MENCARI BENTUK ATAU MENUNJUKKAN CITRA DAERAH?

HINDUISASI DAN PURWAKARTA ALA DEDI MULYADI?

Yang jelas isu Hinduisasi di Purwakarta yang sempat marak itu tidak enak. Karena orang Islam dan Hindu Bali baik-baik saja. Sentimen negatif bisa muncul di tengah-tengah kata Hinduisasi.

Yang jelas, harus ada analisa kritis, "Purwakarta ala Dedi Mulyadi" itu cuma sibuk memcari-cari bentuk, atau sedang mengajak masyarakat menikmati kearifan dalam kekayaan tradisi Sunda?

Bahkan eksistensi LEMHANAS semestinya bisa menafsirkan normal kebijakan para kepala daerah yang semestinya putra-putra terbaik bangsa dalam mengarahkan masyarakatnya.

Mentri Dalam Negri gak bisa tutup mata atas isu-isu apapun di seluruh daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota.

Kalau analisanya dipercayakan kepada 'Asing', apa pasti beres?

Satu ilustrasi. Sejak tahun 2000-an aku sudah membahas seni dan falsafah  barongsai dan topeng Kalijaga di radio-radio di Purwakarta. Bahkan sejak dari Bandung (1994). Kubilang, presiden, mentri, gubernur, bupati bertopeng apa?  Apakah benar ada yang bertopeng Siliwangi, Arjuna, petani, nelayan, buruh dst? Maka ketika Dedi Mulyadi mengadakan arak-arakan budaya topeng, aku malah ngucapin selamat via media sosial dan sms-sms teman. Bahkan catatanku  tentang topeng kumuat dalam buku cannadrama yang terbit di Purwakarta tahun 2009. Jauh sebelum pawai topeng Bupati Dedi.

Tapi soal memaksakan tradisi Hinduisme ala Dedi yang konon dilabeli Sunda Wiwitan aku tidak tahu-menahu. Meskipun aku kerap menggunakan sebutan Ki Sunda sebagai kesadaran spiritual dan sosial manusia universal di muka bumi ini.

Dalam buku yang sama dan di radio-radio aku juga membahas idiom-idiom takir mulud, gunungan saji, dupa, kembang tujuh rupa, boneka dalam pelukan sayang, pohon terang, obor muharom, dll dalam berbudaya untuk istokomah mencintai Allah.

Soal kain (sarung) kotak-kotak hitam putih, memang banyak yang kaget. Pohon dan beberapa acara tiba-tiba didandani itu di Purwakarta. Padahal, kalaupun sebagai otokritik, sarung tidak terlalu 'laku' dipakai dalam seni pariwisata dan pawai budaya, buktinya masih bisa dipakai sebagai kalung selempang tari-tarian tertentu. Atau, Sunda juga masih punya celana pangsi hitam dan kebaya yang eksotik. Artinya sebagai simbol-simbol tradisi semua itu boleh juga. Tapi banyak yang malas mengangkatnya. Sangat-sangat pemalas!

Sesungguhnya ada satu teori matematis yang masuk akal. Mengambil sugesti kekuatan pariwisata melalui garis yang masuk akal, Sunda Wiwitan. Tanpa frase itu, pintu masuknya pelik. Rumit. Meskipun menjadi seperti memindahkan Bali. Padahal Sunda Wiwitan sudah biasa begitu dulu. Wayang Bima yang dipakai para wali pun kodenya begitu.

Tetapi konon keresahannya bukan di situ saja. Demikian berbagai pihak menyebut. Lebih lebar dari sekadar itu. Bahkan wacana yang dibuka, soal Sunda Wiwitan dan Kejawen malah kurang mencerahkan maksud-maksudnya yang sederhana dan bagus itu. Istilah kejawen sendiri bukan representasi sepenuhnya perjalanan tanah Jawa. Itu istilah yang muncul belakangan, untuk menyebut orang-orang yang masih menjaga adat lama. Disebut, cenderung pada adat Jawa, kejawen.

Kakek saya dari ibu tiri kalau acara selametan pake pewangi menyan, kembang, bucu (tumpeng), takir (nasi dan lauk pada wadah daun pisang), dll. Kakek saya dari bapak juga ngoleksi keris. Tapi mereka gak pernah mengaku-ngaku kejawen. Tapi kalaupun ada yang nyebut demikian, mereka pasti miskin komentar. Mereka muslim yang taat. Bahkan di daerah 'Jowo (Njowo)' sana, perayaan Agustusan dirasa-rasa seperti lebaran kedua setelah idul fitri. Lebih karena rasa, beragustusan adalah doa gembira bersama.

Istilah kejawen, taat pada adat Jawa, semakin populer ketika para peneliti asing juga  menggunakan sebutan itu. Tapi tanpa kontribusi apa-apa untuk mengangkat pakem itu. Kadang terpotong-potong uraiannya, seperti ketika membahas ajaran wayang yang katanya mengandung unsur poliandri, padahal bukan itu maksud pesan wayangnya. Kontan saja, beberapa pihak yang sensitif malah mudah terpengaruh dan semakin anti-wayang. Padahal wayang wali tidak begitu.

Lebih gak enak lagi. Ketika Pak Harto dan yang seperti dia disebut Islam kejawen, tapi maksudnya Islam abangan. Abangan dalam pengertian, gak konsisten dengan Islamnya. Wah, gundul pecah!

Daripada sekadar nyari bentuk, atau ribut Hinduisasi, diskusi  semisal, soal kain kebaya pada berbagai tari Sunda yang ketat sehingga nampak sensual, sebagai pembelajaran eksotika panggung, malah lebih mudah dicerna. Termasuk dalam paradigma senibudaya dan pariwisata: Yang penting aktivisnya soleh-solehah. Memegang pakem kasundaan (Ki Sunda) yang plural-universal. Juga yang Islami, menurut sudut pandang orang baik. Sangat relijius kata orang-orang yang berprikemanusiaan yang berketuhanan YME. Anti maksiat! Daripada terlalu jauh.

Sebagai orang muslim, saya bangga punya tafsir yang baik dalam bersenibudaya. Misalnya ketika menafsirkan boneka kucing yang mengangkat dan menggerakkan tangan kiri.  Bahkan tafsir ini bisa lebih dasyat dari sebagian orang Cina yang ngaku memilikinya. Betapa tidak, gerakan tangan kucing itu ditinjau dari prinsip kesejahteraan, berpesan: ambillah karunia Allah tidak hanya dari pintu-pintu yang umum saja, bisa dari tempat yang husus, rahasia, bahkan dianggap 'hina'. Padahal itu halal. Itu kucing namanya. Maka akan kuat, cerdas, survife. Tetapi orang-orang kaya yang kalah, kafir, menafsirkan: halalkan segala cara! Bahasa premannya (yang sering dipake orang-orang sekarang), kalau kamu preman, aku lebih preman! Sama-sama preman mau apa? Padahal agama tidak mengajarkan premanisme.

Juga tafsir lampion. Bupati/walikota/gubernur jangan pasang lampion sekadar lips service, pura-pura plural, menghormati sisi kulit orang Cina. Biar terlihat pluralis dan uangnya ngalir. Padahal lampion lambang cahaya bagi siapapun. Seumpama lilin atau pelita. Keharmonisan itu butuh kejujuran. Itu yang diajarkan di pesantren dan majlis taklim. Maka banyak lampion di jalan-jalan tanpa menyemarakkan majlis taklim, kegiatan remaja dan pemuda mesjid, tanpa kunjungan pesantren, pembangunan sarana ibadah, tanpa semarak dan vestifal pekan muharom, tanpa tablig akbar, dst, di mana cahayanya? Ironis. Tentu tidak cukup pada ruang ketentraman spiritual, harus  disertai juga cahaya pembangunan di segala bidang. Jangan sampai hari ulang tahun daerah, pameran pembangunan yang merupakan pesta panen itu, tidak melambangkan panen apa-apa bagi pengangguran dan kaum duafa. Sedangkan yang kaya tapi tidak beriman  malah panen, meskipun panen api neraka.

Bisa jadi ironi, ketika si miskin tak ditolong, daerah "kering tanpa air kehidupan", pemerintah daerah malah membuat patung terlalu banyak. Padahal sebagai hiasan taman kota, bisa seperlunya saja. Lebih utama lagi cukup satu-dua patung yang monumental saja, sehingga panjang umur.

--------

DI BALIK PATUNG PURWAKARTA

Aku ngerti perasaan seniman. Kalian yang membuat patung-patung di Purwakarta pasti merasa seniman. Tentu. Itu bagian dari proses kreatif. Profesional, karena kalian juga neken honornya.

Pasti bangga melihat patungnya berdiri kokoh. Kata yang bisik-bisik, "Kabagean oge nya". (Kebagian juga).

Tapi ingat. Waktu beberapa patung didemo dan runtuh. Tentu kalian tetap di posisi awal kan? Di ruang kreatif kesenimanan? Gak ada urusan dengan hal-hal yang gak dimengerti, dan gak masuk wilayah gangguan pada kerja kreatif? Prinsip dan tugas kesenimanan sudah tunai.

Atau jangan-jangan kalian terbawa emosi. Merasa ada penolakan karya seni? Padahal tidak sedikit masyarakat mengkritisi, patungnya terlalu banyak, bisa membakar perut kosong yang meneriaki nama, Allah Allah Allah. Sehingga patung lebih utama daripada teriakan Allah pada perut lapar dan pada pejalan kaki yang butuh jembatan-jembatan. Sehingga disebut oleh sebagian pengamat, bernilai thogut. Menurut istilah kampung Sunda Wiwitan, "Ngalelewe jalma kere". (Mencibiri orang miskin).

Perusakan memang tidak perlu. Daripada menjadi indikasi pembolehan perusakan fasilitas publik. Apalagi kalau anggaran sudah keluar untuk pembangunan, apapun jenis dan bentuknya, asal bukan fasilitas maksiat, biarlah buah anggaran rakyat itu dinikmati masyarakat. Sekarang dan masa yang akan datang. TUGU MONAS pun sempat kena kritik tajam, untung Bung Karno menjawab, "sebagai tonggak perjuangan rakyat dan kemerdekaan Indonesia supaya cepat terdengar dan diingat dunia".  Supremasi keindonesiaan. Nasionalis relijius. Kemanusiaan berketuhanan. Persatuan kesatuan. Kegotongroyangan.

Tetapi teriakan kritis yang mendasar di Purwakarta tentu harus didengar juga. Teriakan yang mendalam akan sangat kuat nilai spiritualnya. Ini di luar persoalan penolakan karya seni. Di luar gerakan mengganggu kerja seniman.

Atau jangan-jangan ada juga  yang malah mengkritisi, bukankah bangunan mesjid di mana-mana juga seumpama patung, benda mati? Apa bedanya dengan gapura-gapura? Ah, kawan cinta, kita sederhanakan teknis menarik kesimpulannya: begini, baik secara spiritual maupun sosial, mesjid itu berfungsi sebagai 'RUMAH SINGGAH SPIRITUAL DAN SOSIAL', sehingga orang yang berinfaq-sodaqoh ke mesjid harus merasa punya Rumah Spiritual, rumah secara ilmu dan Rumah Sosial. Sedangkan patung dan gapura tidak dilabeli PATUNG SINGGAH atau GAPURA SINGGAH. Tapi untuk keperluan tertentu dalam jumlah dan penganggaran tertentu, masih sangat bisa dimaklumi. 

Tapi jujur, dengan landasan hukum/perda 'pembangunan dan pemeliharaan taman kota' juga, bukan perusakan, kalau aku bupati yang akan datang, setidaknya bisa terwakili, patung-patung di Purwakarta bisa aku kurangi. Sisa beberapa saja. Wajar kan? Tapi perda itu juga sebenarnya memungkinkan kalau harus merubah semuanya. Tapi harus mel perkembangan Purwakarta secara bijak.

Tapi kalau aku bikin jembatan, halte, mck, pos RW, posyandu, atau fasilitas umum lainnya, bupati selanjutnya boleh bongkar, tapi harus ganti dengan yang lebih bagus. Biar masyarakat senang.

-------

TAMAN DAN PATUNG

Ketika Pemerintahan daerah Purwakarta beralih dari era Lili Hambali ke era Dedi Mulyadi, satu PR yang terdekat soal taman, memang Situ Buleud. Maklum badak-badak coklat di sekeliling danau bulat di tengah Kota itu sudah keropos. Tak nyaman di pandang atau dijadikan background foto-foto.

Ternyata benar dugaan saya. Badak-badak itu segera dibongkar. Diganti dengan satu badak saja, ukuran besar di salahsatu pertigaan strategis. Bagus! Karena warnanya putih saya sebut Badak Putih. Saya pun segera siap-siap membuat materi siaran Apresiasi Seni berjudul falsafah badak putih. Besoknya saya tersenyum, kebetulan, di koran ada iklan seorang wanita cantik sedang menggembala badak.

Tapi saya sempat heran tak habis fikir. Kalau lapangan alun-alun Kian Santang akan difungsikan untuk semisal sholat id, senam masal, tablig Akbar, sentrum start-finis berbagai kegiatan, dan upacara Agustusan, kenapa dibuat dag-deg-dog oleh instrumen yang tidak terlalu penting? Padahal satu airmancur besar di tengah-tengah itu sudah lebih dari cukup, selain pohon-pohon rindang di sekeliling lapangan.

Tapi taman Situ Buleud memang tambah bagus. Saya bersama berbagai Komunitas Seni di Purwakarta, Ali Novel Magad dkk, pernah berdiskusi panjang. Taman ini baik untuk beristirahat dan untuk ruang terbuka senibudaya. Yang latihan teater, latihan pianika, baca puisi dll dari sekolah-sekolah atau berbagai Komunitas bisa bebas di sini. Sampai-sampai dua tahunan kami menggelar Wisata Sastra yang dinamis dan kreatif. Dibuka dengan penerbitan dua buku, Situ Kata dan Surat Buat Narkobrut. Apalagi saat itu hari kebangkitan nasional, spanduk kami berbunyi BANGKIT ITU ANTI.

Saya heran kalau Bupati berniat membuat panggung untuk pertunjukan multi Seni tiap malam minggu di acara Wisata Kuliner Situ Buleud. Heran kalau dianggap bakal menggantikan semua kegiatan edukatif di taman Situ Buleud. Padahal panggung itu tidak bisa dipakai sebagai ruang diskusi berlama-lama, tidak bisa dipakai latihan alat musik atau menggambar. Jauh beda Bro! Maka kalau penggunaan Taman Situ Buleud dibatasi secara berlebihan, tujuh generasi Purwakarta bisa MARAH.

Setali dengan soal taman, gak masalah Bupati membuat patung-patung wayang. Biarpun sarat kritik. Saya dkk pun biasa foto-foto dengan wayang-wayang itu. Sampai suatu ketika kami heran ketika sebagian patung-patung itu durubuhkan sekelompok pengunjuk rasa. Dinihari lewat jam dua, saya berkeliling Purwakarta, saya menulis puisi, saya sedih di depan patung-patung hancur yang masih berdebu saat itu. Tetapi ada juga kabar masuk telinga, katanya pendemonya sempat disusupi pihak tertentu, supaya yang demo disalahkan.

Di acara Apresiasi Seni saya katakan, terkait fasilitas publik, Nabi Musa pun tidak melakukan pengrusakan saat menumbangkan kafir Firaun. Karena meskipun dibuat oleh Firaun, tapi hakekatnya fasilitas itu hak Allah saja. Apalagi kejadian di Purwakarta bukan persengketaan, saya amati sebagai sekedar diskusi publik. Ngaji maksud. Tidak perlu perusakan fasilitas umum. Nanti bisa jadi kebiasaan, yang juga bersebrangan dengan undang-undang.

Maka saya bahagia ketika beberapa patung mulai dibenahi oleh Bupati, serupa atau berbeda dari bentuk sebelumnya. Tapi saya kaget ketika mendengar kritik masyarakat, patungnya malah terlalu banyak untuk Kota sekecil Purwakarta. Mereka bilang, Dedi Mulyadi memang doyan patung!

Saya jadi teringat malam-malam kontemplasi budaya saya. Sebenarnya kritikan dengan kalimat ANTI BERHALA adalah benar 100%. Tetapi yang di maksud tentu saja tidak pragmatis urusan patung. Kalau soal patung, itu hanya wacana pertamanan. Biasa itu. Yang menyedihkan adalah, paradigma besar ketika seorang kepala daerah lebih suka membuat tiang-tiang beton, dinding batu, patung-patung, dll tetapi melupakan perut sebagian masyarakat yang masih keroncongan. Kata Allah dalam hadis kudsi, "Aku kelaparan kau tak peduli". Sindirannya, ngalelewe jalma kere (menghina orang miskin). Itulah hakekat makna menyembah togut. Padahal di perut orang miskin ada Allah yang wajib disembah.

Dari sisi lain, apakah taman Kota yang indah merepresentasikan pembangunan di segala bidang yang juga mulus? Ini pelajaran. Artinya, taman memang harus indah untuk hiburan masyarakat, tetapi ada fakta pembangunan seperti apa di balik itu?

Selamat merenungkan.

Gilang Teguh Pambudi Cannadrama.blogspot.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG