AKU MONYET HALAL

Bermula tahu dari cerita wayang dan cerita film, saya remaja, berkenalan dengan Hanoman dan Sun Go Kong. Dua tokoh beda, meski sama-sama Raja Monyet. Yang satu tokoh legendaris dalam Ramayana, atau dalam kisah Wayang Jawa, sedangkan yang satu lagi adalah tokoh pengawal guru Tong dalam kisah Perjalanan Ke Barat.

Mungkin anda senasib dengan saya, setidaknya sudah menyukai mereka meskipun waktu itu cuma tahu hal-hal yang serba bersifat permukaan.

Setidaknya sudut pandang universalnya, karena keduanya adalah tokoh-tokoh pengawal yang dipahlawankan, maka kita pun bersukacita saja dengan segala hal tentang keunggulan, ketangguhan, bahkan tingkah lucu keduanya.

Namanya juga monyet. Ada titen-ciren gerak gerik aslinya. Bodo tapi pinter. Kadang terlalu berani tetapi kemudian sembunyi, bikin strategi baru sambil garuk-garuk kepala, sambil menyeringai. Kadang kesakitan tetapi tertawa. 

Keduanya diceritakan sangat sakti, tetapi memiliki kekurangan-kekurangan sebagai manusia biasa, sehingga suka dipakai contoh  untuk berdakwah, menyampaikan pesan bijak.

Tapibenar keduanya sungguh sakti. Maka saya pernah melompat-lompat di halaman seperti Hanoman, apalagi depan anak kecil. Biar lucu dan menyenangkan. Yang penting bukan akting penjahat yang gagah-gagahan. Kadang ngambil sapu, pura-puranya ngambil tongkat sakti. Hat het hot. Sapu diputar-putar. Selalu menang melawan angin. Tidak ada siapa-siapa. Anak-anak dan teman cekikikan.

Sejak saat itu seperti lahir proklamasi: SAYA HANOMAN! SAYA SUN GO KONG! SAYA MONYET SAKTI!

Tentu harus anti korupsi, anti mencuri, merampok, menipu, anti pelacuran, anti perusakan, anti miras dan narkoba, anti tindak kriminal, anti lain-lain yang serba maksiat dan jahat.

Semakin dewasa kita mikir. Mulai membuka rahasia, mengambil hikmah. Bahwa kita monyet putih, pembela kebenaran. Makan apapun, yang penting tidak melanggar, tidak berdosa. Yang penting serba halal.

Buah apapun kita makan. Sayur apapun. Bahkan daging apapun kita makan juga. Sebab apa? Hanoman dan Sun Go Kong itu berwajah monyet berotak manusia. Bahkan berjiwa Dewa. Jadi ya, doyan daging. Yang penting DAGING HALAL. Bukan nyuri milik orang.

Hanoman, juga Sun Go Kong, adalah juga tentara. Dalam prinsip bela negara, bisa seumpama kesatuan tentara secara formal, bisa juga segenap warga bangsa dengan spirit bela bangsa dan negara. Melalui berbagai bidang. Tidak selalu harus angkat senjata. Membela para pemimpin negara, sekaligus membela para ulamanya. Yang dimaksud tongkat sakti bisa sah berupa buku, kanvas, kapur tulis, laptop, padi, jagung, atau apa saja.

Khusus Hanoman, tanpa mempertontonkan jalan cerita apapun di panggung, saya tetap sangat suka tariannya. Tari Hanoman. Eksotik dan gagah.

Tapi ada apa dengan negriku? Baru saja selesai menulis soal monyet halal, semua stasiun TV Indonesia dan media internet memberitakan aksi tidak halal, beberapa pekerja perkebunan dikabarkan telah menembak orang hutan yang dilindungi lalu dagingnya dikonsumsi. Otomatis polisippun segera bergerak cepat menegakkan hukum. Oalah, Lur?

Padahal istilah Orang Hutan itu juga gelar yang dipakai oleh bapakku. Sebagai pimpinan perkebunan, mandor besar dan sinder, wajar kalau kepada anak-anak dan orang banyak dia menyebut dirinya, Wong Alas atau Orang Hutan. Dan kami adalah Anak-Anak Orang Hutan.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG