JATUH DI NEGERI POCI

TARIAN LUKA BAWAH TANAH

bukan, bukan persiapan menunggu
perang nuklir atau senjata kimia
atau senjata biologi
bukan, bukan karena senjata sudah diarahkan
nuklir dan senjata kimia sudah diposisikan
bahkan senjata biologi tinggal ditebarkan
tapi, dalam jurus-jurus silat  
kita mengendus dari bawah tanah
proses pembunuhan sudah dimulai
meskipun tidak selalu menguburkan nyawa 
ritual penyiksaan sudah dijalankan 
meskipun atas nama kemanusiaan dan kesejahteraan
orang-orang sudah diracun
oleh teori-teori kebusukan yang dibalut keindahan
virus-virus jahat menguasai darah
setelah disuntikkan dan disemprotkan oleh semangat kekebalan
dan kita membacanya dari bawah tanah
dalam bahasa suci mata air kehidupan 
menggeliat menciptakan kekuatan
terus memperkuat pertahanan dan perlawanan
mendidik api di batu-batu pengajian 
menarik dan mengendalikan angin diam-diam 
lalu sejak kapan kau lupa
menyebut gerakan bawah tanah telah berakhir?
ok! kau cuma butuh menyebut, 
ini tarian pagi cahaya 
tarian senja mempesona  
tarian malam telanjang 
kali ini bukan soal menumbangkan kekuasaan
tetapi menghadapi para penumpang gelap kekuasaan
bukan melawan negara
tetapi menghadapi penghancur bangsa dan negara
bukan menghancurkan ideologi
tetapi membuka mata kemanusiaan dan keadilan 
dan biarlah, kau mendengarnya seperti lembah longsor
dan guncangan gempa belaka 
sebab begitulah tenaga yang menenggelamkan
diabaikan dan menakutkan

Kemayoran, 2018
Dari 8 puisi saya yang Tidak Ada Di Pesisiran
------

Cukup sudah kalimat itu. Menghunjam dan bertubi-tubi. Disertai sepuluh jari yang menunjuk-nunjuk. "Belajar nulis puisi saja terus, biar suatu saat nanti bisa lolos di Antologi Dari Negeri Poci (DNP)". "Saya dulu juga tidak lolos, karena puisi saya masih buruk, tetapi setelah belajar terus-menerus dan mempelajari maunya antologi Dari Negeri Poci akhirnya puisi saya lolos juga. Jadi anda sebaiknya seperti saya". "Penyair yang ada di antologi DNP itu orang-orang hebat, karyanya pun bagus-bagus, sebaiknya anda mempelajari karya mereka dulu seperti saya". "Tenang saja, masih ada kesempatan di antologi yang akan datang, mudah-mudahan karya anda bisa lolos". "Saya sudah baca 8 puisi anda, juga tulusan-tulisan anda yang lain, teruslah pelajari cara menulis puisi sampai lolos di DNP".

Bagi seorang Gilang Teguh Pambudi yang 8 karyanya 'terusir' tanpa kejelasan yang 'masuk akal' apresiasi sastra, kalimat-kalimat itu datang seperti petir. Bahkan sebagian seperti petir yang kejam, disertai terkekeh-kekeh dan terbahak-bahak. Meskipun beberapa teman yang memahami posisi saya cukup diam atau justru berucap, "Saya juga tidak mengerti, mengapa bisa jadi begitu".

Maka tidak bisa disalahkan kalau pada saat mengomentari pihak yang mengritisi saya di media sosial saya sempat menulis, "Wajar saya kasihan, kalau sampai Komunitas Dari Negeri Poci berubah menjadi Komunitas Dari Negeri Abal-Abal". Sebab itu karma yang buruk.

Saya yakin, beberapa penulis di antologi DNP, yang tidak ikut ribet ribut, pasti akan nyaman-nyaman saja. Gak pernah punya masalah. Apalagi punya nama besar. Saya pun tetap salut dan angkat topi.

Terakhir, hari ini saya mengomentari kalimat Rini Intama sbb.:

---
Rini Intama:
"Gilang Teguh Pambudi.
Semangat  mas  lain  waktu pasti  bisa lolos.   Menulis terus ya.  Karena dalam sebuah kompetisi menang  kalah  itu biasa.  Apalagi  antologi  puisi  lolos  gak  lolos  itu  sesuatu  yg  biasa juga  menurut  saya.  Salam".

Saya:
"Rini Intama, ini bukan kompetisi. Kompetisi itu juaranya hitungan jari. Setidaknya begitu persepsi umum. Misalnya lomba cipta puisi atau cerpen. Sedangkan ini pengumpulan dan penjaringan kualitas puisi yang memuat ratusan karya dari ratusan penyair. Jauh beda. Bumi langit.

Saya tidak minat lolos di masa yang akan datang karena gak akan pernah ikut lagi.

Karena saya penyair. Bukan penyair baru apalagi dadakan. Tiap hari kerjanya menulis, menerbitkan buku, dan sewaktu-waktu naik panggung. Maka pesan, "menulis terus", sudah terjawab".

Saya juga masih mengajar cara bikin puisi, jadi juri puisi di mana-mana, dan pembicara soal puisi. Ohya, alhamdulillah, anak saya berbekal 'kemampuannya' pernah dua kali juara menulis puisi Surat Kabar Pikiran Rakyat. Meskipun jiwa kepenyairannya hari ini tidak nampak menonjol.
----

Saya akhiri catatan singkat ini dengan puisi ke delapan dari 8 puisi yang tertolak dari antologi puisi Pesisiran, DNP. Sebab saya, kuda liar yang merasa romantis.

LAKI-LAKI LAGI MELAGU

"aku butuh ibu
cinta yang melahirkan cinta
sampai senja dipenuhi kenangannya
sebagai buku-buku 
yang tak perlu ditiup debunya"

"aku butuh istri
jantung hati yang menjaga cinta
sampai kecemasan-kecemasan
diolahnya di dapur
menjadi hidangan kehangatan 
keyakinan
dan kesabaran"

"aku butuh perempuan
kalimat Tuhan pembakar cinta 
sampai seluruh pertemuan
di hati
di halaman istana 
di jarak yang dipanggungkan 
adalah pembicaraan mesra 
keadilan dan kemanusiaan"

"aku butuh ratu
baiat langit kepada kebangkitan bumi 
sampai kutitipkan kelaki-lakianku
pada peradaban yang diciptakan
sehingga kau kawini
keagungan dan kesetiaan"

"aku butuh anak gadis
umur cinta yang dirindukan cinta
sampai seluruh kekuasaan masa depan
adalah ladang tanaman
keberkahan"

Kemayoran, 2018
---

... maka demikianlah kerja puisi. Setia.

Kemayoran, 14 06 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG