DARI PESISIRAN DNP SAMPAI 100 PENYAIR ITU

Saya dapat kiriman tulisan di muka akun sosial FB dari penyair Cunong Nunuk Suraja (CNP), begini:

MEMBACA CATATAN PENGADILAN PENYAIR Gilang Teguh Pambudi JAKARTA


Tanpa sengaja jari manula iseng mengetik nama di mesin pencarian grup Facebook #Puisi_Pendek_Indonesia menemukan catatan transaksi status dan komentar tentang mala petaka penolakan puisi dalam suatu buku cetak antologi. Pembelaan penyair terhadap puisi telah dilakukan Subagio Sastrowardoyo dan Afrizal Malna selama ini yang pernah saya baca. Keduanya terwujud dalam bentuk esai.
Catatan pengadilan ini membiaskan pada peristiwa pencarian 100 penyair pilihan yang kandas di berita koran cetak. Hal ini tidak aneh karena majalah sastra Horison juga diadili di Bandung juga sastra kontektual dan pedalaman yang punya ekor pada politik sastra zaman Lekra-Manikebu maupun Pujangga Baru. Riak pertikaian itu terus berkumandang dengan puisi konkrit dan mbeling hingga sastra #tong_sampah cyber.
Catatan yang mengingatkan gelombang pertidaksetujuan karya dimuat dalam buku cetak. Antologi Puisi Tonggak Linus Suryadi AG juga tidak luput dari peristiwa tolak menolak karya dan protes walaupun dulu gemanya selalu terlambat tercetak lain hal dalam zaman Revolusi Toffler Gelombang 3 yang dapat meledak dan diledakkan di halaman internet dunia cyber sebuah dunia #tong_kosong_berbunyi_gaduh.
Penyair terpilih 100 dilanjutkan mereka yang tetap ingin adanya buku 100 penyair seperti 100 tokoh dunia yang juga pernah dicetak dalam bentuk buku. 100 sebagai semiotika nilai puncak memang menarik sebagai ukuran juga dalam waktu diberi nama abad.
Kalau mau diada-adakan peritiwa 100 penyair ini seakan perang proksi sebuah perang politik dagang yang menolak diluruskan bengkoknya pedang kapitalis oleh puisi seperti kata John F. Kennedy saat mengundang Robert Frost baca puisi.
Perang proksi perang yang dibiayai para pemilik modal kepada siapun untuk menjadikan kegaduhan perang di luar wilayah interestnya sehingga usaha tak terguncang walau terjadi perang brubuh para petualang kata yang lahannya di media cetah digusur pelan-pelan oleh iklan-iklan politis. (tidak hanya pedagang ideologi saja!)
Penerbitan buku antologi dan perhelatan lomba buku puisi maupun novel, drama, musik, tari, lukis dan film juga tak terlepas dari akibat perang proksi. Semua bermuara pada birahi politik kapital. Jika suatu masa "tsunami 100 penyair" reda akan terlihat korban perang proksi yang dapat membelah dunia sastra cyber berkotak-kotak.

Buffalo, NY 2020
------

Postingannya itu lantas saya komentari.
Saya : 
Padahal sederhana ya, Pak. Dengan parameter pengumuman "penyair dan non penyair", maka tinggal lihat kesesusian tema. Klo temanya sesuai, karya penyair pasti lolos. Klo yg  non-penyair, saya gak tahu, itu panitia yg ngasih kriteria. Lha kok karyaku gak lolos. Padahal ini bukan lomba. Kalaupun lomba apa aku di urutan ke 700 dari yang 500 pemenang? Apa  benar? Gak salah? 
Bahkan klo ditilik dari sisi selera, kenapa selera pakai kriteria penyair dan non-penyair sehingga yg penyair PD. Sudah saja: ngumpulin karya gitu. 
Sedangkan 8 puisi saya emang dipersiapksn utk MEMANFAATKAN Pesisiran. Itu cinta, perhatian, dan tanggungjawab yg besar.

CNP:
Saya sudah putus benang jika ukurannya memilih dari sudut kedekatan personal dan kepercayaan serta hal-hal yang bersifat kekerabatan. Saya sudah tidak ikut berkelompok.

Saya:
Saya dipecat dari kelompok karena terlalu sok mencintai PESISIRAN. Karena PESISIRAN itu arah mata panah. Kalo antologi DNP yang lain bukan urusan 8 puisi saya ini. Itu sinetron lain. 🙂

Dan saya sangat dekat lho Pak sama Soni Farid Maulana. Beberapa kali ketemu di lokasi peliputan berita senibudaya. Dia dari koran PR saya dari Radio Lita FM dan LPS PRSSNI Jawa Barat.

Bahkan pernah siaran bareng di radio. Tapi entah kenapa saat itu harga Panitia Pesisiran DNP jauh lebih mahal buat Kang Soni daripada saya. Sampe-sampe nyerempet ke hal lain, Falsafah Kasundaan saya terlewati.

CNS:
Gilang Teguh Pambudi sejak dua kelompok mengundang dan minta puisi yang saya sesuaikan dengan tema besarnya tetapi tidak diterima saya berhenti menulis puisi pesanan tema. Cukup bermain usil dengan puisi liyan terutama puisi  Ghouts Misra dari Tangerang.

Saya baca kabar FB sejak pensiun Soni Farid Maulana menderita sakit. Ada lagi Agustinus Wahjono  Balikpapan yang meninggal 18 Agustus 2020 setelah paru-parunya terganggu karena diabetes. Waktu itu juga Sutan Iwan Soekri Munaf karena serangan jantung. Saya mulai sadar untuk merawat diri dari diabetes yang sudah mengganggu ginjal dan jantung, untuk itu saya tidak terlalu emosi dengan proyek antologi cetak buku.

Saya:
Ya, saya juga mendoakan Kang Soni, semoga lekas sembuh.

Kemayoran, 26 08 2020
Gilang Teguh Pambudi 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG