DINDING PUISI 208

Kembali ke Jakarta dari Kota Sukabumi, di sebuah tempat makan saya memilih beberapa foto dan menulis di media sosial begini, "Kalo Jakarta mau terlihat banyak pemandangan sawahnya, salahsatunya kita harus ke Lembur Situ. Tapi lokasinya di Sukabumi". Lembur Situ adalah daerah berhawa sejuk segar, dengan latar belakang perbukitan yang menyenangkan hati, gemercik air bening, dan suasana nyaman. Terletak ke arah selatan dari pusat kota Sukabumi. Bisa disebut area perbatasan, karena berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten Sukabumi. Dan biasa disebut juga di area "jalan ka Jampang". Hanya beberapa menit dari terminal bis antar kota antar propinsi. 

Sepintas tulisan singkat saya itu biasa. Dan memang sangat biasa bahkan. Justru beranjak dari persepsi sangat biasa inilah mengandung prinsip besar bahwa merasa-rasa Jakarta di Lembur Situ adalah kearifan sosial dalam ranah nasionalisme atau Wawasan Nusantara. Ini penting diinsyafi setiap saat, terlebih-lebih seperti pada momen saya membuat tulisan ini, di bulan kemerdekaan Republik Indonesia, Agustus 2020. 

Wawasan Nusantara adalah suatu bentuk penerimaan. Semacam penerimaan pada eksistensi dan potensi dirii. Cara pandang, menyadari, berkesaksian atas seluruh wilayah dan potensi Indonesia, termasuk jiwaraga bangsanya, sebagai kesatuan cinta, kebulatan tekad saling jaga dan membangun bersama. 

Merasa Jakarta di sawah-sawah Sukabumi tentu dalam kontek Jakarta adalah ibukota bagi keindonesiaan kita di era mutahir. Kalau di masa silam dalam konteks Jakarta sebagai sentrum penggerakan perjuangan kemerdekaan secara nasional karena tokoh-tokoh, pusat pergerakan, dan simbul-simbul koordinasinya banyak di situ, yang kemudian bertalian integral dengan seluruh gerakan seIndonesia. Pada poin pertama tentu akan segaris dengan persepsi, bagaimana jika ibukota dipindahkan? Sedangkan poin kedua akan menempati peta sejarahnya sendiri.

Menikmati Jakarta di keindahan sawah-sawah Sukabumi, tentu satu rumus dengan menikmatinya di sawah-sawah, perbukitan, gunung-gunung, pantai, perkebunan, dll, di seluruh Indonesia. Sebab seperti pada lagu Koesplus yang merakyat, Kembali Ke Jakarta, seluruh titik peta Indonesia ---yang pembangunannya tidak perlu sentralistik di Jakarta itu--- adalah Jakarta-Jakarta yang terserak. Bahkan "istana presiden" ada di depan setiap pintu rumah penduduk. Sehingga dari situ presiden tahu, ada berapa orang di dalam, berapa yang sudah ber-KTP, pendidikannya apa saja, dan setiap hari makan apa? Juga tahu, ada KDRT atau tidak? Semestinya memang begitu. Sebab kekuasaan itu dipinjamkan oleh Allah kepada manusia dan senantiasa dalam pengawasannya yang Maha Adil.

Dalam dunia kepenyairan, sastra pun ber-Wawasan Nusantara. Menikmati dan menulis Jakarta di sawah-sawah di mana saja. Melihat Monumen Nasional pada batang-batang padi. 

Bagaimana dengan sastra daerah, atau sastra dengan bahasa tradisional, basa ibu di daerahnya masing-masing? Tentu, di situ juga hidup Wawasan Nusantara. Karena itu meskipun seseorang tepat karena keunggulannya disebut penyair tradisional, dia hakekatnya adalah penyair Indonesia atau prnyair nasional juga. 

Merdeka! 

Kemayoran, 10 08 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG