DINDING PUISI 203

DINDING PUISI 203

Tulisan ini dibuat Sabtu, 1 Agustus 2020. Hari baik. Hari kedua Idul Adha 1441-H. Jadi bagus buat renungan Agustusan. Biangnya ya siapa lagi? Puisi. 

RgBagus Warsono yang sedang memproses penerbitan Antologi Puisi Sampah karya para penulis dari berbagai pelosok Indonesia di grup Lumbung Puisi-nya nulis gini: "Ada juga puisi ringan spt burung, tetapi sayapnya lebar spt sayap Boeing". Lalu saya komentari, "Ya. Kadang ada pesan sederhana yang dirasa sedang 'sesuatu'. Setidaknya oleh penulisnya. Tapi karena keadaan 'sesuatu' itu juga yang bikin panjang lebar. Dulu bahkan sempat populer istilah, puisi panjang sekian meter. Pake gulungan kertas, seperti gulungan tisu. Bahkan oleh pelukis dan karikaturis suka dibikin karikaturnya". 

Sebenarnya karikatur membaca puisi dari gulungan kertas yang panjang itu bisa multi tafsir. Titik kuatnya bisa dilihat dari obyek dan momennya. Misalnya bergambar wajah yang bisa diduga atau tidak? Dan berkaitan dengan suatu peristiwa tertentu atau tidak? Sebab perjalanan seorang penyair pun selain menulis, biasanya tak ubahnya sedang membaca puisi panjang seumpama pada gulungan kertas itu untuk seumur hidupnya. Selama hayat dikandung badan. 

Kalau dikaitkan dengan Negri Puisi ---satu sebutan utama untuk NKRI, ini juga menarik dan serius. Bisa divisualisasikan yang tengah baca puisi wajahnya atau pakaiannya berwarna merah-putih. Ya Sang Dwi Warna itu. Yang artinya, merah adalah berani karena benar, dan putih adalah suci. 

Sesosok Indonesia, atau sesosok kemanusiaan berketuhanan yang nasionalis digambarkan sedang membaca puisi panjang, atau membaca Negri Puisi yang umur panjang. Subhanallah. Patriotik sekali. Apalagi dihayati saat masuk momen Agustusan, bulan kemerdekaan Republik Indonesia.

Kalau ditarik secara khusus ke komunitas seluruh penyair Indonesia, sudah pasti yang sedang baca puisi panjang itu adalah mereka. Bisa digambarkan gulungan kertasnya yang berwarna merah putih. Sebagai pertanda bahwa setiap hari, 24 jam, siang malam, sepanjang tahun, penyair selalu berpuisi dan membaca Indonesia tercinta. Membangun Indonesia di segala bidang dengan gagasan pemikiran yang cemerlang. Termasuk misalnya pada puisi tema gula atau tema kelapa sawit. 

Kembali ke paragraf awal. Ya. Sekali tempo ada yang nampak sebentuk kelemahan meskipun halal. Yaitu puisi dengan pesan sederhana yang sangat mudah ditangkap maksudnya, dibuat panjang sekali sehingga bisa mendulang kejenuhan ketika dibacakan depan orang banyak. Tetapi percaya atau tidak, pada waktu yang lain puisi seperti itu bisa masuk logika seperti ketika seseorang mengekspresikan rasa patah hatinya. Kegelisahannya yang sama terus diulang-ulang dengan berbagai kelokan dan dakian, seperti ingin menyatakan kegelisahan seperti itu gak bisa di-stop sama sekali. Logika lain, ketika suatu puisi harus serba terang dan mudah dimengerti karena akan dibacakan di depan masyarakat pendengar yang sudah dikenali. Bahkan semacam dalam sosialisasi alat kontrasepsi, harus diulang-ulang biar bikin paham. Juga dalam sosialisasi waspada virus corona.

Lalu saya komen lagi di grup itu setelah dapat jawaban, "Betul Mas", "Tapi burung kecil tidak selalu sederhana dalam arti remeh. Ia kan cuma ramping. Seumpama, gak tinggi besar. Di video-video Youtube, burung-burung kecil pinggir rumah, direkam kamera memberi pesan hidup yang agung. Ini bersayap Boeing juga. Bahkan bersayap malaikat.  Seperti gadis ramping, montoknya di "dan lain-lainnya".

Ah. Di tanggal 1 Agustus ini saya mau memekik abadi, "Merdeekaaa!"

Kemayoran, 01 08 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG