TIANG GAWANG TAK PERNAH PINDAH
BOLA SEMEMANG
bola yang lepas
dari tangkapan kiper
atau curian kaki
aku yang ambil
Kemayoran, 05062018
#puisipendekIndonesia
------
Karena perhelatan olahraha ASIAN GAMES sudah di depan mata. Maksud hati Timnas Sepakbola Indonesia U-23 mau bikin catatan kemajuan yang signifikan ketika melawan tim kuat Thailand di dua partai uji coba. Bahkan niat menghadang tim kuat Asia, Korea Selatan dalam partai ujicoba.
Sialnya, di stadiun PTIK Jakarta, Kamis, 31052018 skuad asuhan pelatih Louis Milla ini gagal menang di partai ujicoba pertama. Meskipun sempat unggul 1-0, tetapi langsung dibalas oleh tim kuat Asia Tenggara itu. Hingga diujung pertandingan kalah, 1-2.
Sementara di partai ujicoba kedua di stadiun Pakansari, Bogor, Minggu, 03062018 tim nasional bisa tampil lebih percaya diri. Tetapi tetap saja, meskipun tidak kalah, tim ini hanya sanggup menahan imbang Thailand, 0-0.
Saya jadi teringat kalimat komentator bola, Kusnaini ketika mengomentari teori penyerang yang selalu atau sering tepat menendang ke arah gawang meskipun tidak melihat ke arah gawang. Dia bilang, "Sebab gawang tidak pernah pindah".
Kalimat Kusnaini itu adalah penegas. Penegas apa? Penegas bahwa ukuran lapangan bola sudah dikenali oleh tiap pelatih dan para pemain bola. Kecepatan lari pemain dari ujung ke ujung bisa diukur dan dilatih. Persegi panjang lapangan tidak pernah berubah. Tiang gawang tak pernah pindah. Titik tengah dan titik finalti fasih dikenali. Kafer area oleh 11 pemain bisa dilakukan dengan formasi permainan dengan menempatkan tiap individu pemain pada titik-titik yang tepat. Ini pula matematika dan logika yang sudah bikin hebat tim-tim bola Eropa, dll. Masalahnya, seberapa besar daya maju tim nasional kita dalam memahami logika umum itu?
Skil, penguasaan bola, mengatur potensi fisik, memainkan operan (permainan) bola, mengatur emosi, memahami teori suatu strategi, menjaga kekompakan, membaca peluang, membangun peluang, memanfaatkan peluang, mematahkan strategi lawan, merusak percadiri lawan, dll semuanya adalah persoalan yang secara integral mengikuti matematika dan logika itu. Bahkan makin lama penonton awam pun diajak makin fasih soal ini. Apalagi ini selalu tidak sia-sia, sebab selalu ada filosofinya. Ada hikmah dan garis bijaknya buat kehidupan sehari-hari. Persoalannya, seberapa meyakinkan eksistensi keunggulan timnas kita di tengah sepakbola Asia Tenggara, Asia, dan dunia?
Ya, wajar kita punya lagak juara, minimal lagak tim petarung. Sebab itu terpaksa, setidaknya untuk menjauhi sikap pecundang. Wajar kalau timnas kita mau bikin Thailand yang macan Asia Tenggara dan Korea Selatan yang macan Asia itu takluk, atau minimal kewalahan, meskipun cuma di partai ujicoba. Tapi apa hendak dikata ketika hasilnya justru tim kita yang kewalahan?
Sebab hakekatnya, bola yang lepas dari tangkapan tangan kiper, adalah akibat kelemahan atau kesalahan menangkapnya. Selain karena gangguan lawan. Keharusannya begitu. Bola yang lari dari curian kaki, adalah disiplin kegagalan yang benar. Sehingga rumusnya akan selalu tetap, berusaha sungguh-sungguh, berusaha benar, sportif, fairplay, dan berharap kemenangan.
Meskipun begitu, bagi saya tim nasional Indonesia tetaplah sebagai supremasi keindonesiaan kita. Betapa tidak? Itu bukan cuma sebuah klub, sekelompok orang, suatu ambisi dari sementara pihak, dst. Bukan begitu.
Mengingat peristiwa 312, ketika presiden Joko Widodo hadir di stadiun Pakansari Bogor, untuk secara khusus memberi penyadaran dan menguatkan kesaksian, bahwa kita harus mau membaca NKRI, merah putih, Indonesia Raya, Pancasila, dan bhineka tunggal ika, melalui dunia sepakbola, maupun melalui tontonan bola. Terutama melalui Timnas. Maka, kalah menang sebuah tim nasional bagi saya adalah simbul eksistensi keindonesiaan serta kode keikutsertaan Indonesia dalam pergaulan dunia yang tentram damai. Ini jauh sangat penting. Apalagi di belakang itu ada 'kehidupan bola' di Indonesia yang memasyarakat karena kearifannya.
Maka di depan tim merah putih yang masih gagal di depan tim Gajah Putih, Thailand itu, saya tetap teriak dalam dada, "Hidup Indonesia, jayalah NKRI!" Sama sekali tidak menurunkan derajat dan tensi cinta.
Lalu bagaimana kalau juga kalah dihantam Korea Selatan? Sebab secara kualitas, tim ginseng ini jauh di atas Thailand. Dan bagaimana pula kalau secara mengejutkan justru kita yang mampu memukul Korea Selatan. Ah, ini pasti seru. Ya, serunya sebuah partai ujcoba di halaman luar ASIAN GAMES, 2018.
Setidaknya di Asian Games nanti, level pertarungan Asia adalah level yang lebih tinggi dari level Asia Tenggara. Sehingga tim nasional kita sangat butuh KALIMAT SAKTI. Peristiwa bersejarah. Semoga bisa terwujud.
Dan ayo, tetap bergemuruhlah sukacita kita hari ini untuk Tim Nasional kita. Sebab itu adalah sebuah kemenangan awal. Selalu awal yang berguna.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar