MANUSIA SEPERTIGA MALAM TERAKHIR TERTOLAK ANTOLOGI PESISIRAN
MANUSIA SEPERTIGA MALAM TERAKHIR
setelah membagi Romadon
menjadi tiga
yang seperti puzzle
disusun berabad-abad
aku selalu menggenggam cahaya
melintasi tiga perjalanan
yang berakhir di atas sajadah
pada sepertiga malam terakhir
seperi minum zamzam abadi
aku mengambilnya
meneguknya
dan berakhir pada rasa syukur
karena selalu menikmati yang diminta:
setelah melewati syariat dengan tarikatnya
mendapati cahaya hakekat
berdiam di makrifatullah
setelah gagal membagi Romadon
menjadi tiga
yang seperti pekerjaan rumah
sepanjang sejarah manusia
aku selalu menggenggam cahaya
melintasi satu perjalanan saja
di dalam selengkap sunah Nabi
yang disebut perjalanan
sepertiga malam terakhir
seperi minum air surgawi
aku menikmati syukur tak berkesudahan
karena semua telah Allah sempurnakan:
setelah makrifatullah
menjalani kesiap-siagaan yang ihlas
dalam ukuran-ukurannya
menjadi rahmat bagi diri
bagi kehidupan manusia
dan alam raya
Kemayoran, 2018
Dari 8 puisi yang Tidak Ada Di Pesisiran, cannadrama.blogspot.com
------
Terlalu banyak kalau bicara 'kegilaan' penyair. Sampai yang dibilang sangat aneh oleh masyarakat manusia pada umumnya. Tetapi jatidiri penyair tetap saja, ini kesemestian, bagian dari orang-orang baik yang percaya jalan keselamatan. Tidak ada pengingkaran atasnya.
Suatu hari dulu di sela-sela kerja sebagai Manajer Radio, juga di sela-sela memimpin berbagai even panggung, termasuk dangdutan, selain melakukan sholat wajib 5 waktu saya melakukan beberapa sholat sunat dalam sehari. Sampai kulminasinya saya sangat menikmati sholat mutlak, yaitu sholat yang bisa dilakukan kapan saja, tanpa batas waktu. Dan nyaris setiap beberapa menit sekali saya harus melakukannya. Kecuali saat jeda koordinasi hal-hal tertentu. Itu berlangsung beberapa hari. Sampai saya bilang pada diri sendiri, "kemutlakan pasrahku kepada Allah adalah sholat mutlak". Lalu saya berhenti melakukannya. Sewaktu-waktu saja. Kalau tidak berkalimat demikian mungkin saya akan terus melakukannya. Dan yang terbaik adalah rutinitas yang teratur dari sholat yang wajib itu.
Suatu waktu yang lain, saya sangat menikmati safari sholat Jumat berpindah-pindah mesjid. Saya sangat antusias melakukannya tanpa terputus, sampai melakukan sholat di 40 Jumat, 40 Mesjid. Sangat indah dan nikmat. Apalagi kita bisa merasakan aura khas sekeliling, bahkan bau keringat masyarakat yang berbeda-beda. Selain itu, di luar mesjid Jumat biasanya selalu ada beberapa pedagang makanan yang siap menyambut jamaah. Jadi, selain sholat, kita pun bisa meikmati wisata religi.
Gara-gara itu, selang beberapa saat kemudian saya bernafsu untuk melakukan safari Jumat ke 40 mesjid yang lain lagi. Sehingga genaplah 80 mesjid. Dan beberapa saat kemudian saya harus mengulanginya lagi, sampai berakhir pada sebuah jalan yang bertuliskan Jalan Mesjid. Di situ saya berkata, "Aku sudah di jalan mesjid. Selalu dan selamanya". Maka saya mengakhiri semangat menggebu-gebu dari safari Jumat itu. Bahkan sempat menulis di media sosial, kurang lebihnya begini, "Jangan ditiru nafsu begitu. Walaupun tidak akan pernah menyiksa siapapun yang terlanjur sangat menikmatinya, kita bisa terus menggebu, terus menggebu, bahkan terlalu menggebu. Sebaiknya Safari Jumat, lakukan saja secukupnya, atau pada waktu-waktu yang terpilih saja. Dan yang paling nikmat, selalu menikmati, memahami, dan mengamalkan maksud Jumatan".
Pada saat yang lain lagi, saya sedang terpesona oleh manusia sepertiga malam terakhir. Maka meluncurlah dari ujung pulpen saya, banyak puisi dengan tema malam. Seperti tak terkendali. Bahkan kemudian saya dibuat heran, seperti ada yang tahu rupanya, entah dari mana, padahal puisi-puisi saya tersembunyi di 'laci meja'. Seseorang tiba-tiba menghampiri saya saat menjadi MC di acara Malam Puisi yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Daerah. Dia bilang, "Bang, kalau tertarik, ikutan bikin puisi di antologi puisi yang akan diseleksi oleh Sapardi Djoko Damono. Temanya tentang malam. Informasinya ada di internet". Saya jawab semangat, "Insa Allah". Memang ada minat saat itu. Tetapi beberapa waktu berlalu, ternyata saya tidak pernah membuka informasinya di internet. Tidak pernah mengirimkan karya-karya saya. Dan tidak pernah tahu perkembangan rencana itu. Dan .... selanjutnya saya juga tidak tahu, puisi-puisi saya sendiri hilang entah ke mana? Mungkin karena saya tidak rapih menyimpannya. Mungkin sudah terbuang. Lalu saya sadar, saya sudah ada di sepertiga malam terakhir. Ketika Ramadan pun dibagi tiga.
Sesungguhnya kebaikan itu, apapun, bagaimanapun, bukan kegilaan. Itu hal normal belaka. Atau, istilah kegilaan memang sudah lazim dipakai di kalangan penyair menjadi bagian dari proses kreatifnya sebagai orang baik. Yang ditandai oleh ketidak-umumannya. Atau berbeda dari biasanya. Sebab ketika kegilaan yang dimaksud adalah suatu perbuatan jahat, misalnya, saya tidak bisa paham. Karena saya tidak bisa berempatik dengan membela diri, "Pada saat itu saya sedang dalam kegilaan saya memang".
Tiba-tiba, ketika saya tertarik pada undangan dari Komunitas Dari Negri Poci untuk membuat puisi-puisi bertema Pesisiran dan Non-Pesisiran, romantisme pada manusia sepertiga malam terakhir itu muncul kembali. Saya bisa mengerti, manusia seperti ini pada waktu bersamaan sangat bisa memahami Romadon yang dibagi tiga, sekaligus tidak akan pernah bisa membaginya. Pun untuk malam, hingga sampai di sepertiga malam terakhir. Hal yang biasa saja sesungguhnya, tetapi luarbiasa. Tinggi.
Sampai akhirnya di awal Syawal 1440-H, saya harus menerima, puisi Manusia Sepertiga Malam Terakhir itu, bersama 7 puisi saya lainnya, tertolak dari antologi puisi Pesisiran. Tetapi dia tetap harus kerja seperti biasanya, dan menghadapi setiap tantangan yang kadang datang tidak seperti biasanya.
Kemayoran, 10 06 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar