DINDING PUISI 206

DINDING PUISI 206

Sekali ini saya tergelitik berprasangka baik, kalau seseorang masuk ruangan entah ---jangan berfikir sempit, pengap dan tanpa ventilasi, lalu membaca 100 catatan Dinding Puisi Indonesia saya dengan sedikit saja seksama, kira-kira keluar ruangan itu akan ditanya apa oleh pucuk daun pada sebuah pot?

Kebetulan 100 catatan Dinding Puisi sudah saya terbitkan menjadi sebuah buku. Nanti segera menyusul 70 atau 100 catatan berikutnya. Seri dua. Romantisnya, hal penerbitan ini mencoba membangun garis kenangan ke arah masa depan, betapa asyik mendatangi perpustakaaan lalu baca buku macam ini, atau mengambilnya dari rak buku di rumah. Tanpa maksud bersikap minor, minimal kelak bisa dilakukan anak cucu saya dan komunitas di sekelilingnya. Sebab untuk saat ini semua tulisannya sudah pernah muncul di media sosial FB dan blog. Setidaknya, sebagian pernah dibaca orang sebelum bukunya terbit. Sebagai bingkisan dari Allah. Anggap saja sudah beli beberapa lembar dari sebuah buku lengkap. Ha! Setidaknya meringankan beban saya kalau hari ini, beberapa bulan setelah terbitnya ditanya, sudah berapa orang baca buku anda?

Catatan Dinding Puisi Indonesia terinspirasi oleh dua hal. Pertama, mengulang dan melanjutkan catatan sastra dan senibudaya saya di acara Apresiasi Sastra dan Apresiasi Seni di #radio. Sampai-sampai gaya penulisannya banyak diwarnai gaya bertutur selayaknya sedang siaran radio. Harap mafhum, kadang seperti nyerocos dan cletak-cletuk. Bahkan sering memakai istilah-istilah gaul yang umum. Tapi di banyak alinea tidak segan-segan menyebut nama Allah dan menukil dalil-dalil. Maklum, waktu jadi narasumber saya juga bertindak selaku pembina komunitas seni Cannadrama (Kisah Bunga Tasbih) yang samar-samar seperti rupa muazin, yang sering bikin acara sastra dan acara seni lainnya. Tentu dalam koridor terbuka, humanis-universal. Kedua, terinspirasi oleh kenangan silam, betapa bernyawa Dinding Sastra yang ada di kampus-kampus. Aneka tulisan sastra bisa muncul di situ, tak ubahnya seperti berbagai rubrik di surat kabar atau majalah. 

Prinsip catatan Dinding Puisi adalah mencerahkan dan menjadi teman bicara siapa saja. Kalau dianggap tersusun per-bab sudah jelas akan terasa lompat-lompat. Karena ketika siaran radio merespon geliat sastra pun tergantung persoalan yang berkembang atau yang sengaja mau diangkat, dalam 1 jam siar bisa membahas 3 sampai 5 soal. Demikian berlanjut tiap minggu, bulan dan tahun. 

Karena itu saya sarankan, yang baca buku catatan Dinding Puisi sebaiknya masuki satu poin sambil minum kopi atau teh. Gak usah buru-buru pindah ke poin lain. Karena satu poin yang ringkas itu sudah bisa panjang lebar dengan sendirinya, apalagi kita bicara rahasia puisi. Sudah biasa begitu. Kalau bacanya di media sosial, minimal sambil ngelus-ngelus jenggot kalau punya. Kalau gak punya, pinjem. 

Kalau di awal tulisan ini saya berprasangka baik, seseorang masuk ruangan dan baca 100 catatan Dinding Puisi, di akhir tulisan ini saya berfikir, bagaimana kalau seseorang memasuki 1 saja catatan Dinding Puisi ---jangan berfikir sempit, pengap dan tanpa ventilasi, lalu menemui 100 hal atau persoalan. 

Kemayoran, 05 08 2020
Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG