DINDING PUISI 178

Saya sudah teriakkan Bos, melalui buku antologi puisi JALAK, Jakarta Dalam Karung. JALAK adalah model akronim ala-ala #OrangRadioIndonesia ketika bikin mata acara spesial. Bagian dari racikan on air. Tetapi mengapa JALAK? Ya. Apa salahnya "jalak teriak?". Bahkan suatu ketika sebuah puisi pendek pernah saya tulis:

HAL JALAK

tapak jalak
galak jalak 
gelak jalak 
kelak jalak 

Kemayoran, 16 17 2016
------

Bahkan sudah bertahun-tahun saya memelihara burung kicau Jalak Kebo alias Jalak Banteng alias Jalak Sungu di rumah. Tentu senang mengajak jalak itu bicara apa saja. Atau mendengarkan jalak itu cerita apa saja sesukanya, sejujurnya.

Jakarta Dalam Karung (JALAK) adalah sebuah parameter. Kalau disebut hadiah ---terserah mau disebut hadiah dari Tuhan atau dari Pemerintah, terserah mau disebut sesuatu atau makanan, yang jelas kalau Jakarta dianggap seperti beras dalam karung, kita pasti akan mengukur-ngukurnya. Pertanyaan umumnya, apa dan seperti apa yang ada di dalam karung? Bukankah kita juga kenal pesan kuno yang sakti, jangan membeli kucing dalam karung!

Jika di dalam karung itu sebuah kota yang sebagian  buruk dan sebagian baik, atau sebagian besar sangat buruk dan sebagin kecil sangat baik, atau justru sebagian besar baik-baik saja dan sebagian kecil sangat tidak baik, kita toh bisa berucap ala SLANK, "tempatku di sini, tetapi bukan di sini". Untuk menunjukkan kecenderungan yang baik dan normal. 

Antologi puisi saya yang sempat hilang entah di mana, dalam proses pengiriman saat akan diikutkan Lomba Buku Puisi Nasional, Hari Puisi 2019 ini, ---karena panitia di Pusat Dokumentasi HB Jassin mengaku tidak menerima kiriman 5 buah buku JALAK, memang memuat satu puisi ke 37 yang berjudul Jakarta Dalam Karung. Ini puisinya:

JAKARTA DALAM KARUNG 

kumasukkan Jakarta ke dalam karung 
kubawa kepada anak istri
lalu sambil cerita Monas, Kota Tua, 
gedung-gedung yang makin tinggi dan pantai Ancol
Jakarta kami masak lalu kami nikmati 
di ruang keluarga bergambar Ondel-Ondel 
tapi kadang tercium aroma tak sedap
mungkin rasa kumuhnya
kadang ada yang kami muntahkan
batu besar dan tajam yang mustahil ditelan 
mungkin gerak politiknya yang sakit payah 
tentu, tentu kami istigfar tak habis-habis

Kemayoran, 04112018
------

Melalui puisi Jakarta Dalam Karung, JALAK sebagai akronim di situ telah berkesadaran dan berkesaksian. Diterima ataupun ditolak. Tentu dalam hal majas dan multi tafsir, kita tidak cuma sedang bicara pembagian beras untuk orang miskin, apalagi pada puisi itu diilustrasikan seseorang yang memasukkan Jakarta ke dalam karung, entah dapat beli atau dapat jatah dari pemerintah, lalu memasaknya.

Tetapi di tahun berikutnya, sejak awal 2020, Jakarta dihebohkan oleh merebaknya virus corona, lalu sebagian masyarakatnya yang terpaksa tinggal di rumah-rumah karena takut corona mendapat jatah sembako, terutama berkarung-karung beras. Kebijakan dan sikap sosial ini juga merebak ke seluruh Nusantara selayaknya "Jakarta Masker". Maka otomatis, sebagai orang yang cinta adab baik, saya jadi teringat kode JALAK. Semoga yang dibagikan dan yang dimasak masyarakat itu wangi kemanusiaan berketuhanan. Amin.

Kemayoran, 16062020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG