BAB UMUR DAN HARI LAHIR BUNG KARNO

TIANG CAKRAWALA 

tak ada waktu untuk menjadi tua
sebab penanggalan hanya siap menyebut ada
setia dan mulia 
gemuruh semangatnya 
gulung menggulung gunung
menggetarkan tanah-tanah datar
ke laut menjadi dalam
membentangkan atau menenggelamkan 
ke langit menjadi luas
mengibarkan atau meruntuhkan 
ke dalam diam menjadi tentram
tiang cakrawala teduh dan tenang

Kemayoran, 28 10 2018
Dari antologi JALAK, Jakarta Dalam Karung, JM-Bandung.
-----

6 Juni 1901 adalah hari lahir Bung Karno. Berarti hari ini usia Sang Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia itu 118 tahun. Ini jika dilihat bahwa selama masih ada yang mengingatnya dalam kebaikan, maka seseorang tokoh itu masih terus bertambah umur hidupnya. Bahkan menurut prinsip hidup mulia, ketika nama seseorang sudah tidak disebut-sebut karena sudah terlupakan secara alamiah, akibat kurun waktu yang sudah sangat lampau, maka umurnyapun masih terus bertambah selama paradigma dan gagasan-gagasan baiknya masih melekat pada kehidupan manusia.

Begitupun dengan tubuh seseorang. Jika dia itu nasionalis, maka tubuhnya sebesar Indonesia. Dan jika dia sangat humanis-relijius maka tubuhnya seluas dunia. Maka kita tidak bisa mengingkari atau menjatuhkan tubuh dan prinsip nasionalis-relijius itu. Sebab itu erat kaitannya dengan hukum Allah.

Subhanallah. Maka berapa umur Nabi Nuh, Ibrahim dan sulaiman? Sebesar apa tubuh mereka? Lalu bakal seperti apa kabar umur dan tubuh Muhammad SAW, dihitung sejak Nur-Muhammad hingga alhir zaman?

Saat ini memang momen ngaji umur yang baik. Sebab baru saja kita menunaikan puasa Ramadan 1440-H. Dan tepat dalam suasana silaturahmi, halalbihalal di hari kedua Idul Fitri, kita menemui lagi hari lahir Sang Putra Fajar, Ir. Soekarno. Sosok kharismatik bagi kemerdekaan dan pancang ke depan ke Nusantaraan kita. Sehingga wajar, mumpung kita sedang marak bicara umur tokoh nasional kita, kita bicara juga posisi dan harga umur bagi kehidupan yang luas. Yang dicatat dan diharum-wangikan oleh malaikat, serta diabadikan oleh kuasa Allah SWT.

Menghikmati ini, kita jadi disadarkan untuk berkesaksian, bahwa setiap pribadi manusia, tanpa kecuali, harus mampu menempatkan nama baiknya dan manfaat dari nama baiknya itu bagi kehidupan yang selamat. Minimal mulai dari dihargai sebagai insan soleh di rumah masing-masing, yang bernilai syiar baik (dakwah mulia) di seluas kampung, kabupaten, propinsi, pulau tempat domisili, seluas Indonesia, dan seluas dunia.

Untuk menemani penghayatan anda akan hal umur ini, saya suguhkan satu Nalikan, bagian dari puisi pendek Indonesia yang pernah saya tulis, sbb:

SUATU

suatu (3)
itu (2)
aku membeli (5)
waktu (2)
---

Pada awalnya seseorang muda yang pernah kita sayangkan ketika mati muda dalam jihad hidupnya, adalah kabar baik bagi saudara dan teman-temannya. Itu adalah proses harum wangi namanya yang terus bekerja. Enerji yang tak pernah mati. Sampai setiap kebaikan-kebaikannya adalah persenyawaan seluruh kebaikan yang menyelamatkan hidup di seluruh muka bumi Allah. Maka sungguh besarlah nama baiknya itu. Demikian pula pada figur seorang ayah atau seorang ibu yang sangat kharismatik bagi sanak famili, tetangga-tetangga dan seluruh kerabat sosial atau jaringan komunitasnya.

Maka propaganda hidup itu ternyata adalah, "Jangan sia-siakan umurmu". Tentu kalau pada momen 6 Juni 2019 ini kita mengingat umur Bung Karno, maka yang kita hikmati adalah kebaikan-kebaikannya untuk bangsa dan negara ini, serta untuk kemanusiaan di muka bumi.

Di mulai dari mengingat hari lahir Bung Karno, lalu merembet kita bisa mulai mengingati umur para tokoh nasional yang berpengaruh baik di negri ini. Baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat dan dipahlawankan. Lalu kita mengingati juga tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat yang harum nama baiknya. Termasuk yang terdekat di kampung-kampung kita. Sampai mulai menyadari, betapa utama menghormati orang baik, dan lebih utama lagi menjadi orang baik.

Maka terlepas dari segala sisi baiknya, jika demokrasi memberi peluang rusaknya nama baik banyak orang karena harus 'bersikap gila' demi demokrasi, ini patut dicurigai. Menjadi semacam sikap sosial yang barbar, semau-maunya, yang penting berusaha menang. Ini penting, karena pada 6 Juni ini kita baru saja menuntaskan Pileg dan Pilpres yang sangat banyak menguras enerji lahir batin bangsa ini.

Tapi dalam hidup ini ada juga pengingat agar kita tidak terjebak pada sikap asal-asalan terhadap keabadian umur kebaikan yang bekerja. Disebutnya, penyakit keabadian. Penyakit yang terdekat pada orang baik adalah kemalasan dan kekonyolan. Biasanya ditunjukkan dengan cukup 'nrimo' hidup apa adanya, sebisanya saja, sesempatnya saja, yang penting tetap jadi orang baik. Sebab memang begitulah umur keabadian. Akibatnya ia tidak pernah mendapatkan kemajuan-kemajuan yang berarti, sampai banyak yang nelangsa seumur hidup. Itulah yang mentradisikan kemalasan-kemalasan. Bisa menular secara tidak sengaja pada suatu kampung atau daerah tertentu.

Kita akhirnya harus membedakan, mana orang yang gemar bermalas-malasan sehingga nelangsa hidupnya, dan mana orang yang sesungguhnya bukan pemalas tetapi telah ditempa cobaan-cobaan berat sehingga terlantar hidupnya.

Berikutnya yang bersifat kekonyolan. Misalnya dengan beralasan spirit jihad maka beberapa pemuda bahkan yang masih remaja belia, berani maju perang (jihad) tanpa perhitungan matang. Pendeknya, cuma modal emosi dan keberanian semata. Sehingga keteledorannya itu harus dibayar mahal, memudahkan tumbangnya tulang punggung bangsa pada usia muda. Seperti mati sia-sia saja. Padahal kalau mereka mau sedikit bersabar dan mengikuti strategi yang lebih baik, mereka masih bisa memiliki masa depan untuk menyelamatkan agama, bangsa dan negaranya. Masih terus bermanfaat dalam waktu yang panjang. Tidak cuma sebatas meneruskan estafet nama baik dari pejuang satu ke pejuang berikutnya.

Dan masih ada satu lagi. Ini yang paling bahaya. Keabadian yang dibeli dengan cara gegabah dan salah. Misalnya dengan berani mati muda di jalan salah, tetapi dia merasa itu kebenaran.

Subhanallah Ramadan 1440-H kali ini memberikan banyak renungan untuk kemuliaan kita sebagai pribadi-pribadi, sebagai bangsa, dan sebagai hamba Allah di muka bumi. Semoga kita tidak berlepas diri dari manfaatnya. Amin.

Kemayoran, 07 06 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG

TEU HONCEWANG