MENGGUGAT ARAH DAN SELERA SENI JAMAN NOW
MELUDAHI PUISI
kalau selesai sumpah serapahmu
segala duri segala batu
semua menjadi salah paling sempurna
sebab meludahi, ternyata lebih bernafsu
sebelum kau menginjak-injak puisiku
dan terpaksa memilih tak kembali
menjadi sepi puisi paling sakit
paling bisa dimengerti
Kemayoran, 01032018
#puisipendekindonesia
-----
Seorang pengamat senibudaya yang intensif dan konsisten. Seorang pengasuh acara Apresiasi Senibudaya yang sensitif dan sudah makan asam garam. Termasuk yang biasa nulis di koran. Tentu tidak boleh sembarangan dan asal jeplak ketika memberikan analisa dan komentar senibudaya. Termasuk melalui kolom status yang pendek dalam media sosial sekalipun.
Sehingga tidak perlu dilawan oleh satu dua orang yang mengatasnamakan komumitas seni dengan mengatakan, "Kalau begitu anda saja yang jadi penari atau penata tari!"
Itu seperti memaki presiden yang mengarahkan sektor pertanian malah ditantang jadi petani. Hanya gara-gara latar belakang presidennya pebisnis atau militer, misalnya.
Kalau saya sebagai pembina komunitas seni sekaligus pembicara dalam berbagai diskusi seni, yang lebih intensif membina teater dan sanggar gambar, atau menemani berbagai grup band selama kerja di Radio, lalu dikritik tidak boleh mengomentari tari seperti itu, maka setidaknya saya jawab dengan dua cara. Pertama, saya sering menyutradarai pentas reater yang ada unsur tariannya. Di situ saya cuma ngasih pengarahan umum, garis pokoknya, yang selanjutnya akan dikembangkan oleh penari atau instruktur tari. Kedua, ketika saya punya event panggung yang rundown acaranya memasukkan unsur tari, saya cuma bilang begini dan begitu. Saya tidak perlu menari, sebab bukan penari. Tapi tahu tari. Lalu petunjuk saya itu digarap sepenuhnya oleh seorang koreografer. Selesai .
Presiden atau mentri atau kepala daerah bisa berbuat seperti saya soal panggung senibudaya. Apalagi seorang pengamat seni atau narasumber senibudaya? Dia harus intensif bergelut dengan dunianya itu seumur hidup.
Ketika seorang pengamat atau pengasuh acara Apresiasi Senibudaya ngamuk-ngamuk, karena beberapa tontonan TV merusak, kalau tidak karena tampilannya yang tidak cerdas, tidak mendidik sama sekali, bisa jadi karena materi kata pembawa acaranya yang hancur-hancuran, maka tidak boleh seorang presenter TV tiba-tiba teriak maki-maki, "Buktikan, anda saja yang jadi orang tivi!" Itu kelakuan jaman now.
Itu sama saja dengan menendang muka Rendra yang seorang penyair ketika berkomentar soal senirupa. Lalu diserbu oleh oknum kanvas dan kertas dengan peluru, "Rendra harus jadi pelukis dulu!" Padahal analisa Rendra berada pada kumparan senibudaya secara umum, universal, selain seputar dasar-dasar menggambar yang diketahuinya sebagai ilmu pengetahuan.
Padahal dalam teater, sebagai sutradara, Rendra tidak harus bisa menjahit kostum pemain, dan tidak harus merias wajah pemain. Dia cukup punya permintaan begini dan begitu agar jalan cerita dan pertunjukannya hidup.
Inilah gagap senibudaya di kalangan yang justru mengaku-ngaku sibuk berjibaku dengan senibudaya. Termasuk gagapnya pelaku senibudaya di kantong-kantongnya. Bahkan banyak direktur hiburan yang tidak paham seni itu bagaimana dan untuk apa, meskipun secara rasa bukan secara buku.
Kita butuh kecerdasan, pencerahan, kesadaran, kesaksian yang jujur, totalitas, dan pengalaman dengan pemahaman yang cukup mendasar. Jangan cuma rebutan retorika pragmatis senibudaya. Yang jelas meracuni politik senibudaya sebuah bangsa. Strategi peradaban.
Pantas saja orang terpilih itu cenderung sedikit jumlahnya. Pantas saja orang-orang yang mestinya terpilih pun bisa terkucil. Karena ada pasar besar kehancuran, pergulatan seni tanpa alasan, yang tak butuh penjelasan. Yang lahir semata karena ekspresi menggerakkan. Meskipun untuk keuntungan sepihak dan sesaat. Juga untuk uang yang tidak berkah dan tidak umur panjang.
Kalau kita mengritik habis KPI, sebagai lembaga dengan orang-orang 'sejahtera' yang dipilih untuk bekerja, tetapi pengamatan dan sikapnya soal konten siaran mencla-mencle gak jelas, keaadaan toh tetap saja dibiarkan. Soalnya lembaga itu seperti cuma bekerja atas aduan masyarakat secara langsung doang. Itupun bisa tidak optimal. Tidak yang bersifat wacana publik, meskipun terbuka dan kuat.
KPI seperti lembaga pemalas. Yang sekalinya bersikap, malah salah tingkah, salah arah. Meskipun saya bukan penganjur pembubaran KPI. Sebab minimal, masih ada kerjanya di masa-masa kampanye. Masih kelihatan ada kerjanya di waktu-waktu tertentu.
Organisasi radio pun begitu. Gagap senibudaya. Saya katakan ini biar organisasi itu kian menjauhi saya. Kalau mau. Tidak perlu mengingat saya sebagai Orang Radio Indonesia. Kecuali kalau butuh normal.
Saya melihat, tidak sedikit budayawan, pengamat senibudaya, pengasuh Apresiasi Senibudaya yang mumpuni di negri ini. Kita bisa menyebut beberapa nama. Mereka seperti berada di menara gading. Punya pendapat yang tepat secara umum. Tetapi malas mengomentari hal-hal detil yang bergerak dari waktu ke waktu. Itu pula yang pernah membuat saya ngotot nangkring tiap minggu selama lebih dari 20 tahun di radio, bawel soal senibudaya Indonesia.
Ketika ada yang merendahkan saya dengan menyebut terlalu teoritis, saya bilang berkali-kali di radio, "Apakah tetap teoritis kalau ada orang penting di pemerintah salah menyikapi lagu semisal Belah Duren dari Julia Peres?" Padahal, kalau dia berani, pada waktu itu mestinya yang disikapi Jupe-nya yang pro-pelacur Myabi daripada menyikapi secara keliru lagu semisal Belah Duren. Sikap saya di radio itu praktis atau teoritis?
Saya tidak takut dicaci-maki di sana, di singgasana para pembuat kebijakan senibudaya. Ketika saya bilang, tarian terus dimaskotkan, tetapi seni tari tradisi tidak ditumbuhkan, kecuali pura-pura memunculkan, bahkan sikap anti tarian tidak bisa disikapi. Sementara ceramah yang menggulung tarian tidak memberikan jalan keluar sama sekali bagi tarian-tarian itu.
Padahal tarian bukan cuma soal penampilan atau visualisasi, tetapi soal bahasa komunikasi. Secara vulgar saya terpaksa bilang, kalau bokong jaipong boleh goyang, misalnya, bukankah itu berarti orang Jepang dan orang Eropa yang pakai rok mini dan celana pendek boleh lalu lalang di trotoar? Bukankah begitu?
Sementara bagi orang dalam negri, komunikasi ini akan menciptakan kehangatan dan keakraban berfikir dan berpendapat. Membangun ruang ekspresi yang sehat. Kalau ada yang tidak percaya, boleh musuhi saya. Sebab kata-kata saya, masa depan Indonesia. Ramalan soal anak manusia yang mencintai Tuhannya dan meminta belas kasihnya.
Saya termasuk setuju jilbab longgar yang tertutup, bahkan bercadar, bagi seluruh wanita Islam di Indonesia, tetapi itu jika kenyataan sosialnya mengendaki. Tetapi nyatanya tidak semua mau begitu untuk menjadi hamba Allah yang solehah. Bisa dengan penampilan sebagai instruktur senam yamg seksi tapi dicintai Allah.
Mereka turis mancanegara itu memang belum tentu datang untuk nonton tarian, tetapi tarian yang diapresiasi dari negara sana-sana melalui video, adalah ucapan selamat datang. Semacam tarian seremonial. Atau tarian brosur wisata. Meskipun kedatangan mereka untuk ke Borobudur, Tangkuban Parahu, dll.
Sebagai tarian selamat datang, hotel-hotel dan sentral-sentral tertentu yang langganan turis asing tentu bisa lebih sering mengekspresikan bahasa komunikasi melalui tarian itu. Di sini kita bisa paham, eksotisitas tidak melulu soal sensualitas secara terpisah, tetapi berada di dalam naluriah manusia dalam sistem nilai yang luhur. Dan coba tebak, siapa paling terbuka bicara ini, kalau bukan pengamat senibudaya yang konsisten, yang bertanggungjawab? Yang bukan vokal karena penampilan tariannya semata, tapi vokal pada bangunan komunikasi sosial yang cair dan khas. Sebab di sini terletak kecerdasan dan kearifan lokal itu.
Hari ini, apa yang dibayangkan oleh orang Eropa ketika akan berkunjung ke Arab atau Mekah? Itulah bedanya khas tradisi Nusantara dengan di sana. Tetapi khas tradisi Indonesia juga beda dengan khas Amerika. Apalagi dalam struktur bangsa Indonesia, ummat Islam mayoritas di sini.
Silahkan anda datang ke pihak-pihak resmi yang bertanggungjawab terhadap tumbuh kembang senibudaya Indonesia. Mereka pasti omong besar telah bekerja maksimal dan optimal. Padahal nol. Vokal saja tidak. Cuma jalan ke sana, jalan ke sini, baju seragamnya disemprot parfum kesenian. Cuma bisa begitu. Mereka ini juga doyan memakai pakaian adat atau pakaian tradisi. Karena itu bisa menutupi kerjanya yang tak seberapa. Padahal orang yang sering mementaskan pertunjukan tari tradisi, siang malam malah cuma pakai celana jeans dan kaos oblong.
Bedakan tipu-tipu dan kerja nyata.
Ketika narasumber senibudaya atau pengamat senibudaya berani kritis, bicara kesenian dengan nilai-nilai agama, malah ada aparat yang biasa ketakutan. Dianggap tidak Indonesia. Padahal relijiusitas itu integral bagi masyarakat Nusantara. Bahkan untuk goyang pinggul atau bermain peran yang seksi, seorang seniman bisa sholat dan berdoa dulu. Ada juga yang sampai puasa sebelum hari H naik panggung. Itulah relijiusitas. Di mana jaraknya? Itu melekat rekat. Khas Indonesia.
Malah ada aparat yang berani bilang, kesenian jangan bawa-bawa agama. Padahal dalam politik pun agama ada di dalamnya. Meskipun ada juga yang teriak-teriak konyol dan sok pinter, politik jangan bawa-bawa agama. Padahal yang benar itu jangan menggunakan isu-isu sara untuk menciptakan ketidaknyamanan sosial, apalagi sampai melanggar hukum.
Misalnya waktu Presiden Jokowi masih calon presiden dulu. Dia pakai peci karena merasa muslim, selain karena itu memang bagian dari pakaian nasional. Wajar juga kalau pecinya itu dipakai untuk bicara atau ditafsirkan oleh banyak kalangan sebagai kalimat, "Saya ini juga bagian dari muslim yang mayoritas di negri ini, meskipun mencintai seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali". Ini kan aksen agama di dalam politik yang tak tertolak.
Kenapa kita jadi gagap dan bodoh? Sampai-sampai kesenian harus memecat agama.
Kebalikan dari itu tentu saja, ada pejabat yang terlalu agamis, sampai-sampai kesenian dibabat habis oleh seleranya sendiri. Sebab dia dan kelompoknya ingin masuk sorga. Padahal kalau ada komunikasi yang baik, ternyata semua sedang berdoa masuk sorga. Kecuali yang bikin celaka panggung.
Yang lebih lucu lagi, ada juga seniman yang ngaku-ngaku paling seniman, atau merasa seniman paling sadar, yang kerjanya marah-marah melulu kalau dalam kegiatan apresiasi seni ada landasan agamanya. Seperti kebakaran jenggot dan seluruh tubuhnya. Ini juga memandulkan taji berfikir kita. Padahal di era debat sekarang ini, kalau koridor tafsir agama terbuka pada rel yang tepat, orang tidak akan gagap agama, dan tidak akan gagap senibudaya juga. Kalau ditolak terus, gagapnya berkelanjutan, malah berkepanjangan.
Kita melihat, di satu sisi ada pihak yang salah mengabarkan isi kitab suci. Mestinya tugas itu diemban oleh yang mampu dan amanah saja. Termasuk oleh masyarakat biasa melalui obrolan-obrolan santai, ketika dia mampu. Di sisi yang lain, ada pihak yang langsung anti kitab suci. Membuat jarak bumi langit antara kitab suci dan kesenian. Harus ada waktunya, kapan bicara agama, dan kapan bicara kesenian.
Saya termasuk orang yang biasa bicara doa, sholat dan puasa. Tetapi biasa juga bicara semua aliran dalam lukisan. Dan selalu semuanya tidak kontradiktif di dalam satu kesatuan waktu di hati saya. Saya tidak sedang memerankan karakter ganda, sekarang begini, nanti begitu. Tidak sedang menjadi dukun aneh, yang melayani yang lebih gede duitnya, atau melayani yang pertama datang. Salah dan benar itu cuma urusan bermain peran.
Waktu pertama kali menginjakkan kaki di umur 40 tahun, saya sama sekali tidak takut semakin tua, tidak, bahkan tidak takut kematian yang kelak akan datang. Tetapi saya malah takut dibilang kalimat saya adalah kalimat orang tua belaka, kalimat jadul, kalimat masa lalu yang sudah aus. Apalagi ketika bicara senibudaya yang progresif.
Padahal saya melihat kegelapan di balik propaganda jaman now yang melupakan masa lalu, yang sombong berdiri sendiri, dengan menunjuk kemajuan ini dan itu, yang sesungguhmya cuma lipstik kekinian dari kegelapan di bawah tanah sosial yang bengis.
Banyak yang takut longsor, tetapi diam-diam atau tidak sadar menciptakan seluruh permukaan tanah yang siap longsor, menunggu waktu. Yang sesungguhnya cuma bisa dicegah dengan satu hal, keinsyafan.
Apalagi kalau dikaitkan dengan politik. Yang benar bisa disalahkan oleh yang nampak seperti benar. Yang minimal bisa menggalang kemenangan opini sesaat.
Secara politis, demi kepentingan politik ngawur sesaat, tulisan saya ini bisa dilawan. Bahkan saya bisa dilawan diam-diam. Dicegat sana-sini.
Kalau kita terlalu percaya penuh 100% pada kekuasaan, kita melupakan pelajaran dari gerombolan pejabat dan para kepala daerah bermasalah serius, penyakit masyarakat, yang selama ini disanjung-sanjung masyarakat. Entah seperti apa paradigma pembangunannya?
Yang benar adalah keinsyafan bersama, antara penguasa dan masyarakat yang memberikan amanah sejak negara berdiri. Tentu masyarakat yang menonjol tokoh-tokoh kritisnya. Yang membangun. Termasuk yang selalu membangun wacana kemajuan yang positif, selamat dan menyelamatkan.
Seperti halnya para pejabat dan kepala daerah bermasalah, yang masuk penjara itu, para pengendali kebijakan senibudaya bisa jadi berisi orang-orang mabuk, yang tidak ngerti apa-apa sebenarnya. S1, S2, S3 atau S100 sekalipun.
Waktu saya bicara penyair yang harus kerja nyari duit, baik dengan cara jadi presiden atau jadi kuli, malah ada yang mencibiri. Padahal ini kalimat sakti. Penyadaran. Bahwa penyair itu ditunggu Allah, ditunggu negara. Selain itu juga bermaksud mengingatkan, penyair jangan mudah terbawa arus deras, sebab belum tentu itu arus waras. Penyair memang gila, bisa berbeda dari gerak jamannya. Termasuk ketika penyair itu hidup di jaman Firaun, atau di masa penjajahan. Tetapi dalam struktur sosial, penyair itu adalah juga teman dekat raja dan panglima perang.
Kalau ada yang mau bersikukuh dengan posisi, cara, dan sistem yang dibangun sendiri atas dasar kekompakan kelompok suatu ketika ya silahkan. Apalagi kalau terlembaga secara baik dan terlindungi. Dari dulu sarang penyamun memang begitu. Akan lebih sempurna kacaunya kalau pakai kepura-puraan hukum. Merasa paling taat azas.
Waktu saya mengawali karir di dunia radio, belum genap umur 20 tahun ketika itu, saya sudah dekat dengan komunitas pendengar kaum bapak-bapak dan ibu-ibu. Misalnya kelompok pengajian, kelompok senam, kelompok musik nostalgia, dll. Sampai saya dibilang remaja yang kolot, seleranya ibu-ibu. Padahal itu yang mempercepat jadi manajer.
Kenapa saya mesti begitu? Sebab komunikasi dengan remaja jauh lebih mudah buat saya, orang seusia saya. Saya lempar satu pertunjukan band lokal atau mengadakan lomba karaoke, atau bikin aksi panggung remaja, semua sudah ngumpul. Sangat mudah. Saya sebut dunia barayak-bereyek, dalam bahada Sunda. Mudah bergerombol ke sana, bergerombol ke sini, tergantung profokator. Begitulah dunia remaja. Sedangkan komunikasi dengan orang tua, itu lain. Mesti sabar dan harus pinter.
Di hari-hari sekarang ini saya merasakan suasana yang sama. Para orang tua (termasuk para pejabat) gak gaul kalau gak jadi ABG. Padahal teorinya sudah jelas, tinggal begini dan begitu ABG ngikut. Justru yang terpenting, bagaimana mendewasakan para ABG ini agar tidak menjadi korban jamannya. Korban jaman now.
Setidaknya saya pernah berumur 15 hingga 20 tahun, yang hukum-hukum universalnya masih berlaku. Kadang saat itu masih cengeng, tetapi agresif, penuh inisiatif, inovatif, inspiratif, dan positif. Tanpa bermaksud memuji diri sama sekali. Cuma karena logika dan rasa saja. Satu artikel saya yang dimuat koran pada usia 18 tahun berjudul, Kenakalan Remaja Eksistensi Hantu. Dimuat dalam dua edisi.
Tentu sebaiknya jangan lawan hukum-hukum sosial yang sahih ini dengan berteriak siang bolong ala jaman now yang mengaku paling selamat sepanjang masa, "Mengapa Nabi Muhamad gak bisa bikin sepeda dan komputer! Gak ada juga puisinya yang dimuat koran! (Dan sejenisnya)". Itu kurang ajar.
Menurut kabar, Nabi SAW tidak bersyair selayaknya penyair, tetapi sewaktu-waktu dia suka bersenandung. Mengucapkan kalimat-kalimat kebaikan yang penuh motivasi dan memuji Allah. Dilakukan sebagai spontanitas. Nabi SAW juga dikabarkan tidak anti tarian, dia anti kemaksiatan melalui tarian. Bahkan tidak anti patung, tetapi keras pada patung-patung yang memiliki maksud yang salah, apalagi menggantikan Allah. Tidak anti pada gambar mahluk hidup, kecuali anti pada anggapan hidup dan berkuasanya sesuatu yang mati.
Sekarang kita nengok teater. Saya sudah banyak nulis di media sosial, selain siaran di radio, bahwa setiap pertunjukan teater itu memang selalu punya misi, minimal misi menghibur. Tetapi ada pembeda yang menonjol antara pertunjukan komersil dan non-komersil. Keduanya halal. Yang non-komersil, lebih kuat pada sisi demonstrasi misinya, kekuatan temanya. Meskipun digarap dalam versi humor sederhana sekalipun, tergantung raihan penontonnya. Sebab segmentasi penonton juga garapan misi itu.
Saya serius soal teater. Dari dulu tidak ada satupun pertunjukan teater saya yang main-main, meskipun di panggung Agustusan maupun pesanan acara perpisahan sekolah. Semuanya teater misi. Membuat tidak takut kalau para pemainnya ingin main teater seumur hidup. Sebab itu sebuah dunia, prestasi, dan kerja sosial yang serius. Selain dunia hobi dan senang-senang.
Kalau di jaman now teater akan ditarik menjadi melulu teater komersil, setidaknya bersponsor, itu sikap sepihak. Gak jantan. Takut bertarung di ruang gagasan yang demonstratif. Sebab sikap kritis teater misi paling ditakuti dari dulu karena bisa tiba-tiba menjadi sangar. Bisa terselenggara hanya dengan modal patungan anggota komunitas yang tak seberapa. Kalau perlu pentas di kolong jembatan pun jadi.
Teater misi juga yang telah terbukti menyukseskan program KB di era Orde Baru. Garapannya sederhana. Serba spontan pun jadi. Jelas misinya. Bisa meyakinkan masyarakat. Sebagian pemainnya pegawai negri juga. Sudah dapat gaji tentu saja. Cuma mereka masih doyan teater.
Yang paling mencolok dan tidak boleh mati adalah penyelamatan teater tradisi. Motonya, yang penting tampil menularkan selera tradisi meskipun tidak komersil. Karena selain eksotika tradisinya, dipercaya teater ini masih bisa jadi penyampai pesan kehidupan. Bahkan pada even tertentu, meskipun spontan, bisa jadi magnet, mendatangkan rasa ingin tahu.
Saya pernah nonton jaipongan spontan di tengah jalan yang sedang tidak boleh dilalui kendaraan. Rasanya spesial dan beda. Berbeda dengan modern dance yang lebih bebas dari semula.
Lagi-lagi dengan mematahkan selera komersil teater jaman now, apalagi rujukannya cuma tayangan TV yang jauh beda, media, garapan, dan penontonnya, kita mesti bilang, di sini harus ada keberanian untuk tidak komersil. Kalau perlu para pemain teater adalah nelayan, petani, buruh pabrik, pekerja bengkel, direktur, mentri, dan presiden.
Apakah anda termasuk yang setuju, setelah di gerbang era reformasi, teater perjuangan meledak di sana-sini, baik yang modern maupun yang tradisional, meskipun non-komersil, maka setelah masa itu dianggap lewat, teater semacam ini harus musnah? Apakah itu selera jaman now? Menolak suatu bentuk yang sudah jadi, kenyataan tradisi, kekayaan senibudaya Indonesia?
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar