TONGKAT WALI

TARIAN MUSIK 

sebuah musik
kekuatan lagu
adalah tangan malaikat yang mengangkat
sensasi pagi dan kehangatan senja
baja siang dan asmara malam
mengabarkan tragedi
mengisyaratkan kelapangan dan kemenangan
tangisnya melahirkan kekuatan
sehingga nampak padamu, Cinta
di pantai sisa bencana itu
paginya bukan dendam
siangnya selalu keberangkatan-keberangkatan
sorenya syukur dan sukacita
malamnya rindu keluarga
maka segeralah angkat biola
menari di atas laut
bermain ombak
atau memetik gitar di bahu karang
sampai burung-burung menulis puisi
dan nyiur mengenang masa mudanya
dan kau, Cinta
setia mengingat-ingat jalan lapang, jalan pulang
sebuah musik
kekuatan lagu
adalah juga tangan nalaikat yang membenamkan
ke dasar laut
ke dalam bumi
segala bentuk penghianatan atas kemanusiaan
sebab seperti seruling desa, bertahun-tahun
setia hidup bersama Tuhan
maka mainkanlah drum di atas awan
dengan sekeras-kerasnya suara keadilan

Kemayoran, Jumat, 28 12 2018
------

Kamis pagi saya menjumpai siaran langsung dari Lita Harmoni Streaming Bandung yang dibagikan oleh teman saya Ummi Rina Mayasari. Tentu saya tonton sejenak meskipun sudah memasuki jam pertama sibuk kerja di Jakarta. Itu siaran Ummi Rina dengan istri walikota Bandung, Ummi Siti Oded. Tentu banyak yang diperbincangkan tetapi satu yang langsung saya komentari, yaitu ketika Siti Oded menyebut modal pembangunan adalah spiritualitas. Saya menulis komentar, "Sumbangan terbesar pembangunan adalah, kekuatan spiritualitas. Tapi yang harus diingatkan, spiritualitas itu pasti dewasa dan cerdas".

Tentu komentar saya itu sangat beralasan. Karena belakangan ini, apalagi melalui hiruk-pikuk media sosial, di tambah lagi di tengah polemik politik, spiritualitas dan agama sering mengemuka, atau dipaksa mengemuka, tetapi tidak menunjukkan kedewasaan dan kecerdasannya. Tidak sensitif juga terhadap kebutuhan spiritualitas yang sesungguhnya. Berarti ada suatu masalah di situ. Padahal spiritualitas atau agama pada hakekatnya dewasa dan cerdas.

Saya jadi teringat satu bagian dari film Wali Songo, film jadul itu, ketika ada pertemuan para wali memperbincangkan sesuatu, tiba-tiba seseorang dari mereka mengingatkan agar berhati-hati dan menahan-nahan bicara, karena hawa syetan bisa menyelinap tiba-tiba. Saya jadi sadar, itu pembicaraan tingkat para wali, pemuka agama penyebar wangi Islam. Di tengah ruangan khusus pula. Masih ditakutkan adanya hembusan syetan yang menyelinap. Itu tentu bagian dari kedewasaan dan kecerdasan mereka yang akan dibawa ke tengah ummat.

Saya tahu film itu belakangan ini kurang diminati. Pertama, karena produksinya sudah kepalang dianggap jadul. Meskipun film jadul di Holiwood malah justru dihargai tinggi. Dianggap bagian dari kebangkitan Amerika. Kedua, karena dalam film itu terkandung universalitas berkesenian, ber-film, yang terbuka. Misalnya ada para wanitanya yang tidak berjilbab, berpakaian kampung Jawa yang pundaknya terbuka, bahkan ada yang gaunnya tersingkap dalam suatu adegan tertentu. Berbeda dengan film dakwah sekarang yang nyaris cenderung berjilbab semua. Padahal saya ngerti maksud film Wali Songo itu. Rekaman realitas yang masih berada di garis kepatutan. 

Ya, spiritualitas itu pasti dewasa, cerdas, sensitif dan seterusnya.

Lalu masih bersumber dari keramaian di media sosial. Mempertanyakan kelayakan seorang penghutbah (khotib) atau pendakwah memegang tongkat. Reaksi dan sudut pandangnya sangat beragam. Biarlah asal mendewasakan dan mencerdaskan, agar tidak mengingkari keutamaan berkhutbah atau berdakwah. Tetapi saya komentari juga, "Sesungguhnya para Nabi selalu bertongkat. Meskipun keramat dan keunggulan tongkat Musa lebih populer sebagai karunia Allah untuk terus dikisahkan dan dibuka kedalaman cahayanya. Para wali pun pada hakekatnya bertongkat. Secara majas, tongkat itu artinya syariat/ ajararan/ pegangan/ petunjuk jalan yang lurus. Termasuk ketika Sunan menyanyi, memainkan musik atau menari. Mereka tidak pernah menanggalkan hakekat tongkatnya. Sampai-sampai kalau memakai trik film, tongkat itu tak nampak tetapi melalui doa-doa yang khusus dan khusyu, tiba-tiba tongkat itu bisa berada di tangan jika dibutuhkan. Untuk mengendalikan beragam persoalan. Politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, kebangsaan, ideologi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, kriminalitas, dst.

Saya menyebut dalam komentar saya itu, bahkan pedangdut Rhoma Irama pun mengaku tak ingin kehilangan tongkat. Dalam posisi hamba yang awam dia menafsir kehilangan tongkat adalah kehilangan pegangan atas kebenaran.  Ini lagunya:

Kehilangan Tongkat

Cukup satu kali kehilangan tongkat
Cukup satu kali
Jangan dua kali bersalah yang sama
Jangan dua kali

Orang yang baik bukan yang tidak pernah
Melakukan kesalahan
Tapi yang menyadari kesalahannya
Dan memperbaikinya

Cukup satu kali kehilangan tongkat
Cukup satu kali
Jangan dua kali bersalah yang sama
Jangan dua kali

Tak seorang pun dalam dunia
Yang tak pernah berdosa
Karena sudah kodrat manusia
Tempatnya salah dan lupa

Tak seorang pun dalam dunia
Yang tak pernah berdosa
Karena sudah kodrat manusia
Tempatnya salah dan lupa

(Tapi kalau selalu salah) itu sih bukan lupa
(Tapi kalau selalu lupa) itu mah disengaja
----

Di depan lagu dan syair yang serupa itu saya kadang masih ngeri. Sebab dengan alasan manusia adalah tempatnya dosa dan lupa, maka telah terbukti tidak sedikit manusia-manusia yang bersengaja berbuat dosa. Malah minta dimaklumi. Baik kriminal, menghina, melacur, merusak, mabuk-mabukan atau korupsi. Bahkan di atas sajadah dia masih berani bilang, "Maafkan ya Allah, hambamu ini manusia yang tak mungkin luput dari berbuat dosa". Besoknya ia pun masih terus berbuat dosa. Sebagian direncanakan, sebagian tindakan spontan. Sungguh kejam argumentasinya itu bagi keharmonisan hidup manusia. Tidak menunjukkan jalan lapang jalan pulang. 

Apa yang saya uraikan dalam persoalan tongkat tersebut, termasuk contoh lagu dari Rhoma Irama itu, dimaksudkan untuk membawa kita pada kesaksian, kesadaran, dan kebangkitan, bahwa spiritualitas itu memang modal dasar pembangunan bangsa. Dalam semangat cinta tanah air --- sebagai anugrah dari Allah Swt, disebut juga ideologi kebangsaan. Spiritualitas itu mesti dewasa dan mencerdaskan. Spiritualitas jangan dikalimatkan sebagai suatu bentuk 'kematian', pengingkaran dari kehidupan yang rahmatan lil alamin.

Jika spiritualitas ini memiliki kesuksesan besar, maka akan terbangun kepercayaan yang tinggi antara masyarakat dan pemerintah, antara negara dan rakyatnya. Akan terpola tata kelola negara yang menentramkan, meskipun terus dicarikan formulasi yang paling menguntungkan sesuai pertumbuhan dan perkembangannya. Akan tercipta gerak kreatif yang dinamis di tengah masyarakat yang terbuka dan mencerahkan. Tidak mudah terganggu oleh sentimen-sentimen kecil yang tidak lurus, yang justru semakin gigih mencari ruangnya untuk membesar.

Spiritualitas sebagai tongkat dalam berbangsa dan bernegara, adalah kekuatan besar. Yang secara memasyarakat, secara romantis, yang memanjakan orang-orang sibuk dengan beragam persoalan hidupnya, memahami keluarga dengan seluruh urusannya, kita sebut sebagai kehangatan hidup. Kehangatan ini berupa kemesraan, keseimbangan pada diri, dan pada pergaulan sosial. Termasuk yang sistematis melalui bangunan sebuah negara. 

Tanpa spiritualitas yang kuat, bangunan negara akan sangat keropos dan ringkih, bahkan mudah meletus konflik. Tetapi sebaliknya, jika penyebab konflik adalah spiritualitas yang tidak dewasa dan cerdas, berarti kita punya problem sosial yang dasyat. Sebentuk kecelakaan sosial yang lain.

Berkaitan dengan tragedi tsunami Banten-Lampung, 22/12/2018 yang menewaskan 400 orang lebih, mengakibatkan ribuah korban luka, rumah dan bangunan luluh lantak serta kapal-kapal nelayan rusak, ada yang berkomentar di media sosial, itu hukuman dari Allah. Apalagi disertai memposting area pantai sebagai pusat hiburan dan panggung musik. Nampaknya kita harus berhati-hati dengan fenomena ini.

Memang benar, Allah bisa menghukum satu-dua penjahat yang mengingkari kemuliaannya, dengan menjadikan mereka korban bencana, bahkan sampai menghilangkan mayatnya. Tetapi pada saat yang sama, kita juga bisa melihat para mujahid yang dijanjikan jalan lurus oleh Allah, meninggal di daerah bencana. Kita harus mendukung dan mengenangnya dengan doa-doa mulia dan tinggi. Bahkan berbalik menjadi semacam teguran kepada yang masih hidup, sudikah melanjutkan, menyemai kemuliaan Allah di muka bumi ini? Sebab siapa tahu justru kita yang sedang terancam sesat. Itu artinya, justru kita yang telah diselamatkan Allah ketika melihat bencana. Sementara saudara-saudara seiman kita sudah pulang dan dilapangkan jalannya. Ini sebabnya saya telah menulis sebuah puisi, yang insya Allah segera terbit awal tahun 2019 dalam antologi MBLEKETEK, dengan judul Sepotong Bangunan Mesjid Yang Masih Kokoh. Terinspirasi oleh berbagai bencana, terutama bencana laut.

Cara pandang kita di depan bencana-bencana itu tentu sangat menunjukkan tingkat kedewasaan dan kecerdasan spiritual kita. Keagamaan kita. Ideologi ketuhanan yang maha esa dalam kebangsaan kita.

Kalaupun kita pernah mendengar, ada ulama terkemuka di muka bumi mengatakan, bahwa musik dan penyanyi adalah pemanggil ke jalan sesat, itu adalah pengingat. Tidak bisa disalahkan memang. Yang maksudnya, pemusik dan penyanyi janganlah demikian. Harus lurus-lurus saja. Baik-baik saja. Dan kita pun berduka mendalam untuk para seniman dan masyarakat luas yang telah menjadi korban tsunami itu.

Hukum serupa juga berlaku bagi penyair di depan fatwa, "Berhati-hatilah kepada penyair. Sebab mereka telah berkalimat syetan yang menggelicirkan!" itu memang benar. Ada penekanan pada maksud 'berhati-hati' dan 'berkalimat syetan'. Kita mesti berhati-hati terhadap yang demikian. Tetapi kita bersyukur dengan adanya para penyair, para mujahid yang konsisten dengan daya teriaknya yang kritis-mendalam, dengan segenap ciri khasnya untuk dikenali. Sebab dalam konteks kemasyarakatan, tak dikenal maka tak didengar.

Tetapi ketika di medsos juga ramai membahas usulan penyanyi yang juga wakil walikota Palu, Pasha Ungu, salahsatunya melalui Suara.com yang di-FB-kan oleh YM Bambang Setiawan, yang mengatakan, sebaiknya pemerintah segera menetapkan 22 Desember sebagai Hari Duka Musik Indonesia. Menurut saya, itu berangkat dari dukacita yang mendalam. Apalagi ada pemusik yang meninggal dunia karena terhempas terjangan tsunami pada detik-detik manggungnya. Yang dari kacamata 'hiburan yang lurus', itu sangat heroik. Menglasifikasikan mereka sebagai pahlawan musik.

Tetapi saya berkomentar di situ, kita masih patut menjajaki banyak hal, terlepas dari duka dan doa-doa kita. Pertama, kedukaan tsunami Banten-Lampung akan menjadi satu rangkaian dengan tragedi tsunami Aceh dll dalam kebijakan negara. Termasuk di dalamnya akan disebut-sebut, tsunami telah menghancurkan seluruh fasilitaas senibudaya dan para senimannya. Sehingga saya setuju negara ini mempunyai Hari Duka Tsunami yang memakai momen tragedi Aceh. Karena melalui momen tahunan itu, negara dan masyarajat akan terus dituntut untuk mengenang para korban tsunami di manapun, termasuk yang di Banten-Lampung, untuk senantiasa memperhatikan kelesrarian pantai, menghidupkan budaya pesisiran yang menyelamatkan, mengamankan wilayah pantai dari berbagai bencana, menerapkan aturan pembangunan di daerah pantai, melatih masyarakat untuk tanggap bencana, meningkatkan koordinasi, keahlian dan keseriusan instansi-intansi terkait, termasuk para petugas evakuasi korban bencananya, mengalokasikan anggaran bencana yang mencukupi yang tidak pernah dikorupsi, dll. Sehingga Hari Duka Tsunami itu akan selalu menjadi momen besar untuk saling mengingatkan. Dan para pemusik yang tampil di panggung-panggungnya untuk menghibur masyarakat adalah mereka yang sadar terhadap kepedulian mencegah dan mengatasi bencana. Tentu mereka adalah para pejuang di tengah masalah kebencanaan.

Kedua, penghargaan apapun yang berkaitan dengan musik pasti akan turun pada momen Hari Musik yang sudah ada. Baik Hari Musik Indonesia mapun Hari Musik Dunia. Bukan pada Hari Duka Musik. Meskipun tidak mustahil para pemusik dan pencinta musik akan sukses menyemarakkan Hari Duka Musik tiap 22 Desember dengan konser-konser khusus.

Satu lagi, ketika terjadi fokus 22 Desember pada peringatan Duka Musik, tentu akan mengesampingkan para korban 22 Desember 2018 yang lain, yang notebene bukan pemusik. Yang jumlahnya 400-an lebih meninggal dunia, ribuan luka-luka, rumah-rumah runtuh, dan kapal-kapal rusak. Meskipun memang, masih leluasa terselenggara di suatu titik-titik khusus bagi para pemusik dan pencinta musik. Apalagi sebagai momen mengenang dan mengumpulkan santunan bagi insan musik atau untuk gerakan musik peduli. Ya, semisal musik peduli bencana.

Hari Duka Musik, kalau dianggap patut ada, tentu saja harus disebabkan dan memunculkan dampak kreatif pada kegigihan proses kreatif yang luas. Pada seluruh jenis musik, tradisional maupun modern, termasuk memicu geliat industri musiknya. 

Sekali lagi saya ingin katakan, dan ini sesungguhnya peringatan hidup, bahwa di depan setiap bencana, spiritualitas kita selalu diuji, untuk dewasa, cerdas, sensitif, dst. Di manapun dan kapanpun kita tidak boleh kehilangan tongkat.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, sangat sayang kalau saya tidak menyertakan saling bisik penyair Sunda, Godi Suwarna fengan penyair Ahda Imran, soal orang Sunda dengan budaya Sundanya yang telah memberi pengaruh dan melahirkan anak-anaknya yang berkulit sawo matang, kuning, hitam, putih, dan rupa-rupa warnanya di seluruh penjuru dunia. Kebetulan hal itu juga bagian dari perjalanan saya dalam NGAJI SUNDA dan ngaji kebhinekaan Indonesia selama bertahun-tahun. Bisa dilihat dalam catatan-catatan saya di blogspot.com seputar Ki Sunda dan Siliwangi. Bagaimana mustahil apa yang dibisikkan Godi Suwarna itu? Sebab 'spiritualitas orang Sunda' --- di dunia santri pasti akan ditafsirkan 'spiritualitas Islam', telah menjadi kesadaran universal di seluruh benua di muka bumi. Maka merasa besarlah orang Sunda sedunia, seperti Kang Godi yang rindunya nampak tak habis-habis pada tongkat yang dasyat, panjang dan besar. Pun dalam konteks, kebhinekaan Nusantara itu.

Oke. Kita pungkas dengan puisi yang di dalamnya mengandung frase, ular Musa. Semoga menyemangati generasi milenial:

TARIAN API UNGGUN

wajah-wajah muda dan yang kembali muda
meliuk di tengah arena
senyumnya mengalun gairah cinta
berangkat dari tenda-tenda
seribu rencana
tiga bisik-bisik
menghitung pertemuan-pertemuan
bola mata yang berbinar
merindukan suatu ketika
dan masa depan
dengan tujuan yang menyala api unggun
tidak cuma demi lingkaran
tetapi demi kenangan
sebab perjalanan adalah mimpi panjang
para pejuang dan penderma
pemuja kasih sayang
yang menimang-nimang mustika
kelembutan
yang tajamnya disarungkan 
sampai akar daun
di sekeliling bukit memberi tanda-tanda
dengan tujuan melagu merdu
berdendang riang
bersama pijar-pijar yang mengangkasa
menemui syair malaikat
di balik bulan
separuh tentang percintaan
separuh tentang kerja dan jalan lapang
jalan pulang
di tengah api wajah-wajah muda
dan yang kembali muda
seperti meliuk ular Musa
kadang sebesar genggaman
kadang menjelma raksasa
semua terpanggil mengendalikan
kekuatan dan kecepatan
kelembutan dan ketajaman
mesra yang waspada
senyum yang tajam
gelegar yang disembunyikan
setelah semua memotong kuku
dan merapihkan rambutnya
beberapa pramuka berkerudung
mengurai selendang
mengatur angin

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG