CATATAN JUMAT SPIDERMAN
HAL SPIRITUALITAS
garis miring
tegak
Kemayoran, 2010-2018
#puisipendekindonesia
------
Waktu awal berumah tangga, tepatnya memasuki umur 25 tahun di Bandung, setiap kali lewat mesjid kalau tidak sedang buru-buru saya usahakn untuk tenang sejenak. Saya bertanya kepada hati dan kepada angin yang berhembus sambil menatap ubin mesjid yang mengkilat, teduh dan pasti sejuk itu. "Apakah saya akan jadi Ulama, Kyai, Ustad dan semacamnya?"
Jawabannya sederhana. Di radio saya siaran multi-musik, termasuk dangdutan. Juga sering jadi MC multi-event, termasuk panggung dangdutan. Meskipun saya juga pemandu acara Dakwah Islam di radio menemani beberapa ustad dan sering jadi MC Tablig Akbar. Maka Ustad dan Kyai mana yang pernah siaran multi-musik dan ngemsi dangdutan dengan artis yang cantik dan seksi? Siapa bisa jawab?
Maka setelah kesadaran itu muncul, saya justru semakin ingin terus membolak-balik halaman Al-Qur'an, untuk memahami sepenuhnya, seluruh rahasia kalimat Allah. Sekaligus mempertanyakan, "Okelah saya tidak perlu memaksakan diri naik mimbar kutbah, tidak perlu jadi imam sholat di mesjid, tetapi secara kefasihan ilmu Islam, bisa diterimakah saya pada stndar atau derajat keulamaan itu?" Atau saya sudah kadung diludahi sebagai najis?
Pada saat yang sama, di depan para khotib atau penceramah sering kali saya puas. Bukan merasa diceramahi tetapi merasa mereka mewakili kalimat saya. Tetapi tidak jarang saya tertunduk lesu, sedih, dan berkata lirih, "Kok begitu pahamnya? Itu kurang arif, bahkan tidak tepat!" Dan saya yakin malaikat suci sedang berbisik, "Kamu benar". Ada parameter untuk melihatnya sebab bukan cuma soal beda pendapat.
Untungnya saya sejak umur SMA (berseragam putih abu) sudah aktif di Remaja Mesjid. Bahkan di mesjid Sukabumi itu pula untuk pertama kalinya saya dkk merintis berdirinya Remaja Mesjid. Dengan begitu saya sangat merasakan dinding dan mihrab mesjid tidak pernah mengharamkan saya. Rasa-rasanya tubuh saya tidak pernah membuat ruangan mesjid menjadi bau. Bahkan memgakibatkan wangi. Alhamdulillah. Dan geliat saya di situ bukan karena saya simpatisan PPP ketika itu, tetapi karena saya muslim. Sebab di dalam remaja mesjid itu multi-partai.
Dan lucu indahnya, sejak saat itu setiap kali saya datang ke suatu pesantren untuk suatu keperluan, atau menghadiri tablig akbar, rasanya seperti banyak wanita berjilbab di situ yang 'menginginkan' saya. Sampai saya fikir, mantap sekali ini rasa normal.
Kegiatan Remaja Mesjid yang paling standar itu adalah mengadakan pengajian rutin baik mingguan, dua mingguan, atau bulanan dengan mendatangkan narasumber/ustad, mengadakan diskusi Islam dengan seluruh anggota, mampu menyelenggarakan acara-acara khusus dalam rangka menyambut hari-hari besar Islam, dan melakukan berbagai kegiatan sosial yang Islami, termasuk kerja bakti bersih-bersih lingkungan atau berangkat rombongan menghadiri tablig akbar di mana-mana. Itu standar umum. Tidak ketinggalan, ini bersifat khusus, kalau ada kelompok qosidah atau nasyid dari suatu Remaja Mesjid, kita harus mendampinginya melalui proses latihan hingga pentas di mana-mana.
Itulah yang sanggup saya lakukan dengan nyaman akhirnya. Apalagi sesekali saya naik panggung baca puisi dan menentaskan teater. Maka otomatis masyarakat sekeliling langsung tahu, ketua Remaja Mesjid atau Pembina Remaja Mesjidnya seorang seniman. Itu pintu masuknya. Ruang penerimaan masyarakat yang terbuka di situ.
Kenangan mengawali kegiatan Remaja Mesjid sejak SMA itulah yang di kemudian hari, setelah menikah menentramkan hati saya. Selalu ingin menemani setiap remaja mesjid di mana-mana, tetapi tidak apa-apa berposisi sebagai BUKAN USTAD, BUKAN KYAI, BUKAN ULAMA. Tidak perlu mengaku-ngaku. Kasihan para remaja itu kalau suatu saat saya jadi MC musik, atau jadi juri tari dari sisi entertain. Kasihan. Bagaimana mungkin mereka dibuat bisik-bisik, "Ustad kita sedang memandangi rok mini dengan seksama dan dalam tempo secukupnya".
Tapi masih ada yang menyelinap di hati kecil terdalam. Tahukah mereka bahwa sampai di titik ini saya telah melakukan semuanya dengan kesadaran dan kesaksian? Bukankah saya harus hatam Kitab Suci juga meskipun sekali lagi, gak perlu dipanggil Ustad, Kyai, Ulama, dst.
Kalau saya diisukan atau difitnah lebih tertarik kepada uang dan dunia daripada terpanggil dakwah, saya malah berfikir untuk penyelamatan-penyelamatan. Bagaimana mungkin berjuta-juta santri Sekolah Islam atau aktivis Mesjid Kampus harus jadi ustad semua? Lalu kalau ada yang jadi penari, bintang film, penyanyi dangdut dll dianggap terputus dari hidayah illahi? Meskipun sialnya di negri kita, banyak juga yang gak mau memulainya dengan paham Islam ketika memasuki profesi apapun, apalagi penghibur. Semata-mata hanya dengan merasa, dunia dakwah bukanlah dunianya. Bukan bakatnya. Sehingga seolah-olah menjadi MC dangdutan di tengah artis yang cantik dan seksi mustahil bisa dilakukan oleh seseorang yang ngerti agama.
Bahkan waktu saya jadi MC acara Koesplusan tahun 2000-an, penontonya sebagian ibu-ibu cantik yang sebagian berjilbab gaul. Maklum mereka sedang bernostalgia. Mengenang masa mudanya dulu.
Di era reformasi, ketika kebetulan saya pernah ada di dalam PKS misalnya, salahsatunya saya cuma mau bilang, terutama melalui media sosial yang ruang publiknya lebih luas, "Ini bisa kau lihat, MC dangdutan itu ada di sini". Selesai perkara! Saya gak perlu neko-neko mikirin kursi pengurus partai, kursi DPR atau nyalon bupati.
Sebut saja tulisan ini adalah ruang berbagi. Semoga bermanfaat. Maka buat siapapun yang sudah ngaji Islam secara serius. Mendalam. Hatam Al-Qur'an. Membongkar-bongkar tafsir secara teliti dan kusyu. Ketika merasa panggilan proses kreatif kita ternyata bukan di mimbar dakwah, tetaplah berjiwa Kyai, berjiwa Ulama, meskipun di tempat-tempat yang disangka oleh sebagian orang jauh dari itu. Tetap istikomah. Sebab Allah tidak buta. Lalu kalau ada waktu leluasa, jangan tinggalkan berperan aktif di Remaja/Pemuda Mesjid. Bahkan kalau di suatu mesjid belum ada Remaja Mesjidnya, kita bisa berinisiatif membentuknya. Itu akan menjadi pancang sosial yang baik asalkan bergerak terarah ke titik rahmatan lil alamin.
Di Remaja/Pemuda mesjid, siapapun bisa berperan sesuai dengan usia dan kondisinya. Kalau masih seusia dengan seluruh anggota, atau sedikit lebih atas sebagai kakak mereka, kita bisa jadi anggota, pengurus tetap atau jadi ketuanya. Tetapi kalau kita merasa sudah mulai tua, kita bisa jadi pembina mereka. Bahkan kita bisa mendekati mereka dengan potensi khusus yang kita miliki. Orientasinya jelas, menghidupkan Remaja Mesjid di kampung kita agar selalu eksis dan membawa nama baik mesjid kita.
Saya mungkin memiliki keuntungan melebihi orang lain dalam hal tertentu ketika menjadi orang radio. Subhanallah. Karena saya sering menjadi pembawa acara menemani para ustad di radio, dan sering jadi MC pengajian-pengajian, maka Remaja Mesjid di manapun akan sangat mudah menerima saya. Atau untuk suatu rencana pembentukan Remaja Mesjid, mereka senang kalau saya yang memulai.
Memasuki usia 40 saya berani bertanya, "Apakah saya Nabi?" Jauh sebelum itu, waktu menjelang umur 30-an saya sudah menjawab pernyataan saya sendiri, "Kalau ada yang lebih benar daripada kebenaran Islam, maka saya harus meninggalkannya". Saya menengadah langit dan menitikkan air mata. Saya ingat-ingat selalu tulisan apapun tentang AIR MATA NABI. Satu kalimat lagu yang selalu dalam dan menyayat adalah, "Ya Rosul, salam alaika".
Saya selalu berfikir positif, Allah sunguh maha baik. Puluhan tahun on air di radio dan naik panggung macam-macam, tidak membuat saya merasa terputus dari kegiatan mesjid. Saya tidak merasa hina di situ, kecuali hina di hadapan Allah. Entahlah kalau masih ada yang menganggap hina juga.
Bayangkan saja, saya pernah ditanya orang, "Bagaimana menurut Kang Mas Gilang Teguh Pambudi, kalau ada penyanyi qosidah bergoyang di panggung?" Waduh, itu pertanyaan yang maksa. Otomatis saya jawab, "Itu lipstik. Pemanis. Halaman luar sebelum masuk ke dalam. Sebab di dalam butuh suasana yang kusyu dan tenang. Sebab di dalam banyak yang nagis depan Kyai dan Ulama. Jadi, asalkan bukan untuk maksud mesum dan jahat, goyangnya biduan qosidah itu tidak apa-apa. Kalau dia pandai mrngomunikasikan maksud dari syair suatu lagu yang dibawakannya, pesan dakwahnya juga nyampe dengan baik".
Coba bayangkan, kalau saya tidak ngaji Islam sekaligus ngaji hiburan rakyat, saya akan kesulitan menjawab pertanyaan itu. Termasuk saya harus menjawab soal alat musik masuk mesjid. Untunglah pada suatu waktu, entah nyambungnya di mana, dalam suatu acara di Mesjid Istiglal yang dihadiri wakil presiden Yusuf Kala pernah ada alat-alat musik tabuh yang masuk mesjid. Dikondisikan bikin semarak pada bagian tertentu, tanpa mengganggu kekusyuan pada sisi yang lain. Saya bersyukur depan TV. Secara kebetulan, itu pembenaran atas jawaban saya.
Jawaban-jawaban saya justru kadang berbenturan dengan penjelasan narasumber pakaian penyanyi qosidah di TV. Dia selalu mengomentari model jilbab yang agak gaul dari ibu-ibu qosidahan dari berbagai majlis taklim itu, apalagi yang agak ketat. Padahal secara keumuman, mereka tampil bersahaja, baik-baik saja. Malah bernilai entertain. Apalagi narasumbernya sudah biasa bikin pakaian mini. Di mana nyambungnya? Sedangkan ibu-ibu majlis taklim itu sudah belasan tahun ditempa oleh lingkungan pengajiannya, bahkan sejak umur remaja. Biasa-biasa saja.
Selain itu dalam suatu acara TV di bulan Romadon, ada narasumver lain yang mengomentari wanita berjilbab yang sedang unjuk tarian tradisional Nusantara. Menurut saya itu keberanian yang brilian. Biarpun dia berhijab tetapi masih cinta tari tradisi. Eh gak tahunya, narasumber di situ malah bilang, kurang lebihnya begini, "Kurangi gerakannya yang ekspresif, dan perhatikan pakaiannya supaya lebih Islami'. Padahal di mata penonton TV, si penari sudah serba tertutup pakaiannya. Harus bagaimana lagi? Kalau dibikin longgar dengan kain panjang malah akan bikin repot dan terinjak-injak. Atau jauh dari menghibur. Jauh dari posisi lipstiknya. Jauh dari sedekah senyumnya. Lalu apa ukuran yang dipakai si narasumber dan TV itu? Padahal TV-nya biasa bikin acara hiburan. Inilah gagap pengajian namanya. Ditambah lagi si artis yang jadi narasumber itu baru beberapa saat saja memakai jilbab.
Kalau maksudnya mengomunikasikan suatu model yang harus dibiasakan di dunia hiburan dan di layar TV, terlepas adanya pro-kontra yang besar di situ, ya harus pakai pendekatan kearifan sosial. Bukan menciptakan kegagapan yang bikin antipati. Bikin masyarakat tambah gak ngerti. Yang lalu mereka jawab sendiri, "Kami ini orang bodoh, orang yang gak ngerti apa-apa, yang penting Allah masih cinta kami karena kami merasa orang baik-baik, bukan sumber penyakit masyarakat".
Model narasumber begini bagaimana kalau mesti menjelaskan soal adanya film-film dakwah Wali Songo yang memvisualisasikan wanita-wanita jaman dulu yang tidak berjilbab, dan bahkan bahu dan betisnya terbuka. Apalagi pada adegan tertentu yang agak sensitif kemunculan sensualitasnya? Apakah akan lsngsung menuding bukan film dakwah? Padahal film itu telah merekam suatu gambaran realitas secara artistik dan santun menurut keumuman masyarakat Nusantara yang agamis.
Bagi saya, Remaja Mesjid tidak cuma sekadar kendaraan yang sering dipahami pragmatis oleh toloh-tokoh elit tertentu ketika mau populer. Bikin ini, bikin itu, dengan melibatkan Remaja Mesjid. Supaya ketokohanya yang Islami muncul. Bagi saya tidak cuma soal menemui di sebelah mana letak lurusnya di dalam fenomena semacam itu? Tetapi lebih menyublim pada posisi strategis Remaja Mesjid bagi dakwah Islam di satu sisi, menjadi pancang sosial yang rahmatan lil alamin, serta menjadi penguat eksistensi kebangsaan bagi negara kita, Indonesia.
Setiap ingat mesjid saya selalu ingat jaring laba-laba Spiderman. Dari satu titik mesjid kita bisa melemparkan jaring yang kuat dan luas ke mana-mana. Seribu mesjid satu jumlahnya. Kalau sentralnya di Istiqlal, misalnya, maka lontaran jaring laba-labanya sampai ke seluruh mesjid se Indonesia. Meskipun polanya tidak mesti selalu begitu. Sebab ketika Istiqlal adalah sentral, maka bagaimana dengan paradigma seluruh mesjid adalah Istiqlal? Maka polanya akan menjadi lontaran jaring laba-laba dari setiap mesjid se Indonesia. Yang uniknya bisa membuat garis-garis simetris dan pertemuan simpul-simpul di situ. Sungguh ajaib! Subhaballah.
Dan ruang bhineka tunggal ika itu terjawablah sudah. Dari setiap titik mesjid se Indonesia itu kita akan mempertemukan ciri khas titik-titik itu. Tradisi-tradisi yang mewarnainya. Bukankah begitu? Bukankah khas aktivitas mesjid di Aceh bisa beda dengan yang ada di NTB? Yang di Surabaya beda dengan yang ada di Makasar? Meskipun paradigmanya, semua setba Istiqlal. Bahkan melalui jaring-jaring yang kokoh itu kita bisa berbagi pergaulan mesjid dengan lingkungannnya. Dengan siapapun. Ternasuk yang biasa kita sebut, non-muslim. Bukankah pergaulan mesjid di Bali bisa dipahami oleh lingkungan mesjid di Bandung? Bayangkan kalau Remaja/Pemuda Mesjid di setiap titik peta Indonesia (bahkan dunia) adalah duta kemanusiaan yang beradab seperti yang menjadi kandungan Pancasila. Sungguh sedap tentu saja.
Secara dekat dan bersahabat, spiritualutas mesjid itu akan selau memberi penyadaran dan kesaksian sosial. Seluruh persoalan masyarakat sekitar akan selalu menjadi tema sentral dalam dakwah dan kegiatan sosial mesjid. Maka selain mesjid juga punya kegiatan yang bersifat khusus, melalui corong spirualitasnya mesjid kita bisa mengetuk hati siapa saja, termasuk hati pemerintah, untuk menyelamatkan seluruh kondisi lingkungan masyarakat. Menjadi aman sentausa, adil sejahtera.
Biarlah tak ada sebutan Kyai, Ustad atau Ulama kepada saya, tetapi catatan kebenaran saya tentang posisi strategis sebuah mesjid dan eksistensi Remaja Mesjid dalam pergaulan lokal dan nasional, tak bisa diremehkan dan dilupakan.
Kalau saya tidak sevokal ini dan berulang-ulang, saya justru khawatir tidak akan pernah ada kontribusi pemikiran yang menyelamatkan wacana adab pergaulan, proses kreatif, dan terbangunnya pancang sosial yang rahmatan lil alamin. Semua serba kaku dan lemah.
Dan saya masih curiga juga, pasti akan segera ada yang menduga, bahwa jawabannya selalu pada sebuah lembaga yang mempersatukan, temu nasional, atau semacam forum silaturahmi. Sering terlalu formalitas, kecuali formalitas yang mendesak. Padahal tuntutan saya lebih dari itu. Masyarakat di kampung-kampung kita di seluruh Indinesia bisa menemui surga hidupnya, selamat dunia akhirat, termasuk dengan adanya kegiatan Remaja Mesjid yang dinamis dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini maksud saya. Sebab ketika di satu kampung ada pelajar dan mahasiswa yang berangkat sekolah dan kuliah di tempat yang berbeda-beda, di kampungnya mereka bisa ngumpul di satu kegiatan mesjid. Termasuk pemuda yang sudah mulai memasuki dunia kerja dan para penganggurannya.
Apakah Spiderman yang ini merah tubuhnya? Terserah. Tapi kalau warna merah apa salah? Jangan coba-coba ribut soal warna kulit, ketika hijau adalah merah, atau merah adalah hijau.
Kemayoran, Jumat, 07092018
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar