7 NALIKAN BIMA JAMPANG

1
PADAMU

padamu
tanah
paduka subur
turun
-----

2
AIR DAN SAWAH LADANG

airmu
ikan
sawah ladangmu
hati
-----

3
DI JALAN JAMPANG

akulah
Bima
di jalan Jampang
pulang
-----

4
DEKAT HATIMU

belokan
aspal
dekat hatimu
rindu
-----

5
KIARA KIRANYA

Kiara
sini
Kiara sana
nama
-----

6
REDA

berteduh
jiwa
panas dan hujan
reda
-----

7
MEMBUKA LUAS CINTA

rindumu
Bima
membuka luas
cinta
-----

Kemayoran, 28 07 2019

Catatan:

Nalikan adalah salahsatu Puisi Pendek Indonesia yang mulai ditulis oleh saya di tahun 2015 secara tidak sengaja. Dalam niat yang lurus dan dalam karunia Allah semata. Pertanda seorang penyair yang ihlas itu justru tak punya daya upaya. Bermula dari menyelami hikmah hidup dan bangga menuangkannya pada pola bunyi atau pola suku kata, 3-2-5-2. Sama sekali tidak terpengaruh Haiku.

Gak ada salahnya sekadar pengingat hal pola 3-2-5-2, saya muat lagi tulisan saya di blog cannadrama beberapa saat lalu, saat-saat saya belum menulis Nalikan yang kedua dan seterusnya:

"MENIKMATI PUISI KE TUJUH
---

RAMADAN YANG SELALU PUASA

sebab kamulah Ramadan yang selalu puasa
sampai hujan tak mengatakan, tidak!

Kemayoran, 2018
-----

Ramadan Yang Selalu Puasa adalah puisi ke tujuh dari 9 Puisi Di Atas Tisu yang dimuat dalam antologi Sedekah Puisi (Penebar Media Pustaka, Yogyakarta). Bersyukurlah bagi pencinta puisi yang berharap senang-senang dan mendapat berkah dari puisi ini. Sebab selain puisinya memang sangat pendek, atau dalam istilah lain bisa disebut puisi singkat, sebagaimana layaknya pada semua puisi tidak ada yang mewajibkan anda untuk hafal, cukup dinikmati selintas. Ambil asyiknya. Ambil gairahnya.

Kalau di atas bangku pekarangan rumah, kita bisa mengetuk-ngetuk bangku sambil menyenandungkan seasyiknya. Sekenanya. Semau rasa indah. Sehingga sudah menikmati irama dasar musikalisasi, besenandung diiringi ketukan.

Gaya mengetuk meja, podium atau kursi ini dulu sering dipakai oleh penyair Hamid Jabar. Kalau penyair Ayi Kurnia Iskandar dari Wanayasa, biasa menepuk-nepuk pahanya sendiri diselingi menghentantakkan kaki ke lantai. Pembacaanya sesekali terdengar normal, sesekali seperti menyenandungkan 'mantra'. Saya sendiri pernah naik baca puisi dengan membawa alat pukul pada nasyid atau kendang yang diberdirikan. Tetapi kalau anda sambil memegang gitar, ya tentu nikmatilah dalam nada-nada yang pas, meskipun cuma selintas saja. Kecuali kalau memang diniatkan untk melahirkan musikalisasi permanen yang akan terus diulang-ulang. Rumus ini berlaku pada semua puisi pendek Indonesia karya siapapun yang kebetulan sempat kita baca.

Sampai-sampai ketika ada yang bertanya kepada saya tentang definisi musikalisasi puisi, saya jelaskan, membawakan puisi dengan dinyanyikan selayaknya lagu pada umumnya, dengan solmisasi yang tepat, atau membaca puisi yang diiringi backsound musik atau bunyi-bunyian/suara-suara. Sehingga sebelum lomba musikalisasi puisi setiap panitia harus menjelaskan dulu, yang akan dilombakan yang model mana? Atau mau dibebaskan sebebas-bebasnya?

Maka jadilah kita bernama Ramadan, dengan proklamasinya di bawah kibaran Sang Saka Merah Putih, "Akulah Ramadan!" Ramadan yang berpuasa. Yang selalu puasa.

Angka tujuh dalam tradisi Arab yang biasa berlaku di Indonesia sejak masa lampau, bermakna tercapainya tujuan hidup yang sempurna. Tidak tertolak oleh lahir-batin kemanusiaan dan masyarakat manusia. Dalam bahasa Sunda diekspresikan dengan kalimat, "Digjaya salalawasna" (jayalah selamanya). Angka tujuh ini berjembatan angka 8, berkekuatan 8 malaikat penyunggi Arsy, dan berpuncak pada angka 9, manusia ganjil yang terdepan dan percontohan dalam bertauhid, berketuhanan yang maha esa. Pendeknya, angka 7-8-9 adalah satu kesatuan. Sedangkan angka 5-6 biasa untuk menjelaskan rukun, rukun iman dan rukun Islam, persatuan dan kesatuan. Juga untuk mengurai umat penengah yang memahami sholat Wustho.

Dengan alasan tersebut pula, saya telah menempatkan puisi pendek Ramadan Yang Selalu Puasa di urutan ke tujuh dari 9 Puisi Di Atas Tisu. Yang sepintas akan terasa memastikan, Ramadan = sukses! Tercapainya tujuan-tujuan hidup. Bukan pengingkaran atas kelayakan-kelayakan hidup.

Sampai di sini, para pembaca puisi saya pasti tiba-tiba jadi rindu pada angka 2, 3 dan 4. Maka pada beberapa tahun silam saya sempat menulis NALIKAN. Sebuah puisi pendek yang menyampailan pesan, ketika atau setiap kali susuatu terjadi dan dikenang lama karena berguna, setidaknya oleh seseorang manusia. Dan sampai tulisan ini saya turunkan, sekian tahun sesudahnya, saya baru menulis satu Nalikan berjudul Naliko/ Nalika:

kulempar (3)
sauh (2)
dari dunia (5)
tumbuh (2)

Kemayoran, 31 10 2015 pukul 20:05 wib.
---

Mengapa memakai rumus 3-2-5-2?
3 = tarekat (jalan-jalan/tujuan-tujuan) hidup.
2 = syareat hidup.
5 = rukun hidup/ hidup rukun (penengah hidup).
2 = mempertahankan syareat hidup. Selain itu menempatkan angka 2 untuk kedua kalinya memberi kesan penekanan pada angka 2. 2x2=4. Empat persegi Ka'bah. Berkiblat atau berada di rumah Allah

Dalam tulisan ke 0093 di grup Orang Radio Indonesia tentang Nalikan tahun 2016 saya menulis begini: "Ada puisi pendek saya yang saya sebut NALIKAN, karena menggunakan rumus suku kata 3-2-5-2, tarekat (3) kita mengulang-ulang syareat Allah (2) agar menjadi manusia  penengah (5), penegak keadilan".

Rumus itu bukan sekadar otak-atik angka. Sebab itu bersumber dari tafsir angka motivatif, Gilang Teguh Pambudi, dari 1-9. Yang tentu banyak bersumber dari tradisi Islam yang meyakinkan.

Bahkan jika ada yang tidak suka pada model motivasi ini, sanggupkah dia meninggalkannya, seperti meninggalkan angka satu yang mengandung arti, "Jadilah suritauladan?" Selanjutnya inilah uraian singkat tentang angka-angka itu:

1 = tauhid, alif yang tegak, terdepan, suritauladan, percayadiri, berkepemimpinan, ganjil, witir, bersolawat atas Nabi Ahir Zaman,  berorientasi pada ahir dirinya, merasa satu tubuh dengan sesama mujahid,   dst

2 = megulang-ulang syareat (kebiasaan baik dalam hukum yang lurus),  dst

3 = tarekat, zikir 33 kali, jalan-jalan/ tujuan-tujuan, selalu terarah, tepat tujuan/ sasaran, titik sampai, kejayaan, dst

4 = empat persegi kabah, kelompok-kelompok yang berjamaah, kelipatan dua mempertahankan syareat, dst

5 & 6 = rukun, penengah, sholat wustho, dst

7 = kejayaan yang besar, digjaya, selamat dunia ahirat, yang benar pasti menang, tujuh pintu sorga, dst

8 =  jalan lurus, jembatan lurus, sirotol mustaqim,  tak pernah putus, abadi, malaikat penyunggi arsy, dst

9 = wali Allah, menyembah Allah, menjunjung 99 asamaul husna, dst.

Lalu untuk penguat hal tafsir angka, saya ditanya, "Jumat itu hari ke berapa?" Saya jawab, hari pertama.

Kenapa dalam NALIKAN rumus 2 ada dua?  Sekali lagi, itulah empat persegi. Lengkapnya empat persegi Ka'bah.

Jika Allah menghendaki, pada waktunya saya pasti menulis Nalikan lagi.

Kembali ke soal menikmati puisi ke tujuh. Sesungguhnya anda bisa bersegera saja melupakan saya dan puisi yang saya tulis itu. Sebab yang terpenting buat anda adalah, Ramadan dan keselamatan anda karenanya. Buat apa memukul-mukul bangku atau batu segala? Sebab dengan menikmati Ramadan, anda pastilah pribadi yang selalu berpuasa. Terutama puasa wajib. Dan diam-diam anda telah menjadi puisi, Ramadan yang selalu puasa. Lalu saya telah menulis tentang anda dan mengabadikannya. Izinkan. Sebab begitulah puisi yang bekerja".

Kemayoran, 18 05 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

------

#PuisiPendekIndonesia
#PuisiPendek
#Puisi3252
#Nalikan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG