang wajar, bayaran atas kesanggupannya memimpin. Ini kan sudah analisa umum.
Tahukah anda? Jabatan atau posisi memang bisa dibayar dengan gaji. Itu sudah hitam di atas putih. Ada aturannya. Jelas. Tetapi kesanggupannya memimpin dalam segala resiko, apalagi dengan prestasi tinggi di sana-sini, menurut figur yang terpilih, terlalu murah kalau cuma dibayar oleh gaji. Untuk itu harus dibela mati-matian dengan cara yang paling masuk logika dan wajar, yaitu KORUPSI.
Belum lagi kalau seseorang itu bisa meyakinkan orang banyak, jika dia bisa naik dari posisi pemimpin di level bawah ke level di atasnya, dari skup terbatas ke skup yang lebih luas, tentu lebih banyak yang terperhatikan kesejahteraannya. Maka otomatis dia akan digadang-gadang untuk maju terus, naik terus, sukses terus. Padahal demi itu, dia bisa ngumpulin duit sana-sini dengan cara yang haram. Sebab menurutnya proses naik itu butuh duit yang gak sedikit dan butuh mempertontonkan kekayaan yang tidak murah. Termasuk untuk menyumpal proposal-proposal dengan uang tikus.
Meskipun kalau kelak dia terpilih, uang hasil korupsi yang sudah dipakai untuk menyumpal proposal-proposal itu, diminta dikembali. Kalau perlu kembali modal 700 kali lipat.
Belum lagi seseorang model begini, yang disukai para pemilih ini, ketika mau jadi pemimpin, selain bermodal uang sendiri juga biasa pinjam sana pinjam sini. Minta sana minta sini. Bahkan nerima bantuan sana bantuan sini. Yang semuanya itu mesti diatasinya setelah terpilih. Uang pribadi tidak cuma harus kembali, tetapi harus meningkat drastis. Uang pinjaman mesti dikembalikan, disertai tanda terimakasih apa saja. Uang hadiah memang tidak perlu dikembalikan, tetapi 'ada apa-apanya' harus dilunasi.
Satu lagi, tabeat manusia yang gagah pemberani dan petarung sejati itu, adalah juga orang yang berani ambil inisiatif dan resiko. Termasuk dengan jalan membuka peluang korupsi yang besar. Sesuatunya sudah dalam rencana, nanti mesti begini dan begitu, bakal begini dan begitu.
Sementara para pemilih tidak tahu apa-apa. Biarpun didongkrak dengan teori macam-macam untuk mengenali calon pemimpinnya, dalil yang paling sederhana yang dikuasainya adalah: cuma sebatas berharap seseorang bisa jadi pemimpin yang baik, tidak ada waktu dan cara-cara untuk membaca calon. Bagi mereka, siapapun yang sudah nyata-nyata diumumkan secara resmi sebagai calon, adalah figur yang sudah selamat menurut konstitusi. Tinggal pilih saja salahsatu. Gak butuh repot.
Kalaupun yang dipilih itu ternyata jahat dan korup, salahkan yang meloloskannya sebagai calon yang pantas. Itu kan sudah sistematis. Ada para ahli di dalamnya. Buktinya mereka saja tidak bisa memilih tokoh-tokoh yang terbaik, bagaimana dengan masyarakat awam? Setidaknya begitulah cara pandang orang awam dan kaum intelektual yang tidak mau tahu.
Lihat bagaimana seorang tokoh atau sekelompok orang berargumentasi terhadap figur yang tidak disukai dan tidak didukungnya. "Bagaimana mungkin dia memimpin lingkungan kita ini, ngasih makan tim suksesnya saja tidak bisa". Kalimatnya ini jelas-jelas menunjukkan, kepemimpinan suatu lingkungan masyarakat itu dikaitkan dengan kondisi uang pribadi. Selalu begitu. Padahal kelak, kalau Si Fulan terpilih jadi pemimpin yang amanah, dia harus mengumpulkan anggaran yang halal untuk bikin jembatan kali, mushola, gapura kampung, dll. Tidak perlu memaksakan diri mengeluarkan uang pribadi. Tidak usah takut dituding pelit oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Begitupun dengan seorang Bupati, misalnya. Dia akan menggerakkan roda pembangunan dengan menggunakan anggaran pemerintah daerah yang ada. Yang penting amanah, pakai skala prioritas, tepat sasaran dan transparan dalam mewujudkan kemajuan-kemajuan. Tidak perlu menumpahkan uang pribadi samasekali bahkan. Kecuali sedekah untuk menggapai rido Allah.
Kalau menumpahkan uang pribadi, apalagi sampai habis, nanti ujung-ujungnya dendam, harus korupsi! Kalau gak gitu merasa sia-sia. Sial dianggapnya. Sedangkan yang tetap kaya-raya, meskipun separo uang pribadinya terpakai, masih sering dendam juga, wajib korupsi!
Lebih parah lagi pendapat yang bawa-bawa merk preman. Ini gila! Mereka, bisa kompak hampir sekampung bilang, "Nutup mulut preman aja gak bisa, bagaimana bisa jadi pemimpin?" Ternyata pendapat ini mengarah kepada persyaratan tidak tertulis tetapi wajib dipenuhi: kelayakakan seorang pemimpin itu jika bisa ngasih makan preman. Sampai terjadi aksi demontrasi para pura-pura preman segala, supaya dikasih makan, padahal mana ada preman pura-pura? Padahal kelak di kemudian hari, setelah dia memimpin dan terbukti bisa ngasih makan preman, termasuk dari uang hasil korupsinya, jika dia mendapat kritik tajam, premannya itu bisa digerakkan untuk melawan, termasuk melawan dengan kata-kata intelek kaum preman, sebagai balas budi kepada pemimpinnya. Ini jelas keahlian tinggi dalam membuat blunder sejarah.
Lalu masihkah anda doyan mencalonkan dan memilih calon pemimpin dengan melihat kekayaan pribadinya? Berhati-hatilah. Bisa berbahaya. Di dunia kegelapan, bahkan uang pribadinya bisa dipakai untuk mempermainkan hukum dan aturan-aturan. Bersifat lebih praktis, tidak seperti anggaran yang rumit. Meskipun kekayaan seseorang yang berlimpah-limpah bisa juga dipakai membuka lapangan kerja buat sebanyak mungkin orang. Dan orang yang begini ini bisa juga sangat layak menjadi pemimpin daerah, bahkan negara.
------
...
melihat Raja Arab
yang katanya kaya raya
mudah-mudahan
aku tidak seperti
para perempuan di dapur
yang sedang memasak,
yang lupa jarinya teriris-iris
-----
APAKAH KAU GURUNYA?
lihat anak-anak kita
berebut tahu
dan sebagian mati tidak tahu
------
KAMAR LAKI-LAKI
kaubilang aku diperkosa
lalu dikawin paksa
dan tak punya daya lagi
mengendalikan rahasia
padahal aku laki-laki
yang memberinya mahkota
dan bunga
Jakarta, Desember 2016
-----
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar