NYETAK JAWARA
SAJAK HIRA
berhentilah berkelahi
jadilah jawara
Kemayoran, 31 Agustus 2018
#puisipendekindonesia
------
Sejak sebelum hari H pembukaan Asian Games Jakarta-Palembang 2018 hingga beberapa hari berlangsungnya hajat olahraga terbesar Asia itu, kebetulan saya sudah beberapa kali menulis soal pencak silat di Cannadrama.blogspot.com. Ini menunjukkan bahwa bagi saya dan siapapun pencak silat adalah buah bibir secara nasional. Ikon senibudaya nasional juga di samping seni populer lainnya. Maklum, selain sebagai cabang olahraga, sejak umur SMP saya memang mengenal pencak silat adalah seni pertunjukan rakyat yang sangat merakyat. Bahkan musik pengiring silatnya biasa juga dipakai untuk mengiringi kegiatan panjat pinang selain menjadi ilustrasi siaran harian dongeng Sunda pada adegan perkelahian. Begitulah yang terekam oleh ingatan saya ketika itu, terutama di Jawa Barat.
Dari beberapa kali saya bicara silat itu, pertama saat membahas Drawa, maskot Asian Games yang dibatalkan itu. Maskot itu berupa burung Cendrawasih yang memakai pakaian silat. Saya bilang, apa kesalahannya? Cendrawasih itu khazanah pesona alam Indonesia, sedangkan silat (pakaian silat) memiliki falsafah mencetak jawara, atau secara sportif memberi pesan sikap ksatria. Kelincahan, kecepatan dan kekuatan juga muncul dalam kode itu. Meskipun saya juga bilang, hak panitia untuk menggantinya, apalagi dengan maksud untuk melakukan penyempurnaan. Dan saya jelaskan, maskot Bhin Bhin (Cendrawasih), Atung (Rusa) dan Kaka (Badak bercula satu) sebagai pengganti Drawa itupun bagus. Memiliki pesan yang jelas.
Kedua, saya menulis silat ketika berkomentar soal medali pertama untuk Indonesia di Asian Games kali ini, yaitu perak dari cabang wushu. Saya sebut wushu adalah olahraga yang populer sebagai seni pertunjukkan. Selalu asyik ditontonnya. Saya dari dulu suka itu, seperti nonton film kungfu saja. Bahkan dengan medali perunggu itu menurut saya, sudah layak Indonesia pun disebut sebagai negri wushu, selain sebagai negri silat. Analoginya, jika ada suatu negara yang menonjol sepakbolanya di ajang internasional, meskipun baru beberapa kali langganan semifinal, maka selalu disebut negri bola. Bukankah dengan medali pertama itu kita pun sudah menonjol wushunya? Apalagi pada momen berikutnya wushu juga menyumbangkan medali emas. Sempurna.
Ketiga saya bicara silat ketika membahas soal Panggung Agustusan. Saya tegaskan, sebagai momen senibudaya yang semarak selama bulan Agustus di seluruh Nusantara, Panggung Agustusan dapat dijadikan alat pantau (deteksi) apakah suatu seni tradisi, apalagi yang sudah diikonkan dalam pariwisata, masih suka digelar di Panggung Agustusan itu sebagasi wujud penerimaan masyarakat secara terbuka? Baik oleh anak-anak, remaja, ibu-ibu bahkan kelompok profesional. Atau justru sebaliknya, seni tradisi yang diikonkan itu semakin sepi dari Panggung Agustusan, dan semakin jauh dari kesemarakan hajat masyarakat? Tentu, di atas Panggung Kemerdekaan ini, salahsatu seni rakyat yang juga bisa muncul memang pencak silat. Kalau di Jawa Barat, sebagai contoh, bisa saya sebut selain ikon jaipongan, dll.
Itulah tiga poin yang saya maksud. Maka ketika satu demi satu medali emas bermunculan dari duta silat Indonesia di ajang Asian Games betapa kagetnya saya. Ternyata Indonesia sanggup membuktikan diri sebagai negri silat paling perkasa di Asia. Luarbiasa!
Apalagi selain soal 14 medali emas yang berhasil dipersembahkannya, ajang silat ini semakin viral gara-gara salahsatu pesilatnya, Hanif berhasil merangkul Presiden Jokowi dan ketua organisasi silat Prabowo dalam satu pelukan merahputih. Suatu spontanitas yang sangat hebat dari sukacita seorang peraih medali emas. Meskipun kapasitas kedua tokoh itu adalah presiden dan ketua organisasi olahraga, bukan representasi koalisi partai dalam capres-cawapres 2019. Tetapi setidaknya bisa meredakan ketegangan masyarakat dari dua kubu pendukung capres-cawapres yang sudah mulai hangat proses saling mendukungnya meskipun belum masuk masa kampanye.
Di radio-radiopun selama bertahun-tahun saya sudah biasa mengangkat tema pencak silat. Selalu dengan paradigma mencetak jawara. Saya sebut-sebut, di tengah masyarakat kita ada jawara ekonomi, jawara keamanan, jawara kesehatan, jawara olahraga, jawara pendidikan, jawara senibudaya, jawara arsitektur, jawara laut, jawara mesin, jawara perkebunan, jawara transportasi, jawara politik, dst. Kesemua figur itu sangatlah lebih baik kalau sejak kecil sudah kenal prinsip 'mencetak jawara'. Meskipun tidak dalam pengertian jawara silat seperti pada lomba-lomba silat itu. Ini tentu sekaligus kesaksian dan penyadaran, agar dengan paham silat kita mau jadi jawara apa saja. Gigih menggapai cita-cita apa saja.
Siapa bilang jawara-jawara itu tidak punya dasar-dasar silat dan jurus-jurus? Sebut saja misalnya Jawara Mesin. Dia kan mesti pasang kuda-kuda, punya kemampuan dan teknik menendang yang kuat dan akurat. Bukankah Jawara Biola pun mesti punya kemampuan menyerang dan menghadapi serangan musuh? Pada masa penjahahan dulu misalnya. Punya jurus berlari di dalam tanah dan menembus awan segala. Selengkapnya bisa kita baca buku-buku silat dan film-film laga berkualitas. Memang begitu. Meskipun banyak yang gak ngerti. Tumpul fikir dan imaji. Bahkan seorang guru di dalam kelas mesti kebal asap racun yang dilempar dalam gulungan kertas.
Sebagai narasumber senibudaya di radio-radio, saya juga biasa membahas tema pengantin sunat dengan bertema, mencetak jawara itu. Suatu tema yang selalu up to date sampai kapanpun menurut saya. Dalam acara sunatan ini biasanya ada dua atau tiga unsur yang mebonjol. Pertama pertunjukan silat. Kedua, panggung musik dengan penyanyi yang cantik. Tentu dengan banyak doa baik, salah satunya agar laki-laki yang disunat bisa menjadi jawara kehidupan, sekaligus 'kelak normal suka kepada wanita'. Dan ketiga, biasanya ada upacara naik kuda. Ini berfalsafah, mampu mengendarai kehidupan. Termasuk mampu mengendarai organisasi keluarga dan organisasi sosial lainnya.
Pencak silat bagi Indonesia, termasuk pada kenangan kanak-kanak saya, adalah kisah multi interpretasi kebaikan yang universal. Subhanallah. Itu sebabnya saya bersyukur ketika masih ada sekolah-sekolah yang memperkenalkan ajaran pencaksilat kepada murid-muridnya.
Di Betawi, suatu contoh khusus yang lain, pencaksilat juga muncul pada acara adat nikahan, Palang Pintu. Acara sakral yang bernilai tinggi. Ini jelas menekankan pada prinsip dasar kepanjangan dari kata 'silat' yaitu 'silaturahmi'. Serta transformasi pesan, hidup adalah komitmen, dll.
Selamat untuk kontingen Asian Games Indonesia yang di tahun 2018 ini, di masa kepemimpinan Presiden Jokowi, mampu mencetak sejarah, menyumbang 30 medali emas hingga dua hari jelang acara penutupan. Dan 14 diantaranya dusumbangkan oleh cabang olahraga pencak silat. Padahal sebelumnya di tahun 1962 kita hanya sanggup mendulang 11 medali emas.
Salam pencak silat Indonesia.
Gilang Teguh Pambudi
cannadrama.blogspot.com
cannadrama@gmail.com
#AsianGames
#AsianGames2018
Komentar
Posting Komentar