DINDING PUISI 205
DINDING PUISI 205
Kemarin penyair Heru Mugiarso nulis status mbeling bin njathil di akun facebooknya, "Penyair tanpa puisi terbaru hanya layak disebut MANTAN karena penyair bukan kata benda tetapi kata kerja".
Membaca itu saya langsung berada di kalimat yang selama ini terus saya ulang-ulang yaitu, puisi yang bekerja, atau di frase, kerja puisi. Pertanyaannya, apakah suatu puisi akan tetap bekerja selama ia masih memiliki pengaruh sosial sekecil apapun, meskipun sudah ditulis puluhan tahun silam? Atau pertanyaan retoriknya, "Apakah yang bekerja hari ini cuma puisi-puisi terbaru?" Tapi ini soal lain dalam kontek tulisan status itu. Sebab di situ yang dipersoalkan penyairnya, bukan puisinya.
Maka, karena pingin ikutan senyum, saya pun segera mengomentarinya, "Minimal kepeduliannya pada puisi masih tinggi, atau sensitif kalo disenggol nadi puisinya. Misalnya untuk mereka yg setelah umur 50 tidak nulis buku lagi. Padahal sebelumnya pernah nulis 1-2 buku puisi, dan suka naik panggung baca puisi".
Lalu saya tertarik untuk menerjemahkan istilah, penyair dengan karya terbaru. Ini kebiasaan saya sejak mulai siaran Apresiasi Sastra di radio tahun 1992. Setiap ada hal menarik tentang sastra selalu ingin menyelami atau mencairkannya. Sebab dalam banyak kesempatan pasti menarik untuk didiskusikan. Supaya tambah cair saya ambil contoh pertemuan saya dengan para penyanyi dan musisi band. Setiap ada sesi wawancara di #radio dengan penyanyi, baik dari pop, dangdut, nasyid maupun yang lain, selalu ada pertanyaan dari pendengar, kapan ada lagu baru lagi, atau kapan bikin album baru? Kalau di kalangan penyair, dengan dialektika yang khas, kapan ada puisi baru yang seru lagi, yang inspiratif, atau menerbitkan antologi puisi baru?
Bahkan antar penyanyi. Semisal ketika Dori ketemu penyanyi Darso di radio Rama dulu sering bertanya hal yang sama dalam bahasa Sunda, "Kang, sudah ada lagu baru lagi?"
Menurut saya --- ini bisa punya perbedaan sudut pandang dengan pengamat lain, ada beberapa poin yang mencitrakan penyair dan puisi baru. Saya memang menyatukan antara puisi yang benar-benar baru, puisi yang dibarukan oleh pembawaan atau keadaan, dan puisi yang dibarukan oleh tuntutan tema panggung terbaru. Diantaranya:
1. Penyair membuat karya puisi terbaru atau membacakan karya puisi terbarunya
2. Penyair menerbitkan karya puisi terbaru, baik di koran, majalah, buku, maupun di media on line. Tetapi untuk kebutuhan penerbitan, tidak mustahil masyarakat akan mendapati antologi puisi terbaru dari seorang penyair, tetapi pada titimangsanya ada yang tertulis sebagian atau seluruhnya, dibuat sekian tahun silam.
3. Penyair tampil membacakan puisi-puisi lamanya, yang dia anggap sangat relevan dengan situasi saat ini, atau dengan tema panggung pertunjukannya. Sehingga yang benar-benar baru sesungguhnya tema acaranya, sedangkan puisi yang dibacanya adalah puisi lama.
4. Penyair melakukan pembaruan atas inisitifnya sendiri, sehingga suatu karya terdengar seperti sensasi yang baru diletupkan. Di panggung milenial akan terasa sebagai suguhan era milenial. Seumpama masyarakat yang seakan tertipu ketika ada grup band mempopulerkan suatu lagu hits, tetapi senyatanya itu pernah diproduksi 10 tahun silam tetapi belum hits di masa itu.
5. Penyair dalam suatu diskusi atau dalam suatu wawancara dengan media membahas puisi-puisi karyanya. Sehingga meskipun sudah berumur lama tanggal penciptaannya, tetapi masih tetap up to date pembahasannya yang menjawab tantangan proses kreatif masa kini. Ibarat yang baru itu adalah tanggal pesan kuenya secara on line, lalu satu jam kemudian datanglah kue yang sangat hangat. Produksi 10-15 tahun lalu.
Kelima poin tersebut menunjukkan kekuatan suatu karya baru, termasuk di dalamnya yang sesungguhnya berupa pembaruan atas berbagai sebab.
Selanjutnya kalau ada seorang penyair sudah tidak nulis lagi, tidak baca puisi lagi, tidak mau diskusi, sesekali membedah, atau diwawancarai soal puisinya lagi, entahlah. Tapi kalau dia masih dikaruniai jurus jitu, puisi-puisinya yang dulu masih bisa terus dibaca, dikenang dan bekerja optimal. Meskipun penyairnya yang sudah usia 50-60 tahunan sudah mulai banyak diam dan baringan. Tentu karena entah.
Tapi menarik, setidaknya kalimat Heru Mugiarso itu bisa bikin penyair berkata, "Jangan panggil aku mantan".
Kemayoran, 04 08 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar