HIDUP RAMADAN (3)
hidup ini zakat
membaca fitrah diri
yang telah lahir tanpa daya dan upaya
Dari puisi Hidup Ramadan
Buku Tadarus Puisi - Penebar Media Pustaka - Yogyakarta
----
Pada awal berproses kreatif, terutama pada usia SMA, saya bertemu dengan dua bentuk penyajian puisi. Pertama sangat fokus pada bahasa yang indah dengan pilihan kata dan gaya bahasa yang selain difikirkan mendalam, kadang memasuki wilayah-wilayah yang agak 'njelimet'. Bukan tanpa alasan, sensasi puisi sebagai pola yang halal dari sebuah eksplorasi, juga meupakan daya tawar yang logis agar pembaca tiba-tiba dihadapkan pada 'sesuatu', yang khas, baru, menarik, memukau, bahkan bersifat misteri. Di sisi lain, kita juga perlu menggunakan bahasa yang sederhana. Selain demi kenyamanan pembaca umum, juga untuk memberi penekanan bahwa maksud-maksud di dalam puisi, meskipun kompleks dan ambigu, jauh lebih utama daripada sekadar mengakali kata dan kalimatnya agar menonjol atau rumit dengan argumentasi sedang ber-susastra. Berindah-indah yang tidak sekadar berbahasa.
Menjelang tahun 2000-an saya mendapati apa yang saya sebut Syair Wangi. Yaitu puisi jadi, puisi kerja, yang sudah terbingkai sempurna oleh kekuatan tauhid dan pemahaman atas ajaran suci untuk para manusia. Berada dalam sibghoh Allah. Yang tentu saja menunjukkan sinaran yang indah, selalu indah dan menakjubkan, meskipun kadang dalam pilihan kata dan bentuk kalimat yang simpel, tetapi mengalir penuh perasaan dari lubuk hati seorang mukmin-muslim. Di bekakang hari saya juga menemukan catatan-catatan tentang Sastra Hizib, yang jika dilihat dari istilahnya menunjukkan hal yang mirip dengan argumentasi Syair Wangi. Sehingga doa-doa para wali atau ulama, bahkan nasehatnya yang dibukukan, tersusun selayaknya bait-bait puisi, pun merupakan sastra hizib atau syair wangi.
Perbedaan sastra hizib dengan proses kreatif syair wangi bisa dilihat dari sumber inspirasinya. Sastra hizib memasukkan pula syair-syair yang bersumber dari teks doa, ceramah, dan nasehat ulama berpengaruh ---setidaknya di suatu pesantren atau kawasan tertentu--- yang kemudian disusun layaknya baris dan bait puisi, sedangan syair wangi sejak semula memang sudah diniatkan untuk melahirkan puisi.
Ya, keduanya sama-sama puisi. Khazanah sastra Indonesia.
Dengan argumentasi ini, maka saya bisa leluasa menulis puisi seperti berikut ini, sekaligus memaklumi penyair lain ketika membuat yang mirip dengannya:
Allah
Allah
Allah
Allah
Allah
Allah
Allah
Atau seperti bait ketiga dari puisi Hidup Ramadan yang tertera di awal tulisan ini. Karena pilihan katanya yang simpel, sepintas bisa dikomentari, "Ini puisi atau tulisan pada buku pelajaran agama?":
hidup ini zakat
membaca fitrah diri
yang telah lahir tanpa daya dan upaya
Selanjutnya selintas saya ingin bicara kedalaman bait ketiga tersebut.
Pada hakekatnya, manusia itu sejak Nabi Adam AS, adalah fakir miskin. Tak punya apa-apa dan tak sanggup sama sekali mengadakan apa-apa. Sampai-sampai iblis terheran-heran Allah menciptakan manusia yang begitu lemah. Tapi Allah maha segala-gala. Dia maha lebih tahu dan menepati janjinya, memberikan akal dan petunjuk jalan yang lurus, serta kekayaan yang berlimpah-limpah di muka bumi.
Dari mula itulah anak manusia berdaya untuk berzakat dan bersedekah kepada dirinya sendiri agar tidak kelaparan. Serta mendatangkan berbagai bentuk kesejahteraan yang lain. Maka pada kenyataan ini, adakah manusia bisa menolak prinsip zakat yang wajib, sedekah dan nafkah hidup, dengan menyadari sesadar-sadarnya eksistensi dan keadaan dirinya sendiri? Bukankah menurut ilmu pengetahuan yang kita pelajari sejak sekolah dasar, jika manusia tidak makan dan minum akan mati? Masihkah kita mempertanyakan, seberapa wajib makan dan minum itu?
Lalu anak-cucu Adam pun tumbuh kembang menjadi banyak. Bersuku-suku, berbangsa-bangsa. Menempati setiap daerah yang keadaan dan tantangannya berbeda-beda. Belum lagi harus menjalani kondisi pribadi-pribadi dan keluarga yang berbeda-beda pula. Maka kita jadi teringat pada peristiwa awal itu. Dalam kondisi tak berdaya-upaya, Allah telah memberi kemampuan kepada kita untuk mengatasi keadaan, dimulai dari kebutuhan pokoknya. Maka demi melihat saudara-saudara kita yang kurang beruntung, miskin dan menderita, kita jadi disadarkan, dicerahkan, pada kewajiban berzakat itu. Disadarkan untuk berinfaq dan bersedekah. Juga bantu-membantu apa saja agar fakir-miskin bisa tertolong kondisinya, dan bisa memenuhi nafkah hidupnya secara normal.
Kita sama-sama tahu, hidup miskin itu memang bukan suatu permintaan, juga bukan suatu yang menyenangkan, tetapi jika keadaan itu menyergap, maka kita harus gigih menghadapinya. Tetapi dalam batas-batas maksimal upaya kita, tidak mustahil kita masih belum beruntung juga. Di sinilah saling tolong-menolong itu menjadi sangat utama. Itu sebabnya jangan heran kalau kemudian dibentuk para petugas, kepanitiaan, lembaga-lembaga yang sudi menampung zakat, infaq dan sedekah, untuk menyelamatkan saudara-saudara kita. Sebab mereka adalah kita. Kita ini satu tubuh satu nyawa. Sakit mereka adalah sakit kita.
Saya rasa semakin diselami, kita akan nampak semakin telanjang dan tak punya apa-apa. Kecuali hanya tertolong oleh Allah yang maha berdaya-upaya dan memiliki apa saja. Subhanallah.
Selanjutnya silahkan baca selengkapnya puisi Hidup Ramadan berikut ini:
HIDUP RAMADAN
hidup ini keyakinan
demikian firman Allah dan keramat utusan
hidup ini sholat
sehingga 24 jam kita doa-doa keselamatan semata
hidup ini zakat
membaca fitrah diri
yang telah lahir tanpa daya dan upaya
hidup ini wajib puasa
sebab dengan menahan diri
akan hadir kemuliaan dan kesejahteraan
hidup ini selamat dan menyelamatkan
sebagai lautan manusia
telanjang tanpa kuasa
kecuali dalam kuasaNya
Kemayoran, 31 05 2017
-----
Kelayoran, 09 05 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar