DINDING PUISI 202
DINDING PUISI 202
Mengingat puisi-puisi populer dari Chairil, Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dll, kita sering bahkan selalu lupa, dibangun oleh berapa baris atau larik? Kalaupun harus tebak-tebakan, separo bisa benar separo tetap salah.
Baris atau larik pada puisi tetap utama. Apalagi kita juga mafhum, tipografi bagaimana pun tetap didasarkan pada maksud-maksud puisi. Tipografi itu memiliki bangunan dasar huruf, kata, kalimat, tanda baca, baris, dan bait. Tidak sekadar bagian syarat puisi, itu adalah kesengajaan yang ditampilkan, bahkan ditonjolkan. Seperti satu misal pada bait pertama, sebuah puisi dibangun oleh sepenggal kalimat pendek yang terdiri dari tiga kata, baris kedua dibangun oleh hanya dua kata, tetapi baris ketiga ternyata dibangun oleh 15 kata. Ini keputusan kreatif yang sangat beralasan.
Setiap puisi pasti bertipografi. Tidak cuma semisal yang memiliki ukiran bentuk, sehingga berkekuatan memiliki pesan tambahan yang mendukung dan kuat.
Memang tidak penting mengingat-ingat jumlah baris bagi penikmat puisi yang cukup terpuaskan di depan media audio atau audio-visual. Apalagi sudah lama kita diberondong teori arus informasi baru. Konon suatu saat nanti media buku bakal tidak laku. Digantikan media internet dan produk audio-visual. Padahal kalau kita menilik prinsip wisata sastra ke perpustakaan, selain menikmati suasana perpustakaan yang khas, jauh beda dari duduk depan internet atau video, kita akan lebih detil mencermati tidak cuma isi puisi, tapi juga tipografinya yang punya maksud itu.
Ketika dulu tercetuskan oleh berbagai pihak tentang penyelenggaraan pameran puisi selayaknya pameran lukisan, pada awalnya memang terdrngar aneh. Tetapi sesungguhnya tidak, meskipun tetap jarang yang mengadakan. Terutama untuk puisi-puisi yang punya tipografi yang menonjol karena susunan larik-lariknya atau yang aneh-aneh itu. Posisi tiap kalimat bisa berbeda-beda menjoroknya, bisa membentuk lingkaran, persegi, dll. Bahkan ada tanda-tanda yang bukan tanda baca, juga ada yang menunjukkan tanda atau bentuk gambar tertentu tanpa kata-kata. Sebab dianggap sudah berupa teks, atau sudah menyampaikan pesan teks.
Dalam musikalisasi puisi pun tipografi tidak terlalu penting. Tetapi justru dari sini kita temukan bedanya. Puisi tidak seperti lagu yang cuma bisa dinikmati alunannya, tetapi bisa dinikmati teksnya. Ya, dinikmati teks puisinya sekaligus tipografinya. Bentuk susunan tulisannya.
Sekali lagi ingin saya tekankan, puisi adalah teks yang bebas, mau dibaca dan dinyanyikan seperti apapun sesuai interpretasi kita. Bebas pula dikaji tipografinya. Sehingga teks di laptop, di internet atau di buku menjadi santapan daya baca kita, sekaligus daya menilai tipografinya. Tetapi teks di bukulah yang memiliki romantisme khusus saat menemani minum teh atau kopi, atau saat ngemil makanan ringan di sore hari atau di suatu hari libur.
Kemayoran, 29 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar