APA INDONESIA PERNAH LUCU?
YANG DIMINTA YANG DITERIMA
seekor burung terbang
diambilnya jadi sampul puisi
supaya tidak jatuh dari langit dan mati
lalu oleh puisi
pelukisnya ditempel samping matahari
katanya, supaya tidak jatuh dan mati di bumi
Kemayoran, 05092018
#puisipendekindonesia
------
Sudah berulang kali saya koar-koar, bahwa hidup di muka bumi, juga di Indonesia ini memang merdeka. Bebas apa saja. Asal lurus-lurus saja. Baik-baik saja. Gak bikin peluang kecelakaan sosial. Termasuk ketika ada seniman atau terkhusus penyair yang memilih netral dalam geliat politik di negrinya, tetapi wacana politiknya jelas-jelas mengarah kepada suatu sasaran tertentu. Ketika ada juga yang berani langsung menjadi aktivis kubu politik tertentu, atau karena dia lumayan punya figuritas dan popularitas maka pilihan politiknya selalu terbaca orang banyak, bahkan berpengaruh besar. Dan ketika ada juga beberapa pihak yang malah gagap, hanya membenarkan salahsatu dari keduanya itu, atau malah langsung jadi hakim, hanya membenarkan seniman atau penyair yang netral, yang disebut-sebutnya berada di atas semua golongan. Seakan mereka lupa, bahwa seorang prnyair yang lurus dan istikomah, meskipun kaosnya bergambar partai tertentu atau koalisi tertentu, secara universal dia harus tetap di atas semua golongan.
Saya sendiri sering blak-blakan saja ngomong partai politik yang pernah saya dukung sepanjang hayat. Bukan maksud sombong apalagi pencitraan yang gak jelas, sebab saya kan cuma orang kecil, orang kampung yang ujung-ujungnya cuma nyoblos di TPS. Sampai saya memperkenalkan istilah dan wacana besar, KEUTAMAAN POLITIK TPS. Tidak lebih tidak kurang. Tapi setidaknya lumayan buat argumentasi seputar kesenimanan dan kepenyairan. Sebab di dunia itu saya merasa punya masyarakat yang tidak sedikit jumlahnya. Apalagi selama puluhan tahun jadi orang radio, pendengar saya banyak dan dari kalangan mana saja. Mereka pasti sebagian sudah tahu, sebagian lagi masih punya rasa ingin tahu terhadap jalan fikiran politik saya. Penasaran.
Bagi saya, sejak remaja dulu sikap politik saya tidak harus diukur sebagai proses untuk jadi pengurus partai atau membaca peluang 'nyaleg'. Atau pragmatis, meraba keuntungan yang gak jelas dengan mau memberi dikungan-dukungan. Sebab saya suka berposisi bertolak belakang dari kesadaran politik yang lebih marak. Biar saja. Seperti contohnya ketika saya punya kartu anggota PPP di era Orde Baru, lalu jadi saksi TPS dari partai berlambang bintang itu di kampung. Apa misi saya? Tentu hanya satu kalimat, cuma membenarkan kalau mayoritas muslim Indonesia menginginkan presidennya seorang muslim, tanpa harus menyalahkan calon presiden dari agama lain kalau ada. Bahkan di depan tablig akbar Kyai Syukron Makmun saya sepakat, "kalau gak ada calon lain, Presiden Soeharto terpilih lagi pun gak masalah", karena tidak akan pernah mengurangi kritik tajam saya atas kondisi Orde Baru. Karena saya punya perasaan dan melihat fakta-fakta. Dan saya sangat merasakan, 100% merasakan, ada suasana tertekan dalam membawa kalimat saya itu. Apa sebab? Karena prinsip 'gak apa-apa Pak Harto terpilih lagi kalau tidak ada calon lain' itu menunjukkan peluang Pak Harto bisa disaingi oleh sesama muslim lain. Semacam ngomporin, saingin kalo berani! Sementara iklim politik hanya mengarah pada kemenangan mutlak tanpa boleh ada pesaing. Maka secara politik jadilah saya dkk anak tiri ketika itu. Sudah pasti teman yang paling seperasaan adalah PDI. Meskipun famili saya banyak yang Golkar, termasuk bapak saya sendiri yang dulunya Masyumi itu. Sebab di Golkar Orde Baru itu ada orang-orang yang dewasa dan tenang juga, selain yang over acting.
Sebagai orang yang tidak anti-antian, kecuali pada segala keburukan saja sebab saya bukan ular, sebelum era reformasi saya pun sempat milih Golkar. Dan itu cara rakyat yang hebat, bukan khianat. Lalu memasuki Orde Reformasi saya ikut jadi penggembira dalam kampanye PAN. Selanjutnya sempat diketahui orang, tidak bisa menutupi rahasia, pernah ngajak nyoblos PDI-P dan PKS. Apa salahnya dengan itu?
Bagi wong cilik, selain memilih (mencoblos) partai karena visi-misi yang sudah dikampanyekan dan sudah dikenali, sebenarnya bisa untuk 'sambil ngedumel' supaya didengar oleh orang-orang partai, caleg, cabup, cagub dan capresnya. Apalagi menurut teorinya, paling efektif itu kalau ada tokoh yang pandai bikin pencitraan karena terinspirasi beberapa anggota masyarakat tertentu. Dan diam-diam bagi saya itu selalu menarik, meskipun harus ada interpretasi atas sikap-sikap saya. Apapun. Ini penting. Seperti ketika saya diketahui sangat intensif mengamati kegiatan senibudaya, lalu bisa ditafsirkan oleh siapapun bakal suka kepada kepala daerah-kepala daerah yang banyak berkesenian. Padahal yang ada di benak saya, fokus dan marak berkesenian dengan paradigma yang salah justru merusak dan tidak menyenangkan. Bisa disebut politik kesenian yang jahat, meskipun berlindung pada anggapan atas adab-adab. Bukan pembangunan samasekali.
Ada juga yang seperti nguji-nguji, datang untuk ngobrol dengan persangkaan yang sudah kuat. Analoginya begini, kalau saya sedang jalan kaki menuju tempat kerja, lumayan sering saya menyingkirkan batu atau paku dari trotoar atau pinggir jalan, bahkan beberapa kali membenarkan posisi keranjang sampah yang rubuh, sebab itu akan mengganggu para pejalan kaki. Rasanya gatel kalau tidak melakukan itu. Sampai saya berfikir, kalau ada orang yang berusaha nenjebak, mereka pasti cenderung berfikir bahwa saya akan menyingkirkannya kalau mereka menyimpan beberapa paku di pinggir jalan. Apalagi kalau sampai disiapkan kamera segala. Mungkin saya terlalu dianggap menginspirasi. Padahal saya sendiri bisa terlalu yakin, di hari itu kameranya bisa gagal total mengambil gambar. Sebab ada dua rahasia besar, pertama, sesungguhnya saya hanya bisa menyingkirkan paku dan batu itu kalau kebetulan saya melihatnya. Itu tidak terlalu istimewa kan? Dan kedua, dari beberapa pengalaman, saya pernah minta maaf di dalam hati karena melewati batu dan paku begitu saja, sebab saya sedang buru-buru untuk suatu urusan yang sangat penting. Itu persis seperti ketika saya merasa gak perlu nonton beberapa panggung Koesplus meskipun saya penggemar lagu-lagu Koesplus, Ketua Koes Fans Club dan pembawa acara Koesplusan di radio, sebab saya harus menontonnya dengan maksud dan keadaan tertentu saja. "Jadi apa yang difikirkan secara pasti tentang saya?" ----- "Apa pula yang difikirkan tentang dukungan saya kepada Jokowi?" Pendeknya, selalu ada yang berkepastian salah. Bahkan bisa sangat banyak. Saya lurus-lurus saja.
Oke. Lanjut. Kalaupun saya tidak menyebut dan memilih partai lain selain yang sudah saya sebut, memang begitulah jatah kebetulannya. Ada maksud-maksudnya tentu saja. Untuk itu buat siapa saja yang pernah loyal pada partai lain gak perlu benci orang-orang seperti saya. Gak ada gunanya. Gak perlu juga memaksa saya, "Penyair hebat itu netral!"
Dan alhamdulillah, selama saya bersikap merdeka seperti itu, secara independen dan percaya diri saya sesekali masih nulis puisi dan cerpen di koran, masih maniak teriak-teriak baca puisi di panggung, dan masih sentausa on air sebagai penyiar atau jurnalis radio. Lalu kesimpulan apa kira-kira yang pantas kita berikan kepada sikap para seniman, terutama penyair, dalam menyikapi proses politik di negri ini? Selamat berfikir serius saja sampai lulus.
Bahkan secara khusus saya sangat vokal bicara dan diskusi di banyak tempat mengenai POLITIK SENIBUDAYA (KESENIAN), POLITIK KEBUDAYAAN, bahkan POLITIK TEATER. Maksudnya di komunitas-komunitas, selain siaran Apresiasi Seni di beberapa radio.
Politik kesenian di dalam ranah politik umumnya, selalu butuh kekuasaan. Tetapi pengaruh baik apapun dari seorang seniman adalah juga kekuasaan besar itu. Bahkan tidak pernah akan mati meskipun suatu partai politik atau koalisi yang didukungnya mengalami kekalahan pada suatu tahun politik tertentu. Cuma menunggu waktu. Bahkan khusus pada penyair, tidak cuma bisa menggetarkan melalui coretan di dinding gua purba, atau tulisan darah pada dinding penjara, hari ini pun bisa menggelombang dari dinding media sosial, dunia internet, dari layar komputer di rumah-rumah, dan di telapak tangan yang terbuka kepada dunia. Tergantung SIAPA MENULIS APA? Sebab seorang penyair adalah masyarakat manusia.
Selanjutnya saya mau bilang, meskipun hari ini saya pastikan saya mendukung capres petahana, Jokowi untuk presiden 2019-2024, bukan berarti sedang memandulkan visi-misi kesenimanan dan kepenyairan saya. Bukankah demikian kita semestinya?
Cara mengupasnya ringan saja. Dari berbagai pertimbangan, Jokowi memang masih yang paling cocok. Ini jelas sikap halal dan konstitusional. Tidak menghianati hati nurani rakyat. Tidak sama sekali.
Kalau soal capaian pembangunan di segala bidang, saya perlu tegaskan, saya punya logika bahagia dan logika kecewa. Di mana letak kecewanya? Tentu, ketika koalisi pemenang pemilu punya target-target tertentu, saya jelas tidak mau dimasukkan ke dalam kotak-kotak capaian itu. Pasti saya bilang, harus bisa lebih dari target-target yang dijanjikan itu, kalau tidak berhasil saya pasti akan kecewa berat. Itu sebabnya sikap kritis yang konstruktif itu utama. Tetapi ada kalanya untuk sesuatu yang secara angka-angka belum tercapai, sungguh itu bisa saja mendatangkan alasan yang masuk akal. Yang masih bisa diterima dalam waktu terbatas. Bahkan secara matematis sesugguhnya bisa dianggap telah mendatangkan pula angka-angka lain yang maju. Ibarat tertahan sementara dalam suatu kondisi untuk tidak menjadi lebih buruk. Dan ternyata pada naptunya, 'tidak menjadi lebih buruk' adalah angka kualitatif, jawaban atas doa-doa pejuang yang istikomah.
Maka jangan heran kalau saya sangat antuaias menulis dua puisi untuk buku antologi puisi, Indonesia Lucu (Penebar Media Pustaka-Yogyakarta, 2018). Ini justru salahsatu kesempatan buat saya untuk menunjukkan sikap kritis terhadap kerja pemerintahan serta kondisi masyarakat yang patut dikritisi. Untuk menunjukkan bahwa saya juga punya marah yang besar, tidak cuma WS. Rendra. Pada saat yang sama punya dukungan yang besar juga terhadap sukses pembangunannya.
Jangan dikira para pendukung petahana, selalu bukan orang-orang kritis. Itu jelas salah besar. Apalagi kritikan terhadap penguasa atau pemerintah dan terhadap kebiasaan masyarakat, bisa terus dilemparkan secara mendasar dan tanpa terputus kepada seluruh penguasa dan masyarakat sejak era Orde Lama hingga hari ini. Inilah yang membuat kita menemui INDONESIA LUCU. Saya yakin, orang yang loyal seperti penyair Chairil Anwar pun pasti punya kritik konstruktif terhadap Bung Karno.
Nah selanjutnya saya akan perlihatkan dua puisi yang telah saya tulis untuk buku Antologi Puisi Indonesia Lucu itu. Setidaknya sebagai contoh dalam ulasan singkat ini. Selamat membaca Indonesia.
Inilah dua puisi saya, Sajak Di Atas Meja, dan Ternyata Kita Butuh.
SAJAK DI ATAS MEJA
aku lihat dia
ketawa Indonesia
pecah
airmata dangdutnya
sampai ketahuan juga
sesungguhnya dia
sedang tidak bisa ketawa
aku merasakan
goyangan pinggul luka-luka
merobek panggung
menjadi dua bahkan tiga
antara sakit hati
dan sesungguhnya menari
sajak di atas meja dibicarakan
kaki di bawah meja digigit ular
jalan kesejahteraan dipertaruhkan
disebut proses kalau kesasar-sasar
Kemayoran, 06112017
-----
TERNYATA KITA BUTUH
ternyata kita butuh kecerdasan
dan kedewasaan sosial
kata tikus yang mencuri kelapa
dan ular yang meninggalkan bisa pada korbannya
ternyata kita butuh kecerdasan
dan kedewasaan ekonomi
kata beruang yang bertapa
depan perapian sampai mati kelaparan
kata harimau yang menghabiskan
sisa makan siangnya
di tengah kerabatnya
yang juga mati kelaparan
ternyata kita butuh kecerdasan
dan kedewasaan beragama
kata kadal gurun
yang memahami suhu panas
tetapi lupa pemangsa dan janji Tuhannya
kata srigala malam
yang melupakan kasih sayang bulan
ternyata kita butuh kecerdasan
dan kedewasaan berpendidikan
kata induk elang
yang menipu anak itik
sebelum memangsanya
ternyata kita butuh kecerdasan
dan kedewasaan bernegara dan berbangsa
kata sekelompok burung jalak
dalam suatu perjalanan cinta
yang melupakan nasib kelompok
dan nasib setiap perut anggotanya
sementara paruhnya bernyanyi-nyanyi saja
tentang keadilan hukum dalam berbangsa
ternyata kita butuh kecerdasan
dan kedewasaan hidup bersama alam
kata anjing lewat
yang mengencingi tembok-tembok
menimbulkan bau tak sedap
kata seekor macan
yang merusak sarang pipit
dengan ujung cakarnya
kata sekawanan gajah
yang menginjak-injak kebun sayuran
kata gergaji mesin
yang menumbangkan pohon-pohon
ternyata kita butuh kecerdasan dan kedewasan berbahasa
kata seekor kelinci yang sangat lucu
yang tidak mau mengerti
maksud setiap kalimat
dalam kitab suci
kata seekor ayam
yang bulunya dipakai
mencoret-coret sajak
kata kuntilanak
yang diatas pohon
entah menyanyi,
menangis atau menghina
Kemayoran, 07112017
------
Sangat jelas dua puisi itu sarat kritik tajam. Kepada kenyataan selama ini sejak masa silam, atau kepada kondisi terakhir. Dan sambil mengritik sepedas itu, saya tetap dukung Jokowi. Sebab dia telah dan terus berbuat yang terbaik, dan insa Allah tetap menjanjikan peluang masa depan yang jauh lebih baik. Pengecualiannya cuma kalau di kemudian hari dia bergerak ditinggalkan oleh rakyatnya.
Karenanya kita akan selalu sedih gila, ketika menyaksikan banyak pejabat sekelas mentri dan gubernur, yang sudah kadung dihormat-hormat lahir batin, serta para anggota dewan yang terhormat, akhirnya ketahuan korupsi tanpa risih. Juga melakukan berbagai tindakan melawan hukum lainnya. Mungkin karena merasa paling punya negara.
Dua puisi saya itu, seperti halnya puisi penyair-penyair lain yang konsisten, jelas-jelas tidak disebabkan oleh pengaruh suatu partai atau koalisi tertentu. Itu telanjang bulat di tengah stadiun.
Dengan begitu kita terus bersuara, lembut atau keras, sebab pengaruh baiknya adalah penguasa dunia.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar