PESAN JUMAT PILKADA, DEWASA ITU HATI-HATI

EMPAT PULUH

manusia Jumat
manusia keramat
manusia empatpuluh
manusia seluruh
perjalanan
di simpul pertemuan

Kemayoran, 01 Juli 2018
#puisipendekindonesia
------

Apa pesan Jumat pagi ini, 29 06 2018? Ternyata ada kaitannya dengan Pilkada serentak, 27 Juni 2018 se Indonesia yang baru saja usai.

Semua tokoh masyarakat pasti sedang berbagi nasehat. Kalimatnya hampir seragam, seperti: kepada yang menang harap bersabar dibalik rasa syukur. Tantangan perjuangan ke depan dalam mengemban amanah itu tidak mudah. Sementara bagi yang kalah harap percaya kepada ketetapan Allah Yang Maha Baik dan Adil.

Itu memang kalimat bersahaja. Cara edukasi. Tetapi bisa menipu mayarakat kalau tidak ditegakluruskan.

Kalimat semisal, Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita, seakan-akan merujuk pada pembenaran tokoh terpilih. Padahal kalimat itu adalah kalimat hisab. Termasuk jika yang terpilih adalah orang yang bakal merugikan masyarakat, maka Allah bermaksud membuka kedok figur orang itu di depan orang banyak pada suatu ketika. Karena itu dia dipilih.

Artinya, seseorang bisa terpilih bukan karena hebat dan tepat.

Celakanya, pendukungnya yang banyak, yang memenangkannya, akan terbagi dua, yaitu kelompok penyaksi yang tidak tahu menahu yang kelak bakal tahu, dan kelompok penghianat masyarakat yang memelihara kuwalat sejak awal. Memelihara murka Allah.

Oleh karena itu, selalulah kita kritis, amanah dan istikomah. Percaya kepada Allah saja, bukan percaya kepada kekuasaan sesaat yang serba salah. Sambil kita terus berdoa, semoga semua kepala daerah terpilih adalah orang-orang yang tepat. Yang dimuliakan di atas tanah Allah.

Seseorang tokoh terpilih tentu boleh, bahkan harus meyakini bahwa dia terpilih karena amanat kalimat langit yang harus membumi. Karena kalau ada yang bersilat lidah perkara hidup itu hanya di bumi, kita bisa meluruskan, oke, pohon memang wajib tumbuh di tanah, tetapi menjadi haram menanam pohon dan mengharap buahnya di ladang orang secara memaksa karena tidak diijinkan pemiliknya. Lalu dari mana datangnya pencerahan hidup itu? Tentu dari cahaya kehidupan.

Pengandaian yang lain. Ini juga penting buat para kepala daerah agar tidak memberi ijin lokalisasi pelacuran. Bukankah sudah diteriakkan oleh banyak ulama, jangan menyetubuhi mayat, apalagi dengan membongkar kain kafannya. Bukankah kita tahu, selain mayat yang akan dikubur ke dalam tanah, ada juga mayat yang berjalan-jalan? Yaitu orang hidup yang hatinya telah mati. Dia tertutup dari hidayah kebenaran dan kemuliaan. Maka jika ada seseorang menjadi pelacur dalam kondisi begini, lalu apakah yang menidurinya tidak sedang meniduri mayat? Bahkan sambil merusak kain kafannya.

Di mana titik matinya seorang pelacur yang secara jasmaniah masih hidup? Lihatlah, mereka masabodoh walaupun tanpa disengaja bisa berpeluang hamil dan anaknya akan lahir kacau, tanpa ayah bahkan tanpa cinta. Meskipun cuma sebatas berpeluang hamil, tetapi itu kode bahaya. Sampai tidak sedikit anaknya yang lahir dibuang di tempat sampah. Itu sebabnya saya pernah menulis Cerpen berjudul Bayi di surat kabar Merdeka sekitar tahun 1991.

Hati pelacur juga mematikan diri dari kemuliaan hukum suami-istri. Sebab baginya hubungan seks tidak butuh menikah, atau status suami-istri. Itu cuma urusan uang dan pelampiasan nafsu seks. Padahal banyak anak cucu manusia yang akhirnya hidup hina dan sengsara karena terjebak madu neraka ini.

Karena hubungan seks dengan pelacur komitmennya ada pada uang, maka banyak pelacur diperlakukan sewenang-wenang. Ini bunuh diri bagi kaum wanita. Pun bagi pelacur laki-laki. Pada saat yang sama, secara tidak langsung kita bisa menangkap, bahwa hidup model begini sudah pasti tidak akan mendapat restu dan cinta dari orangtua dan keluarga pihak si wanita pelacur dan pihak pria si pemakai.

Dan masih banyak lagi hal-hal yang menunjukkan kematian dunia pelacuran itu. Yang kalau diinsyafi akan membawa kita pada pemahaman yang lurus. Termasuk ketika ada yang iseng nanya saya di media sosial, "Bagaimana bisa manusia soleh yang taat beragama bersetubuh dengan sembilan wanita?" Saya jawab, "Mengatur perkawinan, bersuami istri dengan baik". Tentu maksud saya, karena itu jawaban yang dipaksa oleh pertanyaan, maka jangan fokus pada persoalan jumlah itu, karena hidup dengan satu istripun tidak mudah. Cukup pahami saja hidup dalam halalnya.

Pemahaman anti pelacuran juga harus kita bina dengan baik, secara dewasa dan cukup ilmunya. Karena banyak pemberitaan belakangan ini soal penggrebekan rumah warga yang asal-asalan, yang anti prikemanusiaan, dengan dalil anti maksiat anti perzinahan. Apa bisa kita bayangkan kemuliaannya, ketika seorang bupati terpilih justru ikut mendukung cara-cara penggrebekan yang salah? Apalagi kalau pake pilih kasih. Yang digrebek terurama di daerah-daerah yang sejak awal bersebrangan dukungan politiknya. Yang artinya, praktek perzinahan yang serius di daerah basis dukungannya malah dibiarkan aman.

Kita juga bisa melihat lingkaran kematian pada penyalahgunaan minuman keras dan narkoba. Tetapi kita tidak buta, bahwa alkohol diciptakan Allah dengan segenap khasiatnya, bahkan dalam upacara keagamaan bisa dimasukkan ke dalam kotak obat. Tetapi tidak untuk mengoplos minuman untuk mabuk-mabukan.

Korupsi yang mengelabuhi mata dan menipu kesejahteraan rakyat itu, juga datang dari malaikat kematian.

Pun dunia preman-premanan dan kriminal. Sesungguhnya itu dunia kematian. Dunia neraka. Menjauhkan kita dari surga kehidupan yang harmonis. Maka barang siapa, pejabat atau tokoh masyarakat yang malah hidup dan kekuasaannya dibekingi preman, apalah namanya? Kenapa tidak memilih dibekingi orang baik dan ulama?

Maka wajib percayalah kita kepada kalimat. Kepada kalam. Tetapi harus tahu cara bacanya. Sekali lagi, CARA BACANYA. Sebab kalam bukan sekadar kalimat asal-asalan. Kalau cuma kalimat biasa, tukang copet yang merasa berbuat halal pun merasa hidup dalam kalam. Dalam kalimat.

Untuk itu bagi orang baik yang terpilih. Bersiaplah mata, telinga, fikir dan hati kita mendengar pada suatu ketika, "Itu bukan kalimat. Sedang yang itu baru kalimat yang lurus".

Bersabarlah. Karena kita pun pada waktunya bisa berada di titik benar, tetapi sedang disalahkan, dihina, bahkan bisa sampai disiksa lahir batin. Tetapi kitalah yang sesungguhnya kalimat kebenaran di situ. Meskipun sang penista bisa memakai dalil yang sama.

Dalam urusan bineka tunggal ika, para kepala daerah terpilih dan para pendukungnya itu pun kita harapkan mestilah terjaga sebagai pluralis yang paham humanisme-universal. Yang paham prinsip hidup berjamaah. Ngerti posisi strategis Pancasila. Bukan dalam rangka merangkul seluruh yang berbeda, sampai-sampai yang salah dan merusak pun dirangkul. Atau sebaliknya. Karena filternya terlalu ketat, pihak yang baik-baik termasuk karyaciptanya malah dimasukkan ke dalam kelompok sesat yang mesti disingkirkan.

Jadikan kemenangan Pilkada sebagai kemenangan Allah yang maha cinta.

Salam jumat.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG