PAGI YANG MENARI DI PANTAI TANPA PESISIRAN
PAGI YANG MENARI DI PANTAI
seorang tua mengelus janggutnya
di landai pantai
ombak-ombak diperas jemari tangannya
lalu dikibaskan ke udara
menjadi gelembung permainan
ia tidak perlu mencetak ketakutan
atau diam-diam bikin kekuasaan yang mengendalikan
ia hanya menembak jantung bintang
sehingga airmata hidup dan perlawanan
selalu dalam gelembung yang sama
warna-warni
strategi
pagi yang menari di pantai
Kemayoran, 2018
Dari 8 puisi yang Tidak Ada Di Pesisiran,
cannadrama.blogspot.com
-------
Melahirkan puisi demi kerja hidup puisi, tidak sebatas mengandalkan kemampuan bermain-main kata atau olah sastra. Tetapi harus mengandung kekayaan, bahkan kejelasan pencerahannya. Mendatangkan suasana interaksi yang efektif dan kontemplasi mendalam antara puisi dan pembacanya. Kalau akan terkumpul dalam suatu buku antologi puisi dengan tema tertentu, harus menunjukkan ketepatan tema dan kesesuaiannya dengan suasana yang akan dibangun.
Dengan semangat itu pula saya telah menulis 8 puisi untuk antologi Pesisiran, Komunitas Dari Negeri Poci, 2019. Salahsatunya adalah puisi Pagi Yang Menari Di Pantai, yang saya cantumkan di awal tulisan ini.
Ketika saya kecewa karena ternyata puisi itu dan 7 puisi saya lainnya tidak lolos seleksi, ada pihak-pihak yang menitipkan kalimat, "jangan putus asa", "jangan sakit hati", dan "tetap semangat". Saya mafhum dan tetap bersyukur. Tetapi mendadak saya seperti harus berada di tiga posisi. Pertama, terus belajar menulis agar lebih berkualitas dan bisa lolos seleksi. Kedua, masih ada peluang ikut antologi lain atau di masa yang akan datang. Meskipun itu terlalu bicara produksi buku (pabrik) bukan soal momen yang sudah dikabarkan dan akan saya manfaatkan setajam-tajamnya. Ketiga, saya tidak legowo. Kalimat ini tentu berbeda dengan kalimat lain yang mengamini kekecewaan saya.
Tentu saya sudah jelaskan, ini keresahan yang ada penyebabnya, bukan pengharaman penolakan puisi. Apalagi sudah jadi rahasia umum, pada setiap even penyeleksian karya untuk antologi puisi maupun lomba cipta puisi, hampir selalu ada beberapa peserta yang baru memulai berpuisi dengan kelemahan serius di sana-sini. Tetapi, tidak jadi salahsatu juara dari penentuan 6 pemenang lomba cipta puisi adalah wajar. Jika keenam juaranya sangat kompetitif, apalagi jauh lebih menarik dari puisi saya. Karena sudah dimustahilkan 10 atau 20 puisi terbaik jadi juara.
Tidak dimuat kolom koran juga wajar, karena dalam sekali seminggu paling-paling cuma bisa memunculkan 2-3 penyair. Sebab ruangnya sangat-sangat terbatas. Paling-paling kalau kita mau curiga, ketika pihak penyeleksi puisi koran bersembunyi di balik "kebijakan redaksi", atau selalu berkecenderungan pada 'komunitas penulis korannya' yang sudah lama terbentuk meskipun tanpa wujud, dan sudah sangat dekat hubungan emosionalnya. Apalagi jumlahnya sudah cukup banyak. Tentu sangat menyulitkan kalau para penyairnya produktif. Kalaupun tiba-tiba bisa nongol nama baru, yang belum lazim di koran itu, sangat jarang-jarang. Ini bisa dicurigai. Namanya juga wilayah kebebasan mencurigai.
Tetapi buku antologi puisi jauh lebih banyak lembarnya. Lebih tebal. Kalaupun membatasi jumlah penyair, seselektif apapun prosedurnya, akan ada semacam kepercayaan pada karya-karya terentu dari penyair-penyair tertentu, yang kualitas puisinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Terbuka untuk apresiasi umum. Sesuai dengan ketentuan tema dan ketentuan lainnya. Kalaupun terpaksa harus tersingkir, tentu karena alasan tidak disukai atau "nanti saja, kapan-kapan". Atau karena, tersingkirkan tanpa sengaja, yang pasti minta dimaklumi.
Kalau alasannya, setebal apapun halaman buku itu membatasi, saya mungkin harus husnuzon, puisi-puisi saya gagal muat karena pihak panitia tidak mungkin menambah 8 lembar lagi. Apalagi kalau saya menyebut "Saya" dengan tanda kutip dan S besar. Maksudnya menunjuk juga mereka yang bernasib seperti saya. Kekurangan halamannya tentu lebih banyak. Oke! Yang jelas kalau terpaksa harus dilihat dari sisi ini, bisa jadi "Saya" tersingkir karena persaingannya di zona degradasi batas maksimal jumlah halaman. Dan itu menyedihkan, bukan menyakitkan. Dan sesungguhnya tidak perlu diobati dengan kalimat, "tetap semangat". Karena tidak ada kelesuan dari sebuah kegagalan. Sebab puisi-puisi saya sebenarnya lolos kalau halaman bukunya ditambah. Meskipun sekali lagi, lolos dengan sangat menyedihkan, ibarat rengking terakhir di kelas.
Sebuah antologi puisi juga sering kali berhadapan dengan persoalan yang sering saya bahas. Yaitu sisi menarik dan khasnya antologi puisi komunitas yang minta dimafhumi. Yaitu ketika di dalamnya terdapat beberapa karya dari penyair-penyair yang sudah malang-melintang kiprahnya di dunia sastra (maaf, tidak cuma pakai ukuran koran atau majalah), punya popularitas yang bagus dalam suatu ukuran tertentu, tetapi ada juga beberapa penyair bagus yang baru memulai aktif berkarya. Bahkan di kalangan senior suka ada bisik-bisik, "Gila Si Fulan. Calon gila!" Tapi tahukah anda, bisa jadi sebagian ---bahkan sebagian besar--- dari suatu antologi adalah para pencinta sastra, penikmat sastra, aktivis kegiatan literasi, yang senang sekali punya kesempatan bergabung dalam suatu antologi. Begitu saja. Biasa. Sehingga ketika fenomena ini ditarik ke suatu model antologi yang disebut sangat ketat seleksinya, pertanyaannya, ketat yang bagaimana?
Selanjutnya saya dari atas bukit lebih tertarik membicarakan puisi-puisi saya yang tidak lolos itu. Bukan bentuk pembelaan. Sudah final. Tidak ada urusan di lembah. Tetapi seperti kelahirannya, mereka harus kerja. Itu prinsip!
Puisi Pagi Yang Menari Di Pantai adalah harmoni dari sebuah kontradiksi antara usia tua dan semangat pagi. Siapapun tentu bisa memklumi maksud saya. Betapa sebuah negri, termasuk negri tubuh kita, harus memahami senja, sepertiga malam terakhir, tetapi menggelegak seperti semangat Sang Fajar. Bukan pikun dan lemah. Apalagi kalau yang sedang dikerjakan adalah, perang. Menegakkan supremasi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Yang tua dan memgelus janggutnya itu selain memiliki arti harfiahnya, tentu juga kita semua, lelaki dan perempuan, usia berapapun, karena hidup selalu di ujung waktu terakhir. Tapi kita pulalah yang mendidih di tanah pergolakan. Dalam kenyamanan, ketentraman dan kesejahteraan yang terus dipertaruhkan. Sambil terus menenangkan dan menghibur anak-anak. Dan pada bagian ini tentu paling sensitif dan menonjol karena bernilai edukasi. Ngemong.
Tentu dosa besar kalau kita serba menyemai rasa takut dan menyerah. Hidup cuma bisa menghamba pada 'kekuasaan yang bengis'. Pun, kita tak perlu menjelma raksasa bengis ---yang sering disembunyian di balik wajah Buroq biar menipu, yang memberi ketakutan-ketakutan dan mengendalikan, mematikan pencerahan kemanusiaan yang saling menyelamatkan dan saling menghormati. Atau keterlaluan, karena membangun rasa kelewat nyaman bersama-sama, bahwa sesungguhnya bersama Tuhan hari ini kitalah penguasa sejati, betapapun sedang kalah, direndahkan, tersiksa dan jauh dari semangat kebangitan. Sebab itu tidak cukup. Belum selesai urusan. Sehingga kita harus terus perang. Termasuk memerangi nafsu iblis dalam diri. Untuk menang. Untuk hari ini dan masa depan. Termasuk, masa depan yang dimaksud itu adalah hari ini, yang kita sebut masa depan pada tujuh hari atau tujuh tahun lalu.
Kemayoran, 11 06 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar