MENGAPA WAJIB NULIS DAN BACA PUISI?

HARUS BISA

gubernur itu
harus orang
yang bisa membaca
puisi

Kemayoran,  2011-2018 
#puisipendekindonesia 
-----

Kalau Chairil Anwar masih hidup.  Seperti curhatnya kepada HB. Yasin, saya menduga dia juga akan orat-aret,  nulis apa saja semau hati di akun media sosial,  termasuk facebook seperti kita. Sebab bagi kita, termasuk Chairil,  nulis di media sosial itu multi fungsi.  Di satu sisi seperti surat-suratan,  saling bertukar kabar. Silaturahmi biasa. Kangen-kangenan. Karena hakekat hati manusia itu selalu kesepian. Di sisi lain untuk menyambung keperluan penting. Seperti dulu kita pertama kali ngenal telpon rumah dan fasilitas SMS. Dipergunakan untuk hal penting saja. Selanjunya media sosial bisa juga untuk berkarya atau membahas karya. 

Membuat karya di media sosial semisal puisi atau artikel senibudaya tidaklah rugi. Kecuali jika sudut pandangnya dipersempit,  melulu soal honor. Pasti rugi. Sebab, nulis di koran dan majalah jelas berhonor,  sedangkan di media sosial tidak. Meskipun tidak selalu persis begitu.  Ada koran yang hanya menjanjikan pemuatan tetapi tidak memberi honor, semacam memberi keuntungan publikasi semata. Atau memberi honor tetapi sangat kecil sekali. Di tahun lampau saya pernah nulis cerpen di koran honornya 5000 rupiah,  jika dalam hitungan sekarang kurang dari 50.000 rupiah.  Belum cukup buat beli satu celana jeans. Tapi saya senang-senang saja ketika itu.

Nulis di media sosial bagi seorang penyair,  tentu tidak untuk semua karyanya.  Hanya sebagian saja yang muncul di situ.  Sebagian besar masih tetap tersimpan rahasia di komputer dan di buku catatan pribadinya di laci meja. Sehingga kemunculan sebagian karyanya di situ tak ubahnya sekadar pemanfaatan media saja. Sebab ibarat makanan, halaman internet adalah juga makanan empuk.  Siapa yang bisa memanfaatkannya akan terbangun kedekatan silaturahminya dan popularitasnya.

Saya mulai tulisan ini dengan bicara internet atau media sosial karena tulisan ini pun secara sengaja memang untuk dimuat di halaman blog. 

Saya merasa wajib menulis puisi sejak menyadari bahwa saya mampu menulisnya,  merasa bagian dari bahasa,  merasa mampu menggunakam bahasa, merasa ada yang mesti saya sampaikan. Harus!  Mustahil tidak. Tentu, saya merasa punya bakat mendasar dengan ciri-ciri menguasai bahasa dan memahami kedudukan bahasa bagi manusia, bahkan menyadari eksistensi bahasa sebagai pesan cahaya. Sebab pada hakekatnya,  siapa yang memahiam bahasa, dia hidup dalam cahaya. Maka bahasa mengantarkan seorang hamba Allah pada penetimaan segenap kalam illahi.  Tanpa ingkar satu tanda dan hurufpun.

Saya tidak perlu menyebut diri relijius,  kalau bukan kebutuhan syiar pada suatu ketika. Keterpaksaan yang arif dan bijak bagi siapa saja. Sebab disebut ataupun tidak disebut,  relijiusitas itu sifatnya tebal dan kuat. Begitupun ciri-ciri jiwa tauhid yang suka sujud,  yang disebut Allah, bertanda hitam di keningnya.  Hitam artinya jelas,  meonjol,  dan penuh kedalaman.  Tetapi hakekatnya sangat bersih,  bening,  bercahaya. 

Setiap menyudahi penulisan cerita pendek pada umur SMP dulu, saya selalu tercengang sendiri.  Sangat.  Apa sebab?  Karena ternyata melalui cerita itu saya sedang bernasehat,  berwasiat.  Saya bermain peran sebagai ayah,  ibu,  guru,  kyai, para manusia, anak-anak,  teman sebaya,  kaya-miskin,  tua-muda,  pintar-bodoh,  sehat-sakit,  kaum pekerja,  mahasiswa,  dst. Ya itulah kelakuan otak dan perasaan saya waktu SMP.

Dalam kondisi seperti itu saya tidak perlu menyebut diri mulai dewasa atau sudah dewasa. Sebab dalam dunia pendidikan,  mendidik itu mendewasakan orang yang belum dewasa. Interaksinya antara orang dewasa (guru)  dengan pihak yang belum dewasa (murid). Sedangkan salahsatu fungsi tulisan yang lurus adalah,  edukatif. Mencerahkan. Ya,  saya tidak perlu kluruk begitu. Ditambah lagi faktanya, buku-buku penulis baru pun bisa dibaca oleh kaum cendekia yang bijak dan kritis,  bukan karena mereka bodoh, tetapi mereka butuh data, butuh bersaksi sebelum bernasehat,  dan butuh menimbang-nimbang.

Dari mulut para bijak ini biasa kita mendengar kalimat,  "Tulisan Si Fulan sungguh mencerahkan". Artinya dia yang senior dan semua, siapa saja, tidak akan pernah rugi membacanya. Minimal sebagai hiburan jiwa, apalagi ketika porsi tulisan itu banyak popnya. Sejak SMP kesadaran itu sudah nyurup di hati saya.

Dari kliping tulisan saya yang sudah hilang semua,  tidak ada satupun yang sampai jadi perbincangan. Kata anak jaman now, tidak sampai viral.  Mungkin sebatas dibaca oleh pelanggan koran itu.  Tetapi setidaknya saya puas karena tidak ada main-main dalam tulisan itu. Mempertaruhkan keyakinan,  lahir dan batin. Ibarat dosen yang hebat, biarpun tidak terkenal, tapi dia bangga karena merasa sanggup memberikan yang tepat dan terbaik untuk mahasiswanya. Tidak ada kebohongan.

Saya sering bilang di radio, kalau kita di depan anak kecil di balik tembok yang tak ada siapa-siapa sekalipun,  kita tidak boleh berbohong.  Kecuali, di situ akan terjadi jatuhnya ilmu seseorang. Sebab kejatuhan ilmu itu, adalah ketika tertolak oleh kebenaran dan kemuliaan.

Ini pula yang di belakang hari mengakibatkan saya secara sadar harus memasuki syair wangi. Suatu wilayah kepenyairan dalam sibgoh Allah Swt. Sesuatu yang sangat humanis-universal. Logikanya biasa saya sebut logika iman.

Bagi saya, menulis puisi dan sastra pada umumnya adalah kesadaran,  kesaksian,  dan pencerahan, dalam bahasa yang indah atau dalam sistem nilai yang berkeadilan dan indah,  meskipun kadang dengan tema tragedi-tragedi dan kekejian yang menyedihkan.

Berangkat dari sini,  seperti di alinea awal,  Rendra atau  Chairil pun kalau masih hidup bisa kemudian merasa wajib berbuat seperti kita.  Kadang berfikir soal dimuat koran yang. ada honornya,  kadang berfikir yang terpenting ada majalah dan koran untuk publikasi,  kadang juga berfikir yang terpenting puisi atau karya sastra itu harus segera bekerja.  Harus segera berpengaruh.  Maka halaman media sosial dan panggung puisi pun tidak haram digarap sebagai ruang paling utama.

Toh nanti ketika akan dimuat koran atau ditetbitkan,  pasti terdiri dari karya-karya yang pernah ditulis di media sosial itu,  yang pernah naik mimbar, dan yang masih tersimpan di dalam flasdisc atau di laci meja.

Begitulah saya membuat gambaran singkat, mengapa saya wajib menulis puisi. Bagaimanapun caranya.  Suatu catatan yang minimal bisa ditemui anak-cucu saya,  mengapa saya begitu berkeras hati. Tidak bergeming. Meskipun kalimatnya ada yang diusir-usir,  status kepenyairannya pun ada yang tidak mudah menerima.

Tetaplah bumi bekerja dalam bahasa langit yang utuh. Tidak kemana-mana. Yang bagian inipun pasti akan segera dipenggal dengan kalimat, semestinya bumi bekerja dalam bahasa bumi. Entah dari mana alasannya, memisahkan bahasa persetubuhan yang selalu hamil dan beranak pinak. Mustahil tidak.

Maka selain istilah sosialisasi karya,  supaya puisi bekerja,   saya sudah lama berhidmad kepada istilah,  pengarsipan karya intelektual dalam bentuk penerbitan buku sastra, yang akan sangat besar manfaatnya,  untuk hari ini atau di masa yang akan datang.

Saya ambil ilustrasi dari acara tahunan,  Wisata Sastra yang pernah kami adakan. Suatu ketika sebagai panitia kegiatan,  saya,  Rudy Aliruda,  Ali Novel,  Eka Kewong dan Tholib Mubarok membawa sejumlah buku dari rumah masing-masing ke titik lokasi acara.  Di sana buku-buku itu dikumpulkan. Lalu kepada para pengunjung kami woro-woro,  "Yang mau nyumbang baca puisi tetapi gak punya puisi sendiri,  silahkan cari puisi yang ada dari semua buku ini!"

Apa yang anda bayangkan dengan buku-buku itu?  Semoga ini yang anda temui.  Tidak semua puisi di buku-buku itu ditulis Rendra,  Chairil,  Rumi, Iqbal, Emha,  dll yang memang sudah terkenal. Tetapi juga ditulis oleh para penyair yang namanya tidak seterkenal mereka,  bahkan ada yang ditulis oleh beberapa  penyair yang masih berfikir,  setidaknya penerbitan bukunya adalah bagian dari pengarsipan karya intelektual.  Mereka berharap, pasti bermanfaat sekarang atau nanti.  Begitulah.

Maka menurut saya GERAKAN WISATA SASTRA wajib marak. Seperti apapun kreatifitas acaranya. Indonesia harus bisa!

Selanjunya saya mau bicara baca puisi.  Mulai dari keyakinan,  mengapa saya mewajibkan diri untuk aktif baca puisi di panggung atau di arena puisi?  Bukankah karya sastra itu karya tulis?

Ya. Puisi itu wajib bekerja. Pertama pasti sebagai tulisan ia akan bekerja,  ketika dibaca orang dan berpengaruh. Ini sudah cukup sebenarnya, jika dilihat dari satu sisi. Tetapi kemudian puisi itu juga bisa bekerja dengan memiliki daya pengaruh karena dibacakan oleh seseorang. Ini sampai pada standar wajib begitu karena kehidupan telah memintanya. Terjadi,  terjadilah. Yang sudah dibacakan di panggung tidak tertolak peristiwa terbacakannya. Itu wajibnya suatu kebajikan. Jihad yang tunai.

Maka sangat banyak penyair yang sekaligus pembaca puisi. Meskipun tidak berhukum, setiap penyair harus selalu seorang pembaca puisi di atas panggung.

Tetapi suatu kehormatan dan prestasi besar ketika Allah Swt melahirkan para pembaca puisi yang handal.  Para seniman itu.  Meskipun mereka bukan para penulis puisi. Mereka adalah para penikmat yang memahami isi puisi,  mampu menginterpretasikan, dan menyampaikannya kepada masyarakat penonton. Termaduk bersyukurlah kita ada seniman kreatif di bidang musikalisasi puisi. 

Bagi puisi, masyarakat penonton adalah kenyataan. Ladang kerja. Puisi harus meyakinkan di situ. Tanpa begitu,  ruang yang menggerombol di seluruh penjuru itu dibuang sia-sia.  Sampai Allah akan selalu marah pada waktunya. Dalam perjalanan sejarah manusia,  penyampaian syair itu macam-macam bentuknya.  Ada yang dibacakan ada yang disenandungkan,  meskipun tidak seperti menyanyikan lagu yang jelas notasinya. Itulah kebutuhan kata-kata bernas yang penuh hikmah. Selalu ada yang berperan sebagai penulis dan sebagai penyampai atau pembaca.

Maka selain tradisi MALAM PUISI,  saya sangat suka ritual LONBA BACA PUISI.  Apalagi kalau dalam lomba itu puisi pilihannya banyak.  Sehingga tidak menjenuhkan. Sebab sebuah lomba dengan tema tertentu atau dengan tema bebas,  tidak bisa didefinisikan sepihak sebagai ajang lomba semata,  itu adalah ajang kerja puisi,  ketika puisi-puisi menyampaikan maksudnya. Termasuk dengan gaya berbeda-beda untuk puisi yang sama. Sehingga para aktivis dan pembaca di situ, tidak cukup hanya disandingkan pada persoalan siapa yang akan menang? Sebab itu dungu. Mereka harus menjawab,  sedang apa,  untuk apa selain urusan peluang menang?

Bagi saya membaca puisi di panggung sejak masa sekolah adalah kebutuhan lahir batin. Terasa besar nikmatnya. Luarbiasa! Bagian dari karakter yang meletupkan suara-suara perjuangan. Maka cerdaslah para pendahulu kita,  yang sangat menghargai panggung puisi.

Kalau demi daya pukau,  seorang pembaca puisi bikin variasi-variasi baca puisi, itu sangat bagus. Itulah gunanya lomba dan semacam Panggung Malam Puisi. Tetapi mengubah kesulitan-kesulitan menjadi kemudahan juga penting.  Tidak cuma sebatas cara baca,  yang membuat kalimat rumit menjadi terdengar sederhana,  puisi-puisi pendek pun kadang membuat penonton tidak cepat terkondisikan pada fokus yang singkat itu. Maka saya biasa berpesan,  ekspresikan sebuah puisi pendek itu sampai pada tingkat kelayakan telinga penonton mendengarnya.  Sampai mereka puas maksimal. Akan lebih menarik lagi jika sekali naik baca puisi pendek,  ada beberapa puisi yang dibacakannya. Di setiap jeda puisi,  selalu diefektifkan untuk berkomunikasi yang menarik atensi penonton,  sehingga puisi pendek yang telah lewat dan yang akan segera dibacakannya, benar-benar puisi yang wajib masuk kuping dan hati. Dalam bentuk puisi-puisi pendek yang bernuansa humor,  ini bisa mendatangkan gelak,  khas,  serunya bisa seperti atau lebih seru dari stand up comedy.

Negara harus tahu ini. Tahu diri. Melek puisi dan melek panggung puisi. Sampai-sampai saya penah menulis puisi pendek, seorang calon gubernur (penguasa) itu mesti orang yang bisa baca puisi.  Maksudnya ngerti benar fungsi,  kedudukan dan cara kerja puisi. Sehingga sadar, tindakan bijak apa yang mesti dilakukannya. Setidaknya seluruh kebijakan pembangunannya adalah jawaban untuk memenuhi kebutuhan puisi. 

Seperti halnya penyair harus bisa menelan puisi,  karena puisinya bukan racun.  Begitupun puisi harus melahap habis penyairnya, sebab penyair bukan daging busuk.  Maka bigitu pula hubungan integral antara puisi dan pembaca puisi. Sang penyampai itu adalah pihak yang amanah.  Dia satu kalimat lahir batin dengan puisinya.

Ini yang mengakibatkan, di muka bumi ini ada gerakan anti puisi dan anti pantun.  Itu ada.  Tentu untuk puisi yang bukan puisi,  pantun yang bukan pantun.

Dengan berseloroh di depan siswa SMP-SMA kita bisa membuat ilustrasi,  seseorang mengawali baca puisi begini: "AKULAH ALLAH,  sebuah puisi karya FIRAUN".  Bagaimana reaksi mereka? Setidaknya ini bisa dipakai menyindir, bahwa bikin puisi dan baca puisi itu tidak main-main.

Kembali ke WISATA SASTRA.  Pernah ada ibu-ibu bertanya, "Anak saya mau ikut nyumbang baca puisi,  tapi gak punya puisi. Kira-kira puisi apa yang bisa dibacakan anak saya?" Saya lihat anaknya masih umur SD.  Wah selamat nih perkara. Untung Si Ibu tidak bilang, minta puisi yang sederhana buat anak saya.  Sebab,  apa ukuran puisi sederhana itu?  Tidak ada. Kalau puisi yang mudah dipahami anak SD ada. Sebagian karya Rumi dan Taufiq Ismail pun pantas untuk dipanggungkan anak SD.

Tanpa menyebut puisi yang bukan puisi,  pun tanpa menyebut puisi jelek atau puisi sederhana, memang ada juga puisi khusus untuk anak-anak. Bahkan sampai diterbitkan bukunya.  Minimal terbagi dua. Pertama, puisi yang biasa dipakai untuk memperlancar anak-anak SD dalam kemampuan membaca dan melafalkan huruf-huruf.  Model puisi ini jelas fokus pada maksud itu. Tetapi secara tematis dan bentuk mestilah sebuah puisi sempurna. Puisi jadi. Kedua adalah puisi yang secara tematis dengan sengaja meletakkan aku lirik sebagai anak-anak usia SD. Misalnya,  sekadar contoh,  tidak ragu-ragu menyantumkan kalimat,  "Kalau aku besar nanti",  dst.

Semoga tulisan ini besar manfaatnya,  terutama untuk membangun kesadaran paripurna,  mengapa kita menulis dan atau membaca puisi?

Memasuki tahun politik kita wajib saling mengingatkan,  pilihlah calon kepala daerah, bahkan calon presiden yang bisa baca puisi.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG