SERIUS, SERU DAN LUCU KOMENTAR TIDAK ADA DI PESISIRAN

SATRIO PININGIT 2 

tubuh batu yang berjantung air
sebab bumi menengadah menampung hujan
berkah yang tinggi
tentu dalam cinta dan rasa manusia
sebab gunung-gunung sudah pasrah 
tak mau mengalahkan tinggi
kemuliaan menjadi mahal
hanya milik para pemenang
di mana imam?
di mana imam?
ia cahaya selengkung bumi yang kau sebut Mahdi
atau apapun mulianya
ia ilmu
ia tinggi
bahkan sunyi laut telah memanggilnya
kedalaman yang tidak bisa diukur
sebab ia mengangkat nama, Rosul akhir zaman
mengawal terbit dan tenggelam matahari, matahati
menemani nyanyian burung pada batu
pada kayu
dan sejarah kota-kota juga menyerah
tak bisa sembunyi dari namanya
gemilang peradaban
yang membuat anak-anak riang
dijanjikan ketemu Tuhan Yang Maha Penyayang
ia menemui dan ditemui
sampai Allah berkata, "Ya! Waktunya tiba.
Damai sejahtera. Damai sejahtera.
Samudra berubah air sorga
merembesi takdir suci batu-batu".
siapa di depan?
semua terdepan!
maka diam batu
rindu yang tahu
semedi jadi
doa peristiwa
wangi yang lembut menyudahi luasnya angin

Kemayoran, 2018
Dari 8 sajak yang "Tidak Ada Di Pesisiran", cannadrama.blogspot.com
------

Saya sudah menulis dua sajak bertema Satrio Piningit. Yang pertama berjudul Satrio Piningit, dimuat dalam antologi puisi tulis tangan penyair, Satrio Piningit (Penebar Media Pustaka, Yogyakarta), dan yang kedua berjudul Satrio Piningit 2, saya buat ketika mempersiapkan 8 puisi untuk buku antologi Pesisiran, Komunitas Dari Negeri Poci. Tetapi akhirnya tertolak dari penerbitan.

Sebelum saya lanjutkan catatan singkat ini, gak ada salahnya kalau kita apresiasi dulu puisi yang pertama:

SATRIO PININGIT

kamu cari-cari
sampai ke dalam suara Kenari
masih setia curi-curi
pesan lagu Turi
tidak habis cara-cara
mahkota bersuara depan rumah raja

dia cari-cari
juga lewat suara Kenari
masih soal curi-curi
langit menaungi Turi
tak putus cara-cara
ke rumah raja menjual mahkota

di sebelah mana titik temu, katamu
tempat pertemuan para tamu
yang merunduk di tujuh pintu
pada waktu yang tak mau menunggu

di mata terbuka hidayah raja
di bumi terluka langit pun murka
dari tujuh pintu memancar cahaya
api keadilan mengangkat senjata

kau sibuk mencari ratu
saat dia menjadi kamu
kecuali kalau kamu hantu
tidak tahu arah menuju

Kemayoran, 24 Juli 2018
---

Tentu saya kecewa ketika mendengar kabar puisi Satrio Piningit 2 tidak bisa ikut terbit dalam antologi itu. Padahal saya sudah sangat mempercayai Komunitas Dari Negri Poci dan antologi Pesisiran adalah alamat kerja 8 puisi saya itu. Selain alamat kerja bagi seluruh puisi dari para penyair Indonesia yang lolos seleksi. Merupakan terminal keberangkatan yang meyakinkan untuk melaju jauh, berpengaruh.

Begitu mengetahui 8 puisi itu sudah berada di luar lembah tempat antologi itu akan hadir, saya segera membuat tulisan berjudul, Tidak Ada Di Pesisiran. Dengan menyertakan 8 puisi saya, begini saya membuat satu alinea pengantar: "8 puisi ini adalah puisi saya yang tertolak dari antologi Pesisiran, Komunitas Dari Negri Poci, 2019. Tetapi saya merasa puisi-puisi ini tetap harus terbang sukacita dan bekerja dari alamatnya. Untuk itu saya sosialisasikan dengan judul yang saya harapkan menarik minat apresiasi puisi. Selamat menikmati dengan damai dan dalam ritual jual beli kegelisahan".

Selanjutnya publikasi puisi-puisi itu melalui blog dan media sosial facebook mendapat berbagai komentar yang menarik, yang harus saya sikapi dengan gaya khas saya. Yang tentu tidak bisa didikte oleh teori dari pihak manapun, mestinya begini dan begitu.

Berikut ini saya copy-paste komentar-komentar itu. Sebab ini menarik untuk pengajian yang mengalir apa adanya.

------

Rg Bagus Warsono:
Mas Gilang, jangan takut berkreatifitas, teruskan, komunitas dan sebuah buku bukan menjadi patokan dalam pengembangan Sastra Indonesia.

Saya:
Pak RgBagus Warsono, Idul Fitri kali ini semakin sedap dengan kalimat, "pengembangan sastra Indonesia".

------

Dede Rostiana:
Kereeenn puisi-puisinya. Pengalaman berkarya yang luar biasa. Tetap semangaat berkarya. Dunia literasi membutuhkan orang seperti anda. Salam.

------

Elis Tating Bardiah:
Sama. karya saya juga tak ada..

Saya:
Elis Tating Bardiah, setidaknya seleksi untuk sebuah antologi tidak sama dengan penentuan 6 pemenang lomba cipta puisi. Jaraknya bumi langit. Sebab puisi yang masuk 20 besar, bahkan 10 besar, memang tidak wajib jadi juara 1, 2, 3 dan juara harapan 1, 2, 3. Sebab ada dua parameter babak final di situ. Pertama, nilai kompetitif di tingkat juara. Gak mungkin kan 20 puisi juara semua? Kedua, subyektiitas dewan juri adalah hukum universal.

Dalam antologi tentu berbeda. Meskipun akan dimulai dari penyisiran awal, pertimbangan 'puisi jadi' dan tematiknya.

Elis Tating Bardiah:
Gilang Teguh Pambudi, betul, berkali-kali ikut antologi baru kali ini tereliminasi. Dan berhusnudzon saja, mungkin ini adalah cara Tuhan memfilter. Mas Gilang, ayo kita buat komunitas pencinta sastra, aku suka gaya bertutur syairnya.

Saya:
Elis Tating Bardiah dengan sendirinya kita sudah berkomunitas. Tinggal mau apa? Pak RgBagus Warsono juga selalu setia jadi sesepuh Lumbung Puisi. Salam proses kreatif. Sukses dan sejahtera selalu.

Elis Tating Bardiah:
Gilang Teguh Pambudi, amiin. Semoga sastra selalu tumbuh dan berkembang dengan tulus, yang pada akhirnya akan mengalir karya-karya bernas, bukan hanya label ingin dikenal An Nas. Namun anfauhum linnaas.

-----

Satyariga Sukman:
Salam lebaran dan Salam semangat Pa Gilang Teguh Pambudi. Puisi itu bukan terminal dan desa. Tanah airnya adalah seluruh kehidupan tanpa batas desa kota, juga terminal, juga kamar, maupun Umi. Ok?

Colek ah, Kang Godi Suwarna
Ajengan Acep Zamzam Noor
Ang Yusran Arifin
Sahaya Santayana
Rahmat Jabaril

Cup...
#satyariga sukman
( SANG SUKMANBRATA )

Saya:
Satyariga Sukman, salam semangat selamanya juga.

------

Yusran Arifin:
Puisi mah boga kahirupan oge takdir sorangan, lamun ngajentul jadi bahan bacaan. Nu nulisna tos teu kudu sedih atawa repot ngawal, da engke oge bakal boga penganjrekan sorangan salaras eujeung kakuatannana. Kitu Wa Satyariga Sukman, manawi?

Saya:
Yusran Arifin, itu (bab Tidak Ada Di Pesisiran, dll) sering debat kusir. Meminjam istilah populer dari stand up comedy, ini keresahan.

Yusran Arifin:
Gilang Teguh Pambudi. Bagus. Itu harus diperdebatkan. Biar kita paham sejauh mana kebenaran ditegakkan. Tidak tertutup kemungkinan, adanya modus.

Saya:
Yusran Arifin, ada satu hal lumrah. Hukum alam. Puisi yang baik pun terpaksa harus sukacita berangkat ke atas bukit, sebab di lembah tidak nyaman. Sebab itu permintaan untuk suatu kenyamanan di lembah juga. Tidak selalu modus. Maka aku tidak mengawal puisiku, tapi berjalan ke atas bukit sebagai dia.

-----

Nasrullah Thalib:
Saya juga belum beruntung di Negeri Poci. Terus Semangat Pak Gilang, pantang menyerah.

Saya:
Nasrullah Thaleb, pantang menyerah untuk sebuah buku antologi atau untuk kerja puisi? Untuk yang kedua, oke. Salam cinta dan mesra.

------

Pipe Egbert:
Apik kok. Tenaaang, ada temannya. Puisi saya juga tak layak lulus. Eh tak layak lolos. Puisi bukan segala-galanya, Pak. Mari nikmati kehidupan yg lebih nyata. Menikmati berkah lain yang ada di depan kita misalnya. Semangat.

Saya:
Pipie Egbert, waduh, ibu bikin terapi menyerah. Ya, syukurlah ibu bisa tenang dengan kenikmatan lain. Asyik itu. Tapi saya justru hidupnya bersama puisi sejak masa kecil. Tentu yang segala-galanya itu Allah. Salam penuh cinta dan mesra. Sukses dan sejahtera selalu.

Pipie Egbert:
Sama Pak Gilang Teguh Pambudi, saya juga cinta puisi sejak masa kecil. Suka baca buku koleksi kakak. Lalu suka nulis dan ikut lomba. Tapi, lulus atau tidak lulus di suatu tempat, bukan segala-galanya. Paham maksud saya kan pak? Okey, go ahead. Salam puisi.

Saya:
Pipie Egbert, ya, benar. (Sambil merasa-rasa, seketika berpaling dan membiarkan berarti tidak ada enerji mempersoalkan). Saya sering seperti seorang ibu. Jika anak saya mau pergi ke kota lain, apalagi yang jauh, inginnya dia selalu selamat dalam lindungan Allah. Tetapi kata "selamat", atau "keselamatan" ternyata butuh alamat. Maka saya selalu sedang berhadapan dengan maunya peradaban. Sederhananya, maunya kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Untung Allah bilang, "Gunakan tanda-tanda dan kata-katamu". Di sisi lain Dia menekankan, "Bersenang-senanglah juga dengan sastramu".

-----

Heryus Saputro:
Terima kasih, Gilang Teguh Pambudi, sudah diberi kesempatan mengapresiasi karya puisi Anda.

Saya juga kerap sekali ditolak atau tidak menang 'lomba', juga tak terpilih masuk program DNP.

Nggak masalah. Hak juri utk memilih karya mana yang (dari kacamata juri) layak masuk program. Risiko peserta bila tak terpilih.  Yang penting, bagaimana terus memupuk semangat untuk menulis dan mengetuk hati orang untuk membacanya.

Langit tak kan runtuh.
Salam kreatif.

Saya:
Heryus Saputro, menarik istilah tak layak masuk program itu. Sebab kalau dimasukkan ke dalam programnya, mungkin dari kaca matanya, malah bikin tak nyaman atau mengganggu suasana antologi dan haknya. Menjadi logika 8 puisi saya harus segera pergi ke bukit. Karena nyatanya tidak mungkin di lembah antologinya, dan sudah di luar.

------

SPbudi Santosa:
masih ada gerbong yang akan lewat, mas

Saya:
SPbudi Santosa, ada berjuta-juta gerbong bahkan. Bukan. Bukan itu. Gilang Teguh Pambudi terlempar dari  ukuran dan momen Pesisiran dengan kalimat, "tetap semangat!"

------

Hamri Manopo:
Hehe.. salam kreatif Mas Gilang Teguh P... Puisi saya juga belum lolos... insyah Allah jika jika masih ada waktu suatu saat bisa lolos....puisi adalah karya seni, seni itu sesuatu yg sangat apresiatif .... tentu para kurator menilai layaknya puisi kita... salam kreatif Mas Gilang....

Saya:
Hamri Manoppo silahkan ikut lagi suatu saat. Saya doakan semoga lolos ya. Salut! Sayangnya 8 puisi saya itu bukan untuk antologi yang akan datang itu. Karena dia harus menjadi 8 yang bekerja hari ini.

-----

S Ratman Suras:
Saya baru pertama ikut langsung terkubur Mas GTP. Tapi saya percaya omongan penyair kita, Leon Agusta. Penyair akan lahir dan berada di mana saja. Tidak pun DNP masih banyak tempat lain. Salam kreatif. Tetap semangat.

Saya:
S Ratman Suras, benar. Di mana saja. Bahkan karya seseorang bisa semakin terlihat justru gara-gara ditolak sebuah antologi. Itu kekuatan goib namanya. Barokallah. Tapi ada satu romantisme yang indah bersama semarak taman, sebenarnya. "Saya" otomatis akan "kerja" untuk Antologi Pesisiran kalau 8 puisinya disertakan. Tidak cuma, puisinya yang punya wilayah kerja sendiri dengan caranya bersama-sama puisi dari para penyair lain. Kasihan kan? Memelas kan? Nelangsa kan? Haha

------

Mahesa Jenar:
Ampun kawatir mas, kulo nggih ... nggak lolos.

Saya:
Mahesa Jenar, untungnya, aku ora dibaiat dadi misionaris yang digelapkan, ben nggowo prustasi 'kelompok apkir' meninggalkan sastra Indonesia, karena ketidakmampuan bersaing, atau masih remeh. Gara-gara komunitas butuh wong pilihan. Sing nang njero ndadi, sing nang njobo nggowo sing diguwak. Sing podo prustasine.

Paling-paling dikon Urip, dikon kesadaran lan kesaksian awa'e dewe, ngancani seng podo rumangsane. Sing puisine waras lan 'lumayan apik', tapi dikon lungo. Sekalian ngancani sing gek mulai nulis, ngadepi tantangan-tantangan. Tapi manggone yo mbuh opo sebutane, nangdi wae. Nang alas sastra Indonesia.

Dasar Wong Alas awa'e dewe iki.

Mahesa Jenar:
Haaa...haaa..haaaa.

Di sastra tidak ada persaingan yg ada cuma komitmen pada ghirrah-nya. Ayo...semangit.

Saya:
Mahesa Jenar,  haha. Dalam sebulan dua bulan ini setidaknya saya sedang nunggu 5 buku antologi puisi bersama. Bukan nunggu seleksi. Tapi nunggu selesai cetak dan kiriman bukunya.

Benar, tetap semangat.

Mahesa Jenar:
Ha ha.

Saya:
Mahesa Jenar, satu hal yang menyesakkan, justru sayalah yang mempercayai antologi PESISIRAN sebagai alamat kerja 8 puisi saya. Seumpama Eka Budianta atau Acep Zamzam mempercayai buku itu untuk memajukan puisinya.

Saya tidak dalam posisi menghiba-hiba untuk dimuat.

Sayang sekali. Padahal ini kerja komunitas serius.

Mahesa Jenar:
Kalo saya sih sebuah puisi tidak diukur dari dimana dia berkelendan utk tarian komunitas saja tapi  lebih bermakna jika puisi itu bebas bergerak menembus tanpa batas utk nilai nilai kemanusian ...dan....tidak terkungkung dalam pengapnya ruang komunitas.

Saya:
Mahesa Jenar, haha. Good luck. "Saya" cuma percaya diri di depan sebuah undangan di atas meja. Selamat menikmati kuliner lebaran.

-----

Joshua Igho:
Tahun ini saya juga tidak ikut dalam antologi DNP. Sebelumnya saya menarik naskah karena beberapa puisi saya "kedapatan" dimuat di surat kabar. Tapi insa Allah, untuk acara launchingnya, saya akan datang membantu memperlancar kerja-kerja panitia.

-----

Alfred B. Jogo Ena:
Inilah seninya seorang penyair. Selalu ada sisi lain yang bisa diangkat dan ditonjolkan secara positif.

Saya:
Alfred B. Jogo Ena, sastra, proses kreatif, ruang kerjanya, persoalan-persoalan, dan keterbukaannya.

Alfred B. Jogo Ena:
Gilang Teguh Pambudi benar sekali. Om, di ruang sastra segala penghambat diretas, yang ada tinggalllah keindahan yang terangkai dari aneka perbedaan.

Saya:
Alfred B. Jogo Ena , lalu saya melihat analoginya. Sebagai pencipta lagu, ini cuma perumpamaan, saya bisa bersepakat dengan produser bahwa 8 lagu ini secara tematik dan suasananya punya momen hari ini. Untuk itu segera kami hubungi penyanyi Via Valen karena harus segera diproduksi dan disosialisasikan. Di sini tidak lagi bicara kualitasnya tidak layak produksi. 

Kalau ada yang bilang, "Masih banyak peluang bikin album apapun di waktu lain". Itu bukan soal momen tapi ngobrol soal dunia produksi. Dunia pabrik!

-----

RgBagus Warsono:
Sekali lagi aku tegaskan bahwa sahabatku Gilang Teguh Pambudi tdk kecewa akan penolakan itu tetapi ia RESAH !

Saya:
Mantap.  Kalau kecewa berarti cuma karena ditolak. Kalau resah, pasti ada persoalan.

RgBagys Warsono:
(Status FB)
Dan seharusnya Panglima DNP Kurniawan Junaedhie memahami penyebab keresahan sahabatku itu untuk tdk diulang dimasa datang.

Kurniawan Junaiedhie:
pdhl sepele banget lo. kalau mau jadi penyair, ya nulis puisi, dan syukur2 nulis puisi yg bagus. itu saja. juga pastikan, 10-20 tahun lagi tetap nulis puisi. atau bikin antologi puisi sendiri. krn jadi penyair atau tidak, tdk ditentukan oleh sebuah antologi puisi.

Saya:
Kurniawan Junaedhie, sebuah antologi bisa didatangi oleh tamu (yang diundang):, yaitu karya-karya dari penyair yang sudah punya taji kuat. Mereka datang dengan rasa hormat pada antologi itu. Pantang berfikir, "apalah arti sebuah antologi". Sebab  puisi yang lahir dari daya puisi penyairnya yang kuat sudah kepalang cinta, dipersiapkan untuk bekerja di situ.
Bagaimana mungkin penyair yang telah datang dengan tandatangan berupa kualitas puisi ---sebut saja jika ia Rendra, malah masih dusuruh belajar bikin puisi 10-20 tahun lagi.

-----

AMachyoedin Hamamsoeri:
Sabar aja pak Gilang,  puisinya dah saya baca, bagus kok tapi mgkn kita kurang beruntung, saya juga ngga masuk. Yang penting kita sudah memberikan kontribusi buat sastra Indonesia. Mdh2an tahun depan kita bisa lolos msk dlm antoligi Negeri Poci. Salam tulus dari Tangerang. Mohon maaf Lahir dan Batin.

Saya:
AMachyoedin Hamamsoeri, jadi cemoohan sepuluh jari itu bisa dijawab oleh pemuatan puisi saya di DNP yang akan datang? Haha. Alangkah kasihan sekali. Salam santun dan cinta, Pak.

-----

Hamri Manoppo:
Puisi Untuk Mas Gilang

sesungguhnya kita sekotak rasa  saat bermain kata, menulis puisi, mengais derai hati

sesungguhnya kita sebaju hanya kau suka ungu aku suka jingga

rasanya langit runtuh, hingga cakrawala terbelah
jiwa kita seutuh
tapi beda makna

8 puisiku, 8 puisimu
tersemai di bukit inspirasi tanduskah, gersangkah ?

angin mendesir, mengusir awan hingga hujan tak jadi turun ke gurun..

ladang kita, ladang mereka
di peta yang beda

------

Rossy Lawati Rossy:
Puisi nya indah di baca mengena di  hati , selamat berkaya saudaraku , sll  bermanfaat utk sesama, aamiin yra.

-----

Yulia Sugiarti Achdris:
Kecintaan yang berkesinambungan teelrhadap kesenian, terutama sastra, drama dan radio dilengkapi juga sebagai jurnalis adalah pengabdian luarbiasa pada perkemvangan sastra di Indonesia dalam bentuk dan ruangnya yang beragam. SALUT🙏👍

Saya:
Yulia Sugiarti Achdris, saya malah dituduh pingin jadi penyair, atau sedang berproses pingin disebut penyair. Jauh banget.

Yulia Sugiarti Achdris:
Gilang Teguh Pambudi, Janganlah gundah. Penyiar ataupun penyair hanyalah sebutan. Namun apabila orang bilang kita sedang berproses itu benar. Berproses untuk menjadi apapun sesuka sebutan orang-orang. Jangan berhenti berkarya, kalau masih merasa puisi ,  seni adalah napas kita. Semang ART.

Saya:
Yulia Sugiarti Achdris tapi kan S-nya huruf besar.

"Saya" = Kita.

Kan dalam prinsip dan etika POLITIK KEBUDAYAAN wajib ada reformasi. Ini bukan jaman Orde Baru, atau era otoriter yang lain.
Sampai-sampai kelas kepenyairan dan efektifitas kerja puisi dihukum oleh 10 telunjuk yang mengaku pemenang tanpa kejelasan kemenangannya.

Bahkan dari kubu pemenamg ada yang menyebut, puisi saya belum puisi. Setidaknya tidak memenuhi selera DNP. Bukan masalah kualitas atau kerepatan tema.

Selamat atas diikutsertakannya di DNP.

------

S Ratman Suras:
Jangan patah arang Mas Gilang TP. Sejarah telah mencatat. Kemunculan Chairil Anwar si Binatang Jalang sangat di"benci" Angkatan Pujangga Baru. Tapi Chairil tetap maju.
Cemara menderai sampai jauh. Berkaryalah terus. Hasilnya Puisi atau bukan puisi sejarah akan mencatatnya. Minimal sejarah keluarga kita. Bahwa trahnya ada yg suka puisi. Bukan dipermalukan. Kritik memang pedas. Tapi makan pun tak ada cabe  kita pasti merindukannya. Salam puisi bertubi-tubi.

Saya:
S Ratman Suras bahkan dengan dimuatpun tamparan kritik pedas masih bisa sampai. Kalau ketemu titik kritiknya.

S Ratman Suras:
Ya ya mantap

-----

Saya:
(Status FB)
SUDAH DIBELI DENGAN KONTAN

Selain komentar yang memahami maksud saya, ada juga komentar yang tidak mendalami 8 puisi saya, tapi langsung ke persoalan "harus nerima ditolak" dan harus belajar nulis puisi lagi biar lolos di DNP. Apakah saya sedang dijatuhkan, dipermalukan, dibantai habis-habisan? Ditepuktangani ketidakbecusannya bersyair? Kecuali setelah kelak lolos di DNP?

Memalukan sekali saya ini.

------

TERUS SAJA BAHAGIA
Karya: Gilang Teguh Pambudi

meliuk barongsai dalam arena
meliuk beliak mata penonton
kuning, merah, hijau cemerlang
putihnya terang
anak-anak maju-mundur dalam putaran
ada yang melompat-lompat
mengikuti lagak berakrobat
aku terpana pada amplop merah itu
pasti tertulis di situ, Indonesia
dan kalau azan asar mau tiba
pertunjukan dihentikan segera
arena teduh-hening
anak-anak terus saja bahagia

Kemayoran, 20102018
(Dari buku saya, JALAK, Jakarta Dalam Karung, JM-Bandung)

-----

Saya:
(Status FB) Saya malah disuruh belajar nulis puisi. Terus dan terus. Haha. Gak ngerti juga ke arah mana resahnya.

------

Agustina Thamrin:
Biar gak resah, kalau saya mah berani bersaing sehat... Gituh...

Saya:
(Dengan terpaksa menjadikan proses sastra saya sebagai prngandaian)
Agustina Thamrin, seorang penyair yang lebih dari 20 tahun membawakan acara Apresiasi Sastra di radio, sudah dimuat koran sejak SMA, dan punya beberapa antologi puisi sendiri. Punya komunitas dan sering diundang menjadi 'narasumber puisi'. Dengan 10 jari ditunjuk oleh para pro-keputusan, "Harus belajar nulis lagi, biar lolos di DNP". Sungguh senjata DNP memang mematikan. Setidaknya benar-benar sanggup mengusir (kalau begitu). Meskipun puisi yang tertolak masih bisa kerja.

Kalau Rendra ditunjuk hidungnya, disuruh introspeksi. Tidak mustahil daya puisi dan kehormatannya akan berkata, "DNP wajib introspeksi!"

-----

Demikianlah sebagian komentar dan tanggapan spontan saya yang sebagian terasa sekali seriusnya, keresahannya, dan sebagian lagi lucu-lucuan. Soal jempol, eceng, airmata, stiker air mata dan tertawa gak perlu dibahas. 

Sensasi kecil yang mahal.

Kemayoran, 08 06 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG