DINDING PUISI 230

DINDING PUISI 230

Ada gak sih adab makan, ngemil, dan minum kopi sambil baca buku puisi atau buku sastra pada umumnya? Ha! Kita punya tema ringan yang super seru lagi. Bagaimana pula kalau hal serupa dilakukan sambil nulis puisi di laptop ---dulu pake mesin ketik?

Ok. Kita mulai dari dua kebiasaan umum yang menarik. Pertama. Di dunia kerja, ternyata sebagian karyawan lebih memilih langsung berangkat kerja daripada kesiangan. Soal sarapan biasa diatur nanti. Yang penting sudah minum teh hangat, atau minimal air putih, katanya.

Sebelum masuk kantor biasanya mereka belok dulu ke warung makan, atau langsung ke kantor tapi buru-buru menuju kantin, kecuali yang sudah bekel sarapan dari rumah. Lalu bersegeralah mereka menunaikan perintah perut, sarapan. Di sinilah drama ini dimulai. Karena jam tangan belum menunjukkan jam kerja, maka ia tak mau diperkosa kerja. Ia lebih memilih memanjakan privasinya. Dengan apa? Sarapan sambil pegang koran, majalah, buku puisi, atau buka-buka media sosial. Ini gaya elit yang murah. 

Kedua. Seseorang menikmati minggu sore di beranda. Ia bisa membaca buku apa saja, koran dan majalah apa saja, juga membaca buku sastra sesukanya. Tentu, sambil ngopi atau minum teh, dan ngemil makanan ringan. 

Pada contoh pertama, makan dan minum menjadi hal utama, sementara membaca adalah sasaran penting kedua. Seakan gak ada yang boleh dilewatkan, atau setidaknya satu puisi wajib menambah ia kenyang secara emosional. Sedangkan pada contoh kedua, bacaan adalah fokus utama, ngemil dan minum kopi adalah pendukung suasana yang lekat dan mesra. 

Meskipun nampak berbeda, pada dua ilustrasi itu terdapat kesamaan. Yaitu kita wajib membaca, termasuk wajib baca minimal 1 puisi, tetapi harus disertai ketercukupan menikmati makan minum. Baik menikmati untuk kenyang oleh makanan pokok, maupun menikmati panganan ringan, sebagai variasi yang bermanfaat. 

Kita seakan memetik adab puitis di situ. Indahnya makan minum itu, ringan atau berat, adalah saat kecerdasan yang datang dari bacaan, baik bacaan alam maupun bacaan kertas, menjadi penggerak untuk keselamatan hidup. Sebab, kecuali terjadi pada anak-anak, mana ada orang dewasa yang sebanyak mungkin ngemil apa saja, minum apa saja, sementara sepotong kalimat pada buku yang dibacanya belum dimengerti samasekali? 

Kecuali koruptor. Buku yang sudah tamat dipahaminya, sengaja ditutup. Oleh gelap mata. 

Benar. Ada yang bilang, kita makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Tapi hati-hati, filsafat anda pasti akan menggiring anda pada kejujuran bahwa makan adalah hidup juga. Kalau makan itu untuk hidup, bukankah berarti juga makan untuk makan? Tapi makan apa dan bagaimana? Di sinilah makan adab dan segenap manfaat itu.

Adakah hubungannya dengan kalimat orang yang doyan ketawa, "Apapun-apapun, ujung-ujungnya duit"? Duit untuk sandang, pangan, papan, dst. Tidak sepenuhnya benar. Karena penyair yang nyruput kopi dengan sentausa, ia sedang membenarkan beberapa kalimat atau kata terakhir yang mampir di benaknya. Begitupun sebaliknya ketika ia nyruput kopi dengan sedkkit geram.  

Karena pada dua ilustrasi tersebut dapat disimpulkan, suatu bacaan akan dipegang tangan kita tepat pada waktunya, maka saya teringat peristiwa Bandung. Ketika saya menghitung durasi di atas angkutan umum menuju kantor, menuju terminal, stasiun dll. Saat itu saya bilang, Indonesia butuh cerpen yang lebih pendek dari cerpen pada umumnya, bahkan butuh puisi yang lebih pendek dari puisi pada umumnya. Juga sangat tepat, membaca satu-satu ayat kitab suci atau kitab hadis. Sehingga saya mulai buka-buka buku puisi yang memuat puisi pendek serta mulai menulis puisi pendek. Selain itu di dalam tas kerja selalu ada Al-Qur'an, yang tafsirnya saya baca sampai tamat, 30 juz. 

Ohya, sekedar senyum sendiri, saya pernah nulis di medsos FB, "Kalau kita doyan nulis puisi, cerpen atau novel pake laptop, tentu boleh sambil ngemil, tapi sebaiknya yang praktis, yang bisa pake sendok, termasuk ketika makan kacang di mangkuk, untuk menjauhkan kita dari kebiasaan buruk memegang makanan lalu mengelapkan jari tangan ke celana atau sarung. Haha. Atau selalu sedia tisu". 

Kemayoran, 05 09 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DINDING PUISI 264

JANGAN KALAH HEBAT DARI BIMA

TIDAK ADA YANG BENCI KALIMAT TAUHID