HIDUP RAMADAN (1)

hidup ini keyakinan
demikian firman Allah dan keramat utusan

Dari puisi Hidup Ramadan
Buku Tadarus Puisi - Penebar Media Pustaka - Yogyakarta 
----

Yang terdapat pada awal tulisan ini adalah bait pertama dari puisi saya, Hidup Ramadan. Adapun selengkapnya dari puisi tersebut adalah:

HIDUP RAMADAN

hidup ini keyakinan
demikian firman Allah dan keramat utusan

hidup ini sholat
sehingga 24 jam kita doa-doa keselamatan semata

hidup ini zakat
membaca fitrah diri
yang telah lahir tanpa daya dan upaya

hidup ini wajib puasa
sebab dengan menahan diri
akan hadir kemuliaan dan kesejahteraan

hidup ini selamat dan menyelamatkan
sebagai lautan manusia
telanjang tanpa kuasa
kecuali dalam kuasaNya

Kemayoran, 31 05 2017
-----

Benar. Tugas ceramah agama itu secara khusus memang milik kyai, ustad dan ulama yang biasa naik mimbar dan dipanggil kemana-mana. Setidaknya tradisi yang dipahami masyarakat umum memang begitu.

Dengan tradisi ini, kita tidak perlu pro-kontra soal garis profesional dari seorang penceramah agama. Sebab ia tidak dibayar karena isi dakwahnya atau ayat-ayatnya yang semata-mata milik Allah dan digratiskan buat siapa saja yang mau menuntut ilmu. Artinya, tidak ada peristiwa menjual dakwah atau menjual ayat di situ. Tetapi gaya ceramahnya yang terlatih dan menarik adalah sebuah proses kreatif dari seseorang yang patut dihargai. Belum lagi akomodasi untuk memudahkan kedatangannya. Pada bagian inilah kemudian seorang kyai, ustad atau ulama bisa mendapatkan hadiah atau honor. Bahkan besarnya uang panggilan ini bisa dibicarakan terlebih dahulu untuk tidak memberatkan pihak panitia yang mengundang.

Saya yakin hari ini dalam hal demikian sudah tidak banyak yang berpolemik. Paling-paling pada soal, sebagian ustad tidak biasa atau tidak bisa menyebut angka, sementara pada sebagian yang lain tidak keberatan menyebut angka.

Sementara pada kalangan lain yang paham agama, mana terfikirkan dipanggil ceramah dan dibayar? Meskipun ia sudah berihtiar, mewajibkan dirinya mesti paham agama sepaham-pahamnya. Bahkan telah berkali-kali menghatamkan kitab suci dengan memahami tafsirnya.

Mengapa demikian? Secara sederhana dapat diilustrasikan pada posisi strategis seorang kepala rumah tangga. Betapapun ia tidak punya tugas ceramah kemana-mana, minimal ia bisa menyelamatkan keluarga dan masyarakat yang besinggungan dengan keluarganya dengan mempraktekkan cara hidup yang islami, yang didasari oleh paham agama yang lurus.

Demikian pula manusia-manusia dalam profesi yang berbeda. Satu sama lain bisa saling nasehat-menasehati dalam kebaikan sesuai dengan urusannya. Sebagai seniman di dalam komunitas seniman atau di depan para pencinta seni, misalnya. Harus bersikap paham agama dalam segala ekspresi dan proses kreatifnya. Bukan malah sedang menentangnya. Termasuk di dalamnya sosok penyair. Kepada siapapun puisinya sampai dan bekerja, termasuk sikap-sikap kesenimanannya yang khas, harus bersendikan ajaran agama yang fasih.

Itu sebabnya, tidak penting memanggil tukang kendang atau sinden untuk ceramah agama. Tidak penting memperlakukan vokalis band atau penyanyi dangdut seperti kepada ustad yang diundang mengisi acara tablig akbar. Tidak penting pula mengundang penyair untuk jadi khotib dan imam sholat Jumat. Istilahnya, tugas-tugas itu sudah dibagi-bagi.

Saya sendiri sebagai jurnalis, seniman, penyair, dan Orang Radio Indonesia, dari dulu merasa sangat menikmati posisi saya. Merasa telah ditugasi Allah di situ dengan segala khasnya. Dalam kesibukan mesjid paling-paling saya sebatas menjadi ketua panitia peringatan hari besar agama atau koordinator dan penasehat remaja mesjid dengan multi aktivitasnya. Dalam kegiatan majlis taklim paling-paling posisi saya sebagai pihak penyelenggara dan pemandu acara. Pun demikian di radio-radio. Saya programmer, mengatur jadwal para ustad, dan sesekali jadi moderator, selain membawakan acara lagu-lagu Islami.

Khas pada saya tentu akan berlaku pada saya. Khas pada orang lain juga akan berlaku pada diri, potensi, eksistensi dan posisinya. Tetapi apakah dengan realitas demikian kemudian kita lalai untuk menjadi muslim yang kafah? Inilah persoalannya. Sehingga setiap pribadi muslim yang berniat menggapai ilmu tinggi dalam agama, tidak mesti berorientasi menjadi penceramah agama seperti yang sudah diuraikan di awal.

Catatan saya ini pada ujungnya menekankan bahwa hidup kita ini akan menjadi utama karena didasari oleh keyakinan yang kuat. Keyakinan yang lurus. Dan keyakinan yang posisinya berada paling tonggi di atas segala keyakinan adalah beriman kepada Allah dan Rasulnya. Itu sebabnya kita bersyahadat.

Syahadat tidak hanya berlaku pada kalangan kyai, ustad dan ulama. Demikian pun syahadat pada setiap hamba Allah tidak akan menggugurkan derajat keulamaannya di hadapan Allah. Sehingga ketika Rosulullah dan ulama penerusnya diibaratkan dua jari berhimpitan beriringan, mengapa ulama dan hamba Allah yang soleh dan istikomah tidak demikian?

Itu sebabnya ada istilah, ada ulama yang dikenal sorbannya (pecinya), ada juga ulama yang tidak terlalu dikenali sorbannya. Mungkin karena posisi kesibukannya sehari-hari yang berbeda. Bukankah para mujahid muslim itu sangat banyak yang sedang menjadi petani, nelayan, pengusaha, pegawai negri, tentara, karyawan pabrik, seniman, dll?

Pada bait pertama puisi Hidup Ramadan yang saya tulis di awal tulisan ini, adalah penekanan pada kedasyatan keyakinan seorang pribadi muslim. Berprofesi sebagai apapun dia.

Tanpa adanya keyakinan kepada Allah dan Rosulnya, apa artinya Romadon? Bahkan Romadon akan kehilangan ruhnya. Hancur lebur. Sebab Romadon hanya bisa menyambut hamba Allah yang kuat keyakinannya.

Akhirnya, dengan membaca keramat utusan, semoga kita bisa menyelami keramat diri.

Kemayoran, 07 05 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG