POLIGAMI DAN PEMILU
MULA PUISI
belum puisi
kalau
belum puisi
gak muisi
kalau
gak muisi
Kemayoran, 09082018
#puisipendekindonesia
------
Saya mulai menulis ini dari beberapa hari lalu, tapi sempat terpotong oleh beberapa tulisan yang segar-segar. Lagipula momennya memang akan lebih cocok buat tulisan ini kalau selesai malam Jumat, malam keramat, 09082018. Sekaligus malam terakhir pendaftaran Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden untuk Pilpres 2019. Tulisan ini saya selesaikan sehabis menulis puisi Satrio Piningit untuk dikirim ke penerbitan antologi puisi bersama. Menurut informasi yang saya peroleh, masa akhir pengiriman puisi 17 Agustus.
Begini. 26 Maret 2017, saya kan sudah memproklamasikan 'gerakan' MAAP (Melawan Arus Anti Poligami). Melalui tulisan pendek di media sosial. Meskipun saya sendiri, aktivisnya, tidak harus berpoligami. Dan juga harus membiarkan orang yang tidak suka poligami. Meskipun sampai 80% warga bangsa sekalipun. Yang penting jangan menyalahkan prinsip poligami yang sudah benar dan mulia. Yang ujung-ujungnya, akibat kebencian yang buta itu secara sistematis, moralis, dan secara tidak langsung hanya mengarah pada upaya menghina Rosulullah SAW dan bermaksud membuat namanya tidak dikenal lagi kebaikannnya. Atau Islam sebagai ajaran suci perlahan-lahan diharapkan tidak mencerahkan lagi. Seperti banyak klaim atas ajaran yang aus digerus zaman.
Apalagi saya adalah korban. Korban pemecatan ---meskipun dilabeli dipecat dengan hormat--- dari suatu radio karena pernah siaran dengan tema poligami. Menurut direktur yang memecat saya saat itu, "Padahal poligami tidak disukai oleh ibu-ibu".
Sebagai seorang Programmer/Kepala Siaran tentu saya pegang data pendengar dan lebih tahu. Saya kenal hasil survey pendengar. Dan itu aman. Tanpa itu saya beromong kosong dengan pemrograman saya.
Selain itu konon, ada LSM ibu-ibu yang sudah ngadu ke Komisi Penyiaran Indonesia, karena saya mengangkat sisipan tema keharmonisan pasangan suami istri (pasutri) di tengah acara musik. Sehingga hal itu membuat gerah sang direktur untuk memecat saya. Padahal tema ini masih satu garis, satu warna, satu pola dengan pemrograman yang saya buat. Bahwa harmonis itu mesti di awali dari lingkungan keluarga. Suami, istri dan anak. Tetapi untuk bicara pasutri, sewaktu-waktu kita pasti mengangkat tema keharmonisan pasutri, nyerempet-nyerempet urusan tempat tidurnya juga asal tdak vulgar, dan sesekali pasti akan ada pembicaraan halalnya poligami. Meskipun dari keduanya, tema keharmonisanlah yang pasti menonjol. Itu pencerahan saja.
Apalagi saya sejak remaja (SMA) adalah aktivis Saka Kencana, Satuan Karya Keluarga Berencana, Pramuka. Bahkan ketika aktif memimpin Remaja Mesjid, Karang Taruna dan mulai siaran di radio, pernah menang Lomba Pidato Pembangunan tingkat Kota, dengan tema, Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS). Sehingga saya tahu, apa yang harus dilakukan terhadap masyarakat. Tentu kalau di dunia radio harus sambil memahami undang-undang siaran.
Apa yang saya lakukan dalam kapasitas sebagai Programmer (sekaligus Kepala Siaran), semua sudah memenuhi ketaatan pada undang-undang siaran itu. Sehingga saya sangat kaget ketika direktur saya gerah. Padahal dia Ketua PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) Jawa Barat ketika itu. Mestinya cerdas. Pertanyaan saya ketika itu, apa dengan cara begitu pula dia akan mengarahkan dan mendidik para direktur radio-radio di Jawa Barat?
Dan bagi saya, kalaupun KPI dijadikan tempat mengadu masyarakat, itu normal. Bagus malah. Tapi tidak setiap aduan berbuntut persoalan. Karena bisa jadi materi yang diadukan tidak layak jadi materi pengaduan. Karena tidak ada bukti melanggar aturan sama sekali. Dan saya malah curiga, isu ada pengaduan ke KPI itu cuma bikin-bikinan saja.
Dan yang aneh, pemecatan itu bukan sikap berbaik hati kepada saya. Sebab saat itu saya dipanggil kerja di situ untuk kedua kalinya. Pada kali pertama, saya juga pernah diberhentikan mendadak. Tanpa alasan apapun. Cuma dengan kalimat, "Saya terpaksa bilang, nampaknya kerjasama kita tidak bisa diperpanjang". Tetapi saya curiga. Saat itu saya dipecat gara-gara 'sering' mengangkat informasi bertema, kegiatan PDI-Perjuangan. Baik di tingkat nasional maupun daerah. Ini serius! Tapi itupun sudah sesuai undang-undang siaran. Itu urusan jurnalstik biasa. Kecurigaan saya semata karena saya tidak punya kasus apapun, termasuk dalam hal administrasi keuangan. Tentu, dalam pemberitaan saya juga mengangkat informasi partai lain juga.
Saya fikir, pemanggilan keduakalinya itu adalah wujud barbaik hati. Rujuk. Ada kekeliruan pada pemberhentian pertama dulu. Nyatanya tidak demikian.
Sengaja saya uraikan karena ada yang bertanya kepada saya, antara kasus pemberhentian yang pertama dan pemecatan yang kedua. Mereka bertanya, pada pemecatan yang mana terjadinya kasus tema poligami itu? Ya saya jawab, pada peristiwa yang ke dua. Karena untuk peristiwa pemberhentian yang pertama, acara SPE (Suara Populer Ekspos) yang biasa muncul tiap satu jam sekali itu langsung hilang. Termasuk dua acara unggulan spesial saya, Apresiasi Seni Budaya dan Koes Fans Club.
Sekedar pengingat, acara Apresiasi Seni Budaya, bahkan Acara Koes Fans Club dan Nasyid/Qosidah memang selalu saya bawa ketika saya pindah radio. Itu spesialisasi saya. Fokus saya. Kalaupun di radio yang saya tinggalkan acara Koesplusan masih dijalankan, di radio baru saya ganti judul acaranya, dan saya barukan formulasinya.
Setidaknya saya halal bilang, dipecat dari kerja gara-gara siaran tema poligami itu 100% kisah nyata. Bukan mengada-ada.
Padahal saya sangat mafhum, di tengah masyarakat ada juga gerakan anti poligami yang sangat manis dan sangat memikat ibu-ibu, tetapi tujuannya untuk menjaatuhkan nama Nabi SAW, meruntuhkan kebesaran dan ajaran Islam yang mulia. Poligami cuma jadi pintu masuknya. Padahal saya meliihat, tidak buta, poligami itu hanya solusi bagi yang mampu menjalaninya dengan adil ---meskipun itu sebatas ihtiar hidup pada sedikit orang, bukan pilihan mudah bagi siapapun. Termasuk pasti tidak akan dilakukan oleh yang tidak mau atau yang tidak sanggup. Itu wajar. Bahkan saya pribadi belum pernah memiliki minat untuk berpoligami pada suatu saat kelak. Saya malah merasa, yang lebih asyik itu beristri satu tapi teman wanitanya sebanyak mungkin. Sehingga merasa satu Arjuna dari sorga di antara 7000 bidadari suci.
Saya kan laki-laki normal. Minimal berfoto di tengah para wanita, apalagi di tengah remaja dan ibu-ibu cantik, akan merasa sangat gagah sendiri, apalagi kalau bisa dipajang di media sosial. Iya kan?
Lalu berikutnya yang ini. Ini jujur. Ada kaitannya dengan poligami juga. Dalam Pilkada (Pilgub) Jawa Barat, 2017 lalu meskipun KTP saya DKI Jakarta, saya punya dukungan untuk daerah Jawa Barat. Karena dari kekas 4 SD sampai nikah dan punya anak, saya orang Jawa Barat. Pertama, sebagai pendukung "Jokowi Tetap Presiden" di Pilpres 2019 yad saya harus simpatik kepada calon dari PDI-Perjuangan. Partai utama dalam koalisinya. Kalau sampai menang, itu kado istimewa banget. Tapi saya juga punya dua jagoan yang sudah lebih dulu menonjol, untungnya dari kubu pendukung Jokowi juga. Yang bisa bikin hati adem. Yaitu pasangan Ridwan Kamil (walikota Bandung) dan calon wakil gubernurnya, dan pasangan Dedi Mulyadi (bupati Purwakarta) dengan calon gubernurnya.
Nah, ceritanya suatu waktu saya nonton kampanye terakhir atau debat terbuka terakhir melalui media TV nasional. Setelah mengikuti lontaran panjang seputar kampanye mereka, di situ saya masih fokus memiliki dua jago, dua kubu, Ridwan Kamil dan Dedi Mulyadi. Makin lama makin terlihat, pasangan Ridwan kamil lebih tenang dan lugas uraiannya. Bak menikmati kacang rebus yang gurih buat yang nonton. Tapi masih kompetitif. Sampai akhirnya Dedi Mulyadi berucap, "... saya harapkan untuk tidak berpoligami". Saya langsung kaget. Silahkan putar ulang videonya kalau ada. Bukan pada soal benar tidaknya ucapan itu. Bukan. Bukan itu. Saya bahkan masabodoh kalimat itu ditujukan kepada siapa. Tetapi sungguh tidak manis sikap anti poligami dimunculkan dalam debat calon gubernur itu. Ah, saya malah merasa dipecat juga oleh dua pihak saat itu. Pertama, pernah dipecat direktur saya gara-gara siaran poligami. Kedua, secara tidak lamgsung seperti dipecat secara goib oleh Dedi Mulyadi. Sampai saya gak enak hati depan TV.
Ini suara hati spontan saya, "Mungkin Dedi Mulyadi penyelamat kaum wanita, sedangkan saya mah apa atuh, jauh dari itu". Padahal saya itu sangat dekat dengan Dedi Mulyadi, meskipun kalau aktivis seni lain dekatnya 1 meter, saya 7 meteran. Setidaknya beberapa kali berada di atas panggung yang sama. Setidaknya menurut logika badan di mata masyarakat, bukan logika hati.
Saya terdiam sambil bergumam, "Ridwan Kamil bagus banget".
Lalu setelah Pilkada berakhir untuk kemenangan pasangan Ridwan Kamil, saya dengar pembelaan Dedi Mulyadi di TV. Dia merasa gagal melaju juara, bahkan gagal menempati posisi suara kedua gara-gara hastag "#2019GantiPresiden" yang membuat dukungan padanya tidak maksimal. Ya, tentu Kang Dedi tidak akan berpendapat, gara-gara kampanye anti poligami dia kalah. Bahkan saya pun tidak sejauh itu berprasangka. Hmm.
Bagian Pilkada Jabar ini saya munculkan karena ada kaitannya dengan persoalan poligami. Itu saja.
Kembali ke soal MAAP. Melawan Arus Anti Poligami. Memang di bulan Maret 2017 saya sebut sebagai sikap saya atas upaya pembodohan dengan isu poligami. Tapi singkatan MAAP saya buat biar terdengar seru bahkan sedikit lucu, tidak sangar. Padahal pada saat yang sama saya juga mendukung kalau ada masyarakat yang tidak ingin poligami karena berbagai alasan yang baik. Bahkan di dalam buku Syair Wangi yang saya terbitkan tahun 2009 (cannadrama, 2009), saya sudah menulis, poligami pun mendatangkan dosa, jika salah niat dan salah menjalaninya.
Saya adalah korban 'kebiadaban sosial'. Atas dasar poligami tidak disukai masyarakat, saya harus berhenti kerja seketika. Yang mengakibatkan anak-anak saya terputus dari rejeki kerja saya. Meskipun saya biasa, secara profesional kalau keluar dari radio yang satu pindah ke radio lain. Tetapi baru pada kali itu saya 'berkasus'. Sebab perpindahan yang lain nornal-normal saja. Itu sangat menyakitkan. Pasti akan terkenang seumur hidup. Bahkan itu bersifat universal, kesaksian bagi siapapun. Termasuk ketika saya 'dikritik keras' dengan sanksi pemberhentian setelah bikin sisipan acara on air dengan tema keharmonisan pasutri, bersamaan dengan sanksi tema poligami itu, padahal tetap mengacu pada undang-undang siaran dan tidak vulgar, itu adalah simbul keangkuhan sepihak. Sampai saya menyesalkan, "Bagaimana kalau di antara mereka ada yang bercerai, berantakan keluarganya, ada yang diberhentikan kerja tiba-tiba, bahkan ada yang berpoligami secara kacau, atau bangkrut radionya karena tidak ngerti undang-undang siaran dan gak ngerti rasa-kemanusiaan, dlsb?" Justru tema-tema saya yang besar manfaatnya. Para malaikat Allah saksinya!
Salahsatu pintu anti poligami juga bisa menaiki penokohan Kartini, tokoh emansipasi itu. Yang justru akan merugikan nama baik Kartini sendiri pada waktunya. Ini belum pernah saya bahas di radio. Padahal PR kita 'sederhana yang sangat serius', poligami memang bukan solusi samasekali buat yang menemui poligami adalah masalah bagi dirinya. Tetapi poligami adalah solusi, bagi pihak yang menemui itu adalah solusi yang serius.
Saya hari ini harus mulai menguntit dengan program MAAP (Melawan Arus Anti Poligami) juga, apakah dalam Pileg dan Pilpres besok akan ada yang terpilih gara-gara jualan kampanye, anti poligami?
Terakhir, kepada pihak tertentu siapa saja, saya mau bertanya, "Sampai halaman berapa anda belajar tadi malam? Sampai ke halaman cahaya? Atau malah ketiban lampu belajar karena kabelnya ketarik dan lampunya pecah di lantai? Lalu dibikin sibuk beres-beres, sampai pagi harinya nguap melulu?"
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar