JALAK MEMBACA HIJRIAH?

MENDEBATEMPAT

sini mendekat
lebih rapat pada malaikat
bicara bahaya mendebat angka empat

Kemayoran,  23 04 2018 
#puisipendekindonesia
-------

Pagi 1 Muharom suasana hati saya masih menikmati awal tahun 1440 H. Teringat. Semalam ada satu dua orang menyalakan petasan seperti layaknya malam tahun baru Masehi. Saya nyeletuk didengar anak-anak, "Ah, padahal kalau tidak biasa dengan itu, malam Tahun Baru Hijriah jangan dipaksakan berbunyi petasan. Karena sudah ada khas-khasnya". Depan TV saya sedang suka dengan berbagai informasi yang semerbak 1 Muharom.

Saya sudah lihat berita pawai obor semalam, bahkan pawai ta'aruf di hari terakhir 1439 H kemarin. Ada juga para pelajar Muhammadiyah yang dikabarkan membagi-bagikan makanan gratis kepada kaum duafa dan pengendara sepeda motor. Ada info guyang (main air) sambil panen ikan. Saya lihat juga berita tradisi memandikan keris tiap malam 1 Syuro. Saya tertegun dan asyik.

Soal memandikan keris ini sering saya uraikan, agar masyarakat jangan terlalu berfikir aneh-aneh. Apalagi sampai terjerumus syirik. Itu sangat berbahaya. Pahami saja secara sederhana, keris adalah perlambang harga diri. Yang dicuci di awal tahun baru Hijriah bukan saja untuk mengusir debu dan karat, tetapi juga pengingat agar kita selalu bersih diri. Itu saja. Insa Allah cara pandang kita tidak sesat. Kalau kita mengandaikan suatu keris adalah perlambang baik kehidupan masyarakat tertentu, ritual suci memandikannya adalah kode tradisi agar segenap anggota masyarakatnya bersih diri, jaga diri, dan menyelamatkan kehidupan sehari-harinya dari segala dosa. Begitu saja.

Itu sebabnya meskipun banyak ragam jenis keris, kita bisa menemukan salahsatu garis besar kebaikannya, misalnya sebagai Keris Jawa. Kebersihannya adalah ucap salam dari masyarakat Jawa, sebagai syiar kebaikan dalam segala hal. Bahkan ketika suatu keris pusaka disebut-sebut sebagai kekayaan Nusantara, itu memberi ilustrasi, pada suatu ketika saat memandikannya, maka seperti telah berlaku kewajiban ruwat bumi Indonesia di awal Tahun Hijriah. Menjadi bangsa besar yang bersih diri, bisa menjaga diri, memahami potensi diri, dan senantiasa berbuat apa saja dengan segenap manfaat.

Bahkan ketika saya bikin yayasan seni Cannadrama (Kisah Bunga Tasbih) buat menemani komunitas-komunitas seni, saya mengilustrasikan Cannadrama itu seperti muazin berbentuk keris atau kujang. Yang artinya, pendekatan saya ini dipastikan tidak akan mrndatangkan bahaya kepada anak-anak saya ketika mereka mulai tertarik untuk memahaminya. Tidak juga terperangkap fanatik buta.

Ya, pagi ini suasana hati saya masih kusyu soal awal tahun baru Hijriah. Sambil bersyukur depan pemberitaan Presiden RI Jokowidodo yang bisa berakrab-akrab dengan pemerintah Korea Selatan dalam lawatannya ke sana untuk banyak program kerjasama. Subhanallah.

Lalu tiba-tiba anak jagoan saya yang kelas tiga SMP itu memberitahu saya bahwa dia ditunjuk oleh pihak sekolah untuk mewakli sekolah dalam Lomba Maskot Membaca. Dan besok guru pembimbingnya ingin melihat gambar sementara yang akan diikutkan dalam lomba itu.

Spontan saya nyeletuk, "Pakai Burung jalak juga bisa".

Anak saya terdiam sejenak, lalu menyahut, "Kenapa Jalak?"

Lalu saya jelaskan. "Jalak itu burung yang suaranya gacor. Kalau berkicau seperti ngobrol saja. Itu ilustrasi yang bagus yang bisa berarti jago bercerita karena gemar membaca. Sebab orang yang malas membaca pasti tidak bisa bicara banyak, tidak bisa bercerita, bernasehat, sempit gagasan-gagasannya, dan seterusnya. Lalu lihat bulu-bulunya yang hitam pekat. Kebetulan mirip baju toga seorang sarjana. Tetapi secara umum hitam itu berarti ketenangan, kedalaman ilmu, misteri, bahkan tawadu. Tidak sombong. Hitam juga berarti kelincahan, kesaktian seorang jawara sekaligus akrab penuh cinta seperti yang lazim kita kenal dalam pencak silat".

Sampai di situ anak saya nampaknya mulai tertarik.

Lalu saya lanjutkan. "Mata jalak itu putih, juga kilatan pada bulu ekornya, itu bisa dipergunakan sebagai perlambang suci diri. Sehingga hitamnya tidak berarti kesuraman, apalagi kejahatan dari dunia hitam. Lalu perhatikan paruhnya dan cakarnya. Kuning terang menyala. Kuning atau emas adalah kode kedewasaan dan kewibawaan. Bicaranya dewasa dan langkah hidupnya juga dewasa. Ciri-ciri dewasa itu, berwibawa karena berpendidikan, sehingga eksistensi dirinya bermanfaat bagi diri sendiri dan orang banyak".

Nampaknya anak saya makin terpana. Lalu saya suruh dia ke luar rumah untuk mengambil sangkar yang berisi burung jalak Sungu. Dia pun segera membawanya ke dalam rumah dan memandanginya.

"Indah kan? Padahal dia punya penampilan yang sangat sederhana. Tidak mencolok. Bulu jambul di atas paruhnya yang selalu tegak menunjukkan dia tidak pernah lesu ketika berkicau. Seperti orang yang ekspresif ketika bercerita. Memang mesti begitu. Presentasi itu tidak boleh bohong dan harus meyakinkan". Begitu saya menambahi penjelasan sebelumya. Lalu saya teruskan, "Kebetulan burung jalak adalah burung yang populer di masyarakat kita. Bahkan dari masa lampau sudah disebut sebagai burung teman petani yang hidup di sawah-sawah. Bahkan gemar bertengger di punggung dan tanduk (sungu) kerbau, oleh sebab itu biasa disebut Jalak Sungu atau Jalak Kebo. Sebagai teman petani berarti ia adalah sahabat manusia pada umumnya, terutama sahabat bangsa Indonesia. Untuk itu kalau kamu bikin maskot memakai burung jalak mesti menonjol tanda Indonesianya".  

Ahai. Ternyata benar. Beberapa menit kemudian anak saya sudah menyelesailan satu gambar krayon, meskipun belum sempurna. Karena masih meraba-raba. Seekor burung jalak yang memakai syal merah-putih sedang membaca buku. Sayapun tersenyum lega. Dalam hati menyebut, "Benar-benar Jalak yang terpanggil membaca suasana Hijriah. Apalagi bukunya diberi warna biru. Itu artinya langit tinggi, hidup yang luas dan laut dalam. Bagus, kita memang perlu membaca buku yang berkualitas".

Beberapa saat kemudian anak saya kirim WA ke walikelasnya. Ternyata dia minta dibikinkan dua model. Pake burung jalak sama elang bondol. Saya bilang, "Elang bondol juga bagus. Warnanya putih, coklat dan kuning. Coklat itu warna tanah. Perlambang keakraban, persatuan, persaudaraan, kekeluargaan, kehangatan cinta, juga ukhuwah Islamiah. Sebab tanah itu berbutir-butir. Bayangkan kalau butiran-butiran tanah itu berkelahi satu sama lain, apa jadinya?"

Bagi saya, juga bagi anak saya, menang lomba seni tentu bukanlah segala-galanya. Justru yang terpenting, kita telah menyampaikan gagasan brilian apa untuk dunia membaca di Indonesia? Itu saja. Sebab hal itulah yang akan membuat kita selalu terkenang dan terinspirasi peristiwa kreatif di situ. Sayapun bisa kembali asyik dan tenang mendengar-dengar berita dan menelusur internet guna mendapati perayaan tahun baru Hijriah 1440 H di mana-mana.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG