KETIKA FILM BERIBU PADA TEATER

Saya dikabari oleh sejarah perfilman nasional, ditandai oleh produksi film anak bangsa sendiri, bahwa 30 Maret adalah hari perfilman nasional Indonesia.

Saya juga dikabari oleh sejarah teater dunia, bahwa 27 Maret adalah hari teater internasional.

Kapan hari teater Nasional? Saya Googling, ternyata belum muncul di pemberitaan pertama sebagai kode viral utama tingkat nasional.

Tapi meskipun demikian saya coba menarik garis, kalau dunia perfilman setuju bahwa mereka pertama kali lahir dari perjalanan seni peran di atas panggung, maka teater adalah 'bahasa ibu' bagi insan maupun dunia perfilman secara umum.

Maka semestinya para penggila produksi film, pada hari teater Nasional (atau internasional) harus sudi turun gunung (atau naik bukit) menyambangi dunia teater.

Sementara itu seremoni pertunjukan, atau seremoni apapun berkisar teater memang semestinya marak di hari teater Nasional itu. Atau setidaknya di bulan teater itu.

Kalau dibalik. Pada momen hari perfilman, maka insan teater harus merasa ikut memiliki sekaligus mengritisi, agar terjadi progres yang super positif di dunia perfilman tanah air.

Kalau pihak yang mengaku 'sudah kerja dan merasa selamat' biasa berdalih, kan begitu kenyataannya selama ini. Maka apa gunanya hujah seperti itu di depan kalimat motivasi? Bukankah pertanian masih berproduksi, itu beda dengan swasembada produksi pertanian?

Bahkan harus diingat, film kita adalah 'film perjuangan'. Kemunculannya adalah pernyataan, eksistensi, daya dan proses kreatif putra bangsa terbaik. Tema-temanya adalah wujud kearifan dan kecerdasan Indonesia. Barometer, dan persembahan untuk dunia. Bagi pembangunan, ia adalah alat komunikasi pembangunan sekaligus media penyampai harapan kemajuan. Biasanya selalu meminta Apresiasi dari seluruh pihak. Menjadi pesta, rasa syukur, dan keprihatinan bersama. Sebab mustahil film tanpa pendukung. Dan uniknya, kalau masyarakat awam adalah penikmat yang kritis, para pekerja teater, termasuk teater-teater sekolah adalah kontributor intelektualitas dan proses kerja. Maka teater akan lebih serius kalau menolak film yang buruk. Sehingga ruang diskusi publik seni di itu bisa berwujud sinerjisitas membangun kesepahaman dan karya.

Teater tanah air adalah mata air. Perfilman Indonesia adalah mata dunia. Salam sejahtera! Selalu berkarya!

Gilang Teguh Pambudi
Aktivis Teater Panggung dan Drama Radio
Cannadrama.blogspot.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG