MERUWAT KERAMAT BOLA
KERAMAT KAKI SIAPA?
kebanggaanmu habis
ketika kamu menghabisi kakimu
pada kaki kawanmu
sampai bola di lapangan itu tahu
keramat kaki siapa
menyentuhnya?
Kemayoran, 25092018
#PuisiPendekIndonesia
------
Kemarin saya baru saja ngangkat tulisan berjudul, Kampanye Damai Ala Persib-Persija. Tentu falsafah dan pesan-pesannya bersentuhan dengan ketaatan pada aturan kampanye Pilpres dan Pileg 2018. Yang kesimpulannya, setelah menjalani laga yang berat, tetapi tetap dalam lingkaran aturan permainan, akhirnya para pemain dari kedua tim itu saling berpelukan dengan senyum lebar. Bahkan pakai saling tukar kaos kebanggaan segala. Meskipun di laga ini Persija harus mengakui kemenangan Persib yang main kandang dengan skor 3-2.
Eh, gak tahunya, beberapa saat kemudian saya dikejutkan oleh informasi dari teman-teman FB soal meninggalnya seorang suporter Persija di Bandung. Langsung saya kecewa berat pada kejadian itu. Sangat kecewa. Meskipun tidak harus merubah tulisan saya yang berjudul, Kampanye Damai itu. Karena keributan suporter ini tidak ada kaitannya dengan pertandingan yang terekam layar TV, yang dipublikasikan ke seluruh Indonesia, yang bersih dari masalah-masalah. Clear! Meskipun permainan berkembang cukup berat dan agak keras. Tetapi logika permainannya masih bisa disikapi normal oleh para pemain, wasit, pelatih dan bahkan para penonton di stadiun dan di layar TV. Tidak ada masalah.
Masalahnya justru di luar pertandingan. Meskipun tetap dalam rumus besarnya, panitia pelaksana dan PSSI tetap wajib menanggung beban, pembinaan terhadap para suporter. Termasuk yang umum kita kenal dengan penegakan aturan-aturan yang membuat semua pelaksanaan Liga berjalan normal. Aman terkendali.
Saking kecewanya terhadap peristiwa pengeroyokan suporter hingga meninggal itu, saya menulis status di media sosial facebook begini:
"Kalau Liga Indonesia masih melahirkan korban jiwa sebagai akibat tawuran atau perkelahian antar suporter, apapun alasannya, sebaiknya PSSI berani menyudahi Liga. Tutup. Fokus saja pada Tim Nasional dari berbagai usia melalui sistem pencarian potensi/ bakat lokal di seluruh daerah se Indonesia.
Tapi memang. Tragis! Kita bisa dipermalukan oleh pemberitaan dunia. Karena gagal menggelar Liga Nasional. Akan dianggap gak punya kemampuan. Dan ujung-ujungnya disebut, tidak pantas menyandang salahsatu Kiblat Bola Dunia.
#PSSI
#Liga1
#LigaSatu
#Liga2
#LigaDua"
Agak emosional memang bunyi status itu, meskipun masih bisa dianggap terlalu lembut dari tulisan status lain, tetapi jelas disertai logikanya. Kita harus menyudahi dosa-dosa besar di situ. Kekisruhan yang tidak mendidik masyarakat dan anak-cucu kita. Agar menjadi pelajaran dan perhatian serius dan mendesak berbagai pihak. Tetapi pada saat yang sama kita juga mesti punya rasa percayadiri, bahwa kita adalah bangsa yang konsisten dengan pembangunan kebangsaan, termasuk melalui para suporter yang ratusan juta jumlahnya, berkerumun di seluruh stadiun sepakbola se Indonesia.
Kita juga masih yakin bisa menjadi INSPIRASI WANGI KEMANUSIAAN kepada dunia. Ya, melalui tontonan dan siaran dari stadiun sepakbola itu. Seperti halnya ketika kita menularkan virus postif, Energy Of Asia di ajang Asian Games beberapa waktu lalu. Tetapi masalahnya, mengapa tragedi demi tragedi terus berulang?
Kalau soal permainan di tengah lapangan, kita sudah sepakat untuk membumikan permainan yang sportif dan fairplay. Taat pada aturan-aturan. Ada sanksi langsung oleh wasit kepada para pemain dan pelatih yang melanggar, dan ada komisi disiplin yang harus bekerja serius menegakkan aturan. Termasuk tak terkecuali berlakunya seluruh pantauan FIFA.
Sampai saya pernah punya sedikit kesulitan, atau lebih tepat disebut ekstra hati-hati, waktu pertama kali membuka falsafah bola dulu. Maklum, saya mustahil mengatakan, "Seperti dalam sepakbola, kita boleh melanggar, apalagi melanggar yang wajib demi meraih kemenangan vital, paling-paling akan dapat kartu kuning. Seburuk-buruknya dapat kartu merah. Begitupun dalam hidup ini, kalau melanggarpun kita paling-paling dihukum masuk penjara". Jelas, saya mustahil ngomong begitu. Itu pasti biadab untuk prikemanusiaan dan kehidupan. Sesat. Apalagi selain hukum positif kita juga memahami adanya hukum Allah yang bekerja dengan caranya. Maka ketika membuka falsafah bola, saya menyebut, ada juga aturan permainan yang hanya bisa kita tempatkan sebagai aturan di lapangan, di stadiun semata-mata. Seperti dalam analogi main gebuk bantal di atas bambu saat perayaan 17-an. Kan mustahil diterjemahkan nasionalisme kita membolehkan 'saling gebuk' antar sesama warga. Yang benar tentu saja, selalu ada aturan permainan yang mengikat untuk suatu permainan itu sendiri. Yang disadari dan dipahami bersama secara baik dan manusiawi.
Dalam tulisan pesan Kampanye Damai yang singkat itu, saya juga bermaksud menyampaikan bahwa akhir dari sebuah pertandingan adalah keindahan sebuah eksistensi tim yang merepresentasikan banyak hal. Yang harus disambut dengan sukacita bersama.
Kita tentu maklum, tim sepakbola itu merepresentasikan daerah-daerah yang diwakilinya, selain merepresentasikan manusia dan pergumulannya dalam silaturahmi besar, kebutuhan hiburan dll. Tetapi ketika bicara daerah, tidak boleh mati pada satu titik kelokalan tertentu. Sebut saja Tim Arema, misalnya sebagai contoh. Dia merepresentasikan dan memopulerkan Malang, itu sudah sangat jelas. Tetapi pada saat yang sama, tim itu juga kebanggaan Jawa Timur. Pada saat yang sama pula, Arema adalah kesebelasan Pulau Jawa. Harus disukai oleh penduduk Jawa. Dan Arema juga merepresentasikan Indonesia Bagian Barat. Menjadi kebanggaan Wilayah Waktu ini. Tetapi Arema juga selalu berpeluang menyuplai pemain-pemain untuk tim nasional, kebanggaan Indonesia secara menyeluruh, dan sebagai sebuah tim yang juga mencitrakan spirit nasionalisme melalui semua laga kandang dan laga tandang yang dilaluinya. Maka, Arema dan pendukungnya harus berjiwa besar. Tidak boleh sempit. Inilah yang akan mengakibatkan, jika ada satu tim tenggelam dan hilang, seluruh pencinta sepakbola Indonesia bisa merasa sangat sedih dan kehilangan. Seperti ketika saya sempat sedih kehilangan Bandung Raya dulu. Karena Bandung Raya pernah menjadi aset nasional, lumbung pemain Timnas, selain memopulerkan wilayah yang sudah saya urai secara luas, tidak secara sempit. Bahkan saya sedih Persiba turun dari Liga 1 ke Liga 2, tapi saya masih membanggakannya karena toh masih tetap eksis. Tidak bubar. Masih bisa jualan eksistensi dan prestasi. Para pemainnya juga tetap profesional.
Semua tim-tim lokal juga berfungsi semisal titik sentrum pencarian bakat. Sehingga dari setiap daerah/wilayah sudah pernah memiliki pemain kebanggaanya di Timnas.
Dalam tulisan ini saya merasa perlu menyatakan sebuah contoh apresiasi yang sedikit detil, soal tukar menukar kaos di akhir laga misalnya. Seperti yang dilakukan oleh para pemain Persib dan Persija (23092018). Meskipun tidak pada semua pemain dan tidak harus pada semua laga. Bahkan kadang seremoni kekeluargaan itu juga hanya terwakili oleh satu-dua pemain saja. Tapi apa artinya itu? Saling tukar kaos ternyata mengandung makna meminta dan memberi cinta. Yang artinya, para pemain Persib butuh kaos Persija, sebab dia membanggakan Persija, bisa buat peristiwa kenangan yang indah, begitupun sebaliknya. Ini pesan yang hebat luarbiasa! Sekali lagi, meskipun kadang-kadang cuma diwakili oleh satu-dua pemain. Dan tidak terjadi di seluruh pertandingan. Karena bagi dunia persepakbolaan, peristiwa itu sudah perlambang untuk semuanya. Apa yang terjadi pada Persib-Persija, sudah menjadi kalimat bagi seluruh tim yang berjibaku di Liga. Itu mengandung pesan universal namanya. Apalagi kalau peristiwanya pada laga puncak, laga final. Itu jelas disorot oleh seluruh mata tim sepakbola dan seluruh mata penonton.
Dan menyaksikan pertandingan Persib vs Persija kemarin, kita memang seperti melihat laga puncak, laga final. Maka dijulukilah Super Big Match. Sayangnya masih disertai tragedi kekerasan di luar stadiun yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Semua harus introspeksi diri.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar