DINDING PUISI 201

DINDING PUISI 201

"Maaf puisi anda terlalu lugas dan menggurui. Sedikit rumitnya kurang greget dan kurang bunga", kata seseorang kepada angin sore. Padahal senja begitu dekat, hangat, dan halus sepoi anginnya. Yang dimaksud pun menimpali, "Memang susah jadi seperti saya, muridnya cuma tiga. Sebentar lagi datang. Selalu datang. Tidak sebanyak mereka". Lalu matahari, bulan, dan bumi segera memasuki rumah gubuknya yang menghadap pemandangan luas, di suatu desa yang nyaman itu. Dia pun menjelaskan, "Tapi yang itu selalu bersinar. Yang itu bersinar selamanya karena disinari. Dan yang ini, saya mau bilang apa? Kata orang, bumi dan langit itu sangat jauh, dia malah menyebut, langit bumi. Langit yang merangkum tatasurya. Sebab ilmu pengetahuan yang menerangi hidup ini datang dari langit buminya". 

"Menulis puisi dan menyebut manusia tempatnya salah dan dosa, adalah beban yang sangat berat. Karena itu melahirkan puisi butuh kesadaran sepenuhnya, kesaksian yang utuh, dan proses pencerahan hidup. Proses pencerahan yang dekat dan kreatif. Ini bisa dilahirkan manusia bumi atas kuasa Allah, karena hidayah, karena ilham dari langit buminya. Hidayah adalah pertemuan dengan cahaya agung yang memancar, sedangkan ilham adalah cahaya yang memancar-mancar. Catatan ini bagi sementara pihak memang berat, terlalu dalam, tetapi yang jelas ini tidak dalam rangka memberat-beratkan atau sebab ngaji yang terlalu dalam. Justru ini rasa langit yang bersahaja. Yang bisa dirindui siapa saja. Angin rahmat yang terbuka. Ya, lugas dan ... daun akan mengabarkan hijaunya. Dengan segenap cinta dan segenap cara".

"Manusia tempat salah dan dosa? Sepintas malah terdengar sebagai pembelaan di saat ini dan di masa yang akan datang. Bahwa berbuat dosa dan nista apa saja adalah tabeat manusia. Sudah lazim dari sononya. Masya Allah. Apalagi kalau dosanya dibawa mati tokoh besar, konon nantipun akan tertolong secara politik. Kita terjerumus memanggil celaka. Padahal kalimat itu mengandung makna, berhati-hatilah wahai manusia, jangan tersandung, tersungkur, dan hancur, sebab telah terjadi di masa silam manusia itu tempat salah dan dosa, dan seperti itulah keadaan akhirnya. Ya, berkata-kata itu sungguh selalu dalam, melalui proses yang melelahkan. Penyair cuma diberi kuasa merangkai, menyampaikan sekaligus menyumbang sensasinya. Maka beruntunglah kita yang telah menimbanya dengan tenang dan sukacita. Itu karunia tiada tara. Capek yang terhibur".

Lalu ia mengelus-elus bola matahari dengan menggunakan panasnya yang tinggi, mengelus-elus bulan dengan seranting cemara, dan mengelus bumi dengan minyak wangi. Katanya, "Bentuk lingkaran itu filosifinya kebersamaan. Hidup dalam satu lingkaran matahari, satu lingkaran bulan atau dalam satu lingkaran bumi. Tentu demikian. Filosofi adalah sebanyak-banyaknya terkandung hikmah di situ. Tapi, sejak kapan daya lingkaran yang bukan pengingkaran itu menjadi kreatifitas membuat rumah kotak?" 

"Kelemahan kita, terlalu menduga, setelah memasuki musim hujan baru terinspirasi mencipta syair hujan. Padahal justru kemarau yang sedang menunggu hujan, kisah kesetiaan paling romantis. Menduga-duga, menulis puisi harus di saat hening tenang, padahal hening tenang itu suasana kontemplatif. Kekusyu'an yang menyudahi hirukpikuk".

Seseorang itu merapihkan duduknya. Terlihat jelas ingin terus seksama mendengarkan kalimat-kalimat selanjutnya. Lalu sekilat menusuk ujung jarinya dengan jarum. Pada lantai tembok ia menggambar mawar dengan tetesan darahnya. Sesekali masih terdengar gerutuannya, "Masih terlalu menggurui, tua, belum menguasai jiwa muda. Tidak pecah. Tidak berdarah. Mandeg. Tidak cair. Belum asmara mawar".  

Kemayoran, 28 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG