TENTARA VERSI PUISI, VERSI BELA NEGARA?
KEPASTIAN PUISI
menderap puisi
melangkah pasti
menderu maju
Kemayoran, 06 08 2018
#puisipendekindonesia
------
Saya senang ada informasi, anak dari tukang bubur keliling yang penghasilannya cuma 50ribu sehari, bisa jadi tentara. Bahkan saya komentari, "Subhanallah. Mantap jiwa". Itu komentar tulus dari saya yang sejak kecil cuma punya satu cita-cita, jadi tentara. Itu juga komentar saya selaku pengagum Jendral Soedirman dari bayi. Meskipun hobinya menggambar, membaca dan menulis.
Jangan heran kalau kenangan saya umur kelas tiga SD adalah ditandu malam-malam di bawah bulan pakai sarung oleh teman sekampung, pura-puranya Soedirman dalam gerilya.
Dan hasilnya saya jadi 'tentara versi bela negara', terutama melalui sastra dan senibudaya pada umumnya. Bangga menjadi Orang Radio Indonesia dan jurnalis. Apalagi memimpin radio itu tanggungjawab jangkauan siarannya minimal 2-3 kabupaten/kota. Itu baru praktisnya, belum pengaruh jaringan medianya. Jadi saya tidak pernah merasa gagal, bersama orang-orang di Indonesia dan di seluruh muka bumi yang tidak pernah merasa gagal.
Bahkan waktu saya jadi guru sukarelawan di kelas VI SD dan walikelas di satu SMP Swasta dulu merangkap pembina pramuka, maklum tamatan Sekolah Pendidikan Guru, saya tidak pernah merasa gagal dengan mendapat honor 15-20ribu sebulan. Meskipun akhirnya terpaksa lompat pagar ke radio.
Sebut saja selama ini saya adalah katagori Jendral Soedirman yang profesional biasa siaran di radio, baca puisi, melatih teater, dan melakukan liputan atau wawancara. Sehingga kalau teorinya dibolak-balik, saya malah mengritik, mengapa kalau ada tentara atau polisi berbakat di bidang seni mesti meninggalkan profesinya? Bukankah tentara juga butuh 'tukang seni' di situ untuk segala keperluan? Begitupun yang bukan tentara, apakah sebagai aktor, penyanyi, pelukis, sastrawan, bahkan pelawak tidak bisa berfungsi sebagai 'tentara versi bela negara?' Apa mesti memaksakan diri ngelamar jadi tentara dengan meninggalkan kesenimanannya?
Maka demi mendengar ada anak tukang bubur jadi tentara, saya ikut bangga bukan main. Sebab saya pun bisa merasakan aura semangat bela negara itu secara pribadi. Tidak sekadar menurut wacana umum bahwa tentara itu terhormat.
Tapi kadang-kadang saya suka mikir sesuatu. Ini prinsip. Ini bahasa sosial-kemasyarakatan biasa sesungguhnya. Bukan hal pelik untuk durenungkan. Betapa tidak? Bukankah ketika kita menyebut, betapa hebat anak tukang bubur bisa jadi tentara, maka pada saat yang sama kita sedang mengucapkan, dia CUMA anak SEORANG TUKANG BUBUR.
Pendeknya, itu kalimat yang menyebut, siapalah, siapa sih seorang tukang bubur? Apalagi kalau kita mendengar secara langsung dari yang bersangkutan, semodel berkalimat begini, "Benar, saya cuma anak seorang tukang bubur". Dia menggunakan kata "cuma" untuk memberi predikat pada ayahnya yang tukang bubur. Tapi untung saya tertolong oleh narasi pada bagian dari pemberitaan itu yang bermaksud menguraikan sebuah kesaksian dari Sang Ayah yang merasa sangat bangga dan sangat terhormat, anaknya jadi tentara. Itu artinya justru sang ayah sendiri yang bermaksud menyebut, "Meskipun saya cuma seorang tukang bubur, alhamdulillah anak saya bisa masuk tentara".
Kenapa hal ini saya kemukakan? Sebab ada prinsip sosial yang lain. Bagaimana kalau ada seorang penyair yang berprofesi sebagai tukang bubur, tukang jualan perabotan rumah tangga, tukang benerin AC perumahan, jualan tanaman hias, jualan besi bekas, atau kerja di bengkel atau toko, dll? Apakah mereka duduk di kursi profesi yang keliru? Sehingga baru akan disebut berhasil setelah melepaskan profesi hariannya itu? Padahal dengan sangat bangga dan hormat anaknya selalu menyebut, "Ayah saya seorang penyair".
Ternyata pada suatu waktu yang sama masyarakat kita bisa terbiasa meletakkan posisi satu profesi tertentu ---semisal tukang bubur itu--- di tempat yang berkesan berbeda. Tukang bubur bagi seseorang adalah profesi yang 'lemah' kalau tdak disebut rendah. Sementara bagi pihak lain profesi tukang bubur justru menjadi kenyataan kekuatan sosial terbesarnya. Titik pesan peradabannya. Meskipun penghasilannya bisa nyaris sama, 50-100ribu sehari.
Atau dalam kearifan sosial kita, si tukang bubur itu hanya ingin membuat satu pernyataan yang kuat, "Bela negara, apalagi melalui ketentaraan, adalah kebanggaan dan hargadiri keluarga, kebanggaan negara, dan kebanggaan siapapun". Sehingga sangat wajar ia bangga anaknya bisa masuk tentara.
Lalu khusus kepada 'penyair jadi', apakah anda bangga melakukan belanegara versi puisi?
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan salam sejahtera selalu kepada para penyair yang aktif menulis dan baca puisi di berbagai media, tempat dan kegiatan sosial, tetapi dengan bangga dan penuh tanggungjawab juga berprofesi sebagai petani, nelayan, buruh, karyawan kantor, supir taksi, pedagang, jurnalis, guru, perawat, polisi, tentara, dll.
Khusus di Indonesia, para penyair mesti tahu, bahwa Hari Bela Negara adalah 19 Desember. Ditandai dengan pengumuman Belanda pada Agresi Militer II, 19 Desember 1948 yang menyebut bahwa Negara Indonesia (NKRI) sudah tidak ada. Tetapi nyatanya tetap jaya-sentausa dalam lindungan Allah YME hingga hari ini. Bahkan karena pada waktu itu ditandai dengan momen Presiden Soekarno menyerahkan mandat penuh untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI di Padang, Sumatra Barat, maka secara teori dan prinsip hal itu adalah penegasan, bahwa bela negara tidak cuma milik Jakarta, tapi milik seluruh daerah (yang meliputi seluruh potensi daerahnya, termasuk sastra dan senibudaya lokalnya) di Indonesia.
Ini catatan khusus dari bulan kemerdekaan Indonesia, Agustus, 2018
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar