DINDING PUISI 179

Melalui pintu makrifatullah ---tanpa harus menuding dengan label Partai Maktifatullah atau Golongan Makrifatullah yang sering diucapkan secara sesat itu, kita bisa berhikmah pada apa saja, seluruhnya tanpa kecuali pada hidup ini. Makrifatullah adalah memandang atau melihat Allah sepenuhnya, yang secara bijak dan ihlas bisa dipahami melihat seluruh peristiwa hidup sebagai proses kerja Allah yang maha kuasa, maha adil, dan maha mulia semata. Sehingga sungguh tepat menyebut makrifatullah sebagai maqom (makam). Titik ketinggian ilmu. Tempat hakekat ziarah. 

Dari sini kita akan melihat masa lalu dan masa depan. Sekaligus dalam ritual membelahdiri pada tubuh manusia yang banyak, di mana tubuh kita di masa lalu, dan di mana tubuh kita di masa depan? Dan tersimpan di titik peta mana dalam kitab suci? Sebab kita pun sudah disebut-sebut secara tegas dan jelas. Tidak ada yang samar. Lalu manusia-manusia seperti apa yang kedatangannya dirindukan bumi, sehingga pohon-pohon merunduk dan cahaya bintang-bintang mendekat? Tentu mengenai hal ini, pada muslim jadi spontan bersholawat.

Dalam berpuisi, baik dalam kontemplasi sendiri dalam rasa kemanusiaan yang humanis-universal, maupun dalam gerak arak-arakan bersama dari panggung puisi ke panggung puisi, dari even puisi ke even puisi, dari komunitas puisi ke komunitas puisi, dari penerbitan puisi ke penerbitan puisi, dari musikalisasi puisi ke musikalisasi puisi, dari program apresiasi dan literasi puisi ke program apresiasi dan literasi puisi, dst, kita juga akan bicara kemenangan peradaban manusia di masa lalu dan di masa depan. Bahkan mirip seluruh tema komik anak-anak yang arif bijaksana, kebenaran dan kebaikan mesti menang. Meskipun kita tahu persis, hari ini banyak yang tiba-tiba gagap memahaminya. Ya, serius, memahami pesan komik anak-anak itu. 

Maka untuk proses penerbitan buku antologi puisi dwibahasa, BUMI CINTAKU kali ini saya ingin menyertakan kalimat bersahaja pada puisi, DI KELAK: 

DI KELAK 
Karya: Gilang Teguh Pambudi
Alih bahasa: Astri Kania 

kelak kau dipanggil ke bukit
yang jauh dari amuk alam
tempat kita bertemu
selamanya berpuisi

kelak kau dipanggil ke lingkar danau
yang jauh dari badai musim
tempat kita menyalakan unggun
wisata sastra

kelak tubuhmu meliuk sungai
yang jauh dari kecelakaan zaman
menjadi tubuh alam
yang berkata-kata

kelak kau pantai
yang menginsyafi duka
mengendalikan ombak
menyemai hembus angin kedamaian

Kemayoran, 2020
------ 

AT A LATER TIME

Someday you are called to the hills
Which is far from nature amok
The place we meet
Forever with poetry

Someday you are called to the circumference of the lake
Which is far from hurricane of season
Where we light a camper fire
Literary excursion

Someday you body of bend the river
Which is far from accidents of the times
Become nature body
Which says

Someday you beach
Who realize of sorrow
Controlling the waves
Sowing wind blows of peace

Kemayoran, 2020
------

Setelah menulis puisi ini saya merasa lega. Melihat Indonesia dan dunia di masa lalu dan di masa yang akan datang. Ei....! Dan tahukah kau, Mr Bro? Hari ini adalah masa depan yang kemarin kita bicarakan. Lalu seperti apa hari ini menurut sudut pandang kita kemarin tentang kemenangan-kemenangan prikemanusiaan berketuhanan yang realistis? Tentu, orang 'ngerti dan bijak' namanya yang bisa menjawab.

Kemayoran, 17 06 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG