DINDING PUISI 195

Mingguan ya, Lur. Sebagian besar nampaknya masih di rumah saja. Setidaknya ada yang milih berlama-lama di kebun, di beranda atau halaman rumah, atau dekat kolam. Maklum masih waspada corona. Tapi dengan mencoba setia pada protokoler kesehatan ada juga yang sudah berani berkunjung ke sanak famili, berolahraga di taman umum, dan berwisata. Setidaknya begitulah berita satudua minggu belakangan ini.

Kalau foto-foto dalam pose sendiri, untuk beberapa detik bolehlah buka masker. Apalagi selfi, gaya sendiri difoto sendiri. Gak harus juga wajah kita hilang dari dunia wajar. Kecuali kalau foto bersama. Pakai masker dan atur jarak. Bisa pura-pura di kanan kiri suatu obyek tertentu, padahal pesannya jaga jarak. 

Eh kenapa juga ya belakangan ini kita seperti jaga jarak juga dengan hembusan info ibukota Jakarta mau pindah? Nyaris hilang total dari peredaran. Meskipun yakin, Monas tak sudi pindah karena itu bukti sejarah. Ya, pasti karena kita sedang terseret ke fokus lain, termasuk ke penanganan corona. 

Tapi ijinkan sejenak saya menyeret seksama ke fokus lain juga. Tetapi tidak dari tempat anda berdiam saat ini. 

Kebetulan saya sedang berada depan jalak. Tapi bukan mau ngomongin itu. Juga malas bilang, burung ocehan jalak itu murah, kata sedikit orang. Kata kebanyakan orang masih sangat mahal. Sebab mereka ngitungnya, harga satu ekor jalak bisa dipakai membeli daging ayam berapa kilo? Atau, bisa dipakai beli anak ayam berapa banyak, lalu kelak setelah dipelihara jadi daging berapa banyak? Haha! Soal sudut pandang dan ujung pandang. Mengingatkan kita pada Mata Cadar. 

Bagi puisi, JALAK adalah judul antologj puisi saya yang terbit di J-Maestro, 2018. Akronim dari, Jakarta Dalam Karung. Diterbitkan karena tuntutan proses kreatif di tengah hawa yang mendesak, sekaligus bagian dari penanda mau pindahnya ibu kota. JALAK adalah alat ukur untuk kota-kota atau wilayah Indonesia, bahkan bisa untuk dunia. Dalam konotasi positif, kita akan menemui Jakarta Dalam Karung berbentuk suatu tatanan kota sekaligus kadar kesejahteraannya yang baik, mulia karena Allah. Tapi dalam konotasi negatif, yang di dalam karung adalah suatu kota, desa, negara, atau wilayah-wilayah yang temaram, gelap atau digelapkan. 

Sekadar diketahui. Seluruh puisi yang termuat dalam buku Jakarta Dalam Karung adalah puisi pendek 12 baris/larik. Meskipun tidak sesingkat puisi 17 - 33 suku kata. Bagi saya puisi pendek itu tak ubahnya lampu sen, kode mengingatkan yang bersifat tegas dan segera. Bahkan kode SOS. Sehingga definisi puisi pendek adalah puisi yang bisa dibaca dalam intonasi normal dalam setarik nafas. 

Bagaimana anda meikirkan lagi soal membeli kucing di dalam karung? Semoga catatan puisi ini tidak mengganggu tanggal merah anda dan angin sepoi-sepoinya. 

Sekali lagi, JALAK alias Jakarta Dalam Karung adalah suatu alat ukur pembangunan. 

Kemayoran, 19 07 2020 
Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG